June 19, 2025
Culture Screen Raves

‘Overcompensating’: ‘Coming Out’ Komedi dari Benito Skinner

Berpura-pura straight, memendam perasaan pada sahabat sendiri, pura-pura punya pacar cantik. Benito Skinner datang dengan ‘coming out’ komedi yang segar.

  • May 30, 2025
  • 6 min read
  • 892 Views
‘Overcompensating’: ‘Coming Out’ Komedi dari Benito Skinner

Overcompensating dimulai dengan Benny (Benito Skinner) berdiri di depan cermin, mengafirmasi diri: aku suka vagina. Benny melakukan pidatonya berulang-ulang. Penonton langsung tahu bahwa kenyataannya Benny tidak suka vagina, cuma ia belum menerima dirinya sendiri. Delapan episode serial ini akan fokus ke sana: proses seorang mahasiswa baru menyembunyikan orientasi seksualnya, sebagai gay.

Kemasan Overcompensating sebenarnya sangat menarik. Kreator sekaligus penulis cum aktor utamanya adalah orang yang sama: Benito Skinner. Mengingatkan kita pada serial-serial serupa yang berakhir jadi kultus—selain, tentu saja populer—seperti Fleabag, I May Destroy You, atau Please Like Me. Meski begitu, Overcompensating terasa sedikit berbeda. Secara mood dan tone, ia terasa seperti American Pie, lengkap dengan kelakuan anak mudanya yang terobsesi dengan seks. Tidak terlalu serius (meski semua judul di atas adalah drama-komedi [gelap]).

Apakah Overcompensating Serial Otobiografi yang Berhasil?

Benny tidak sendirian di kampus bernama Yates University tersebut. Ia punya kakak, Grace (Mary Beth Barone), yang memintanya untuk jangan merepotkannya. Kelak, penonton akan mengetahui bahwa yang sedang cosplay menjadi orang lain tidak hanya Benny tapi juga Grace. Grace sendiri berpacaran dengan Peter (Adam DiMarco, diimpor dari The White Lotus musim dua), pemimpin fraternity yang punya masalah serius dengan insecurity.

Sebagai pemimpin pergaulan, Peter meminta Bento, panggilan bro-nya untuk Benny, agar ia mencari teman kencan secepatnya karena masa-masa awal kuliah akan membentuk masa depannya di kampus ini. Cut to ke adegan sekelompok mahasiswa menggelikan yang melakukan improv di depan empat penonton. Seperti inilah jenis jokes yang ditawarkan Overcompensating.

Maka Benny pun mencari teman kencan yang sesuai dengan image yang ia ingin tampilkan. Ia mendekati Carmen (Wally Baram), seorang mahasiswi yang seperti dirinya juga clueless dan sedang mencari jati diri setelah kematian abangnya. Hubungan mereka dengan cepat berubah dari kencan gagal menjadi persahabatan. Pertemanan yang tulus ini akan mengalami banyak ujian tapi pada akhirnya, Benny akan menemukan tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri di Karmen.

Konflik yang ditawarkan Overcompensating sebenarnya akan terasa tidak up-to-date kalau penonton pernah menyaksikan serial remaja lain seperti Dear White People (jauh lebih woke dengan konflik politik antar kelas dan ras yang lebih menarik) atau The Sex Lives of College Girl  (jauh lebih lucu dengan varian karakter utama yang lebih menarik) atau bahkan Heartstopper (jauh lebih sincere dalam mengeksplorasi soal sexual identity). 

Seperti halnya produk semi-autobiografi lainnya, hal yang membuat Overcompensating layak tonton adalah tokoh utamanya. Berita baiknya, Benito Skinner paham benar cara mereka adegan drama untuk karakternya sendiri. Ia paham betul pergulatan yang dirasakan orang-orang gay yang belum menerima diri sendiri, seperti deg-degan ketika naksir mahasiswa ganteng yang jadi sahabat sendiri, cara berpura-pura jadi lurus, bergabung  fraternity demi merasa diterima society, sampai menggunakan Grindr untuk pertama kalinya.

Berita buruknya, Skinner kurang mengeksplor karakter lain yang punya potensi untuk menjadikan serial ini sebagai gambaran realitis betapa bodoh sekaligus serunya kehidupan mahasiswa baru. Hubungan Benny dan Carmen di serial ini bisa dibilang adalah nyawa utama Overcompensating

Masalahnya, Carmen tidak digambarkan dengan kanvas yang besar, sangat timpang dengan penggambaran karakter Benny. 

Berkali-kali serial ini mencoba menjelaskan bahwa Carmen punya trauma besar, yang pelan-pelan dikupas sepanjang serial berjalan. Tapi, penonton tidak diberikan penjelasan yang jelas tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah kecelakaan yang membuat Carmen berubah. Kebanyakan info itu cuma disampaikan lewat eksposisi, sehingga sering kali terasa lewat begitu saja, tidak terlalu menguatkan atau memperdalam karakter Carmen. Skinner terlalu sibuk membuat drama cinta segitiga sebagai cliffhanger di akhir musim, yang sebenarnya terbangun underwhelming.

Tapi semua hal itu bisa dimaafkan karena Overcompensating adalah sebuah perayaan masa muda  dari mereka yang masih kelompok rentan. Jokes yang hadir, meskipun terasa seperti déjà vu karena komedi soal seks sudah diproduksi massal di Hollywood, tetap berhasil mengundang tawa tanpa menghilangkan hormat. 

Dari semua karakter unik yang muncul di serial ini, yang mungkin paling berhasil membuat saya tertawa keras adalah Hailee (Holmes), roommate Carmen. Hailee digambarkan dengan unik: Ia tidak sangat sex positive, tapi karakter yang melakukan segala cara untuk membela sahabatnya. Ia tidak peduli dengan anggapan orang, tapi pada saat bersamaan ia sangat haus validasi. Skinner memberinya begitu banyak one-liner dan Holmes berhasil deliver semuanya dengan jitu.

Kalau ada satu hal yang mengganjal dari Overcompensating, adalah setting cerita yang akhirnya berhubungan dengan semua referensi budaya pop dalam serial ini.

Referensi Budaya Pop Sebagai Karakterasi

Referensi budaya pop—film, musik, buku—memang bisa jadi terkesan tambahan atau footnote yang dimasukkan untuk membuat dunia dalam film/serial TV terasa nyata. Tapi, dalam kasus Overcompensating, atau dalam kasus penggambaran seorang karakter LGBT, referensi budaya pop sering kali bagian dari karakterisasi. Ia hadir bukan hanya sebagai bumbu, tapi identitas yang kuat. Kadang, Referensi budaya pop bisa jadi hidup dan mati buat karakter LGBTQ.

Overcompensating ber-setting di zaman sekarang karena semua orang menggunakan smartphone dan sosial media yang hadir saat ini. Tapi semua referensi budaya pop yang hadir terasa sekali telat satu dekade lebih. Karakter Benny sadar orientasi seksualnya saat menonton George in The Jungle (1997). Kalau memang Benny menonton film ini saat ia rilis, momen dia menjadi mahasiswa baru harusnya terjadi sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu. Penggambaran ini sesuai dengan tahun lahirnya Benito Skinner (1993) dan itu mungkin alasannya, ia menampilkan lagu-lagu yang trending sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu. Superbass, Like A G6, Team, The Edge of Glory, Corwn on the Ground dan lain sebagainya.

Penggunaan musik dan referensi budaya pop tentu saja bagian dari kebebasan berekspresi pembuatnya. Referensi Nicki Minaj dan Gossip Girl adalah upaya Skinner untuk menghadirkan kembali masa mudanya yang menjadi blueprint serial ini.

Tapi hadirnya musik-musik nostalgia ini membuat saya sebagai penonton “lepas” dari adegan yang hadir. Kalau serial ini memang mengambil setting masa sekarang, kenapa semua hal yang hadir di layar terasa seperti mesin waktu? Mengapa Benny tidak membahas soal Olivia Rodrigo, Tate McRae atau seleb TikTok? Mengapa Benny memasang poster Megan Fox yang memakai kostum Jennifer’s Body?

Begitu Overcompensating berakhir, saya tidak bisa berhenti membayangkan karakterisasi lebih bagus dari Skinner. Kalau saja dia menempatkan karakter-karakternya di masa lalu, ketika Britney mendesis, “This is a story about a girl named Lucky,” di pembukaan Overcompensating, semua “tempelan” ini akan mempunyai arti yang lebih.


Overcompensating dapat disaksikan di Amazon Prime.



#waveforequality
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.