Tentang Perempuan, Kekacauan, dan Ruang yang Kita Rebut di Layar
Baru pulang dari pertemuan keluarga, saya merasa lelah bukan karena obrolan panjang, tapi karena seharian harus tampil sebagai “anak baik.” Dari cara duduk, pilihan pakaian, hingga cara tertawa, semua terasa dikurasi agar sesuai standar “perempuan ideal.” Tapi semakin saya berusaha patuh, semakin terasa ada bagian dari diri yang terpinggirkan. Bagian yang ingin berdebat lebih tajam, tertawa lebih keras, atau sekadar memakai outfit gonjreng ala Pinterest.
Untuk mengobati rasa lelah itu, saya memilih terapi murah meriah: maraton The Marvelous Mrs. Maisel (2017-2023) dan Fleabag (2016-2019). Di layar, saya melihat perempuan yang tidak sibuk menjaga citra mereka. Mereka tidak berusaha tampil sempurna demi disukai.
Aneh tapi menyenangkan—karena justru di tengah kekacauan mereka, saya merasa terhubung.
Tokoh Mirriam “Midge” Maisel dan Fleabag memang bukan Perempuan ideal versi media, dan mungkin karena itu mereka terasa begitu relevan. Mereka bukan tokoh yang sabar dan tabah seperti Indah di Tersanjung, atau Karmila yang jatuh cinta pada pemerkosanya. Mereka bisa egois, konyol, bahkan menyebalkan. Tapi justru karena itu, mereka terasa seperti manusia seutuhnya, bukan karakter hasil sulaman moral masyarakat.
Narasi seperti itu membentuk cara kita memahami siapa yang pantas disebut “perempuan baik-baik.” Media terlalu sering menyodorkan perempuan versi aman: istri setia, ibu pengasih, atau korban yang mulia. Padahal kenyataannya jauh lebih beragam. Kita bisa merasa marah dan tetap bermoral, atau bingung dan egois tapi tetap penyatang. Dan itu sah. Tapi jarang sekali ada ruang untuk menampilkannya.
Baca Juga: 6 Serial Netflix Terbaik dengan Tema Perempuan Di Dunia Kerja
Karakter perempuan unapologetic
Pertemuan saya dengan tokoh yang benar-benar hidup dimulai dari Samantha Jones di Sex and the City (1998-2004). Pertemuan saya dengan tokoh perempuan yang benar-benar hidup dimulai dari Samantha Jones di Sex and the City. Samantha adalah tokoh perempuan pertama yang saya lihat tampil percaya diri tanpa apologi. Ia tidak malu akan seksualitasnya, tidak tunduk pada usia, dan selalu memilih dirinya sendiri. Tapi karakter seperti Samantha juga hadir dalam kerangka feminitas kapitalistis, yakni bentuk feminitas yang menyatu dengan logika konsumsi dan pencapaian individu. Kebebasan perempuan dalam serial itu diwujudkan lewat tubuh ideal, apartemen mewah, dan koleksi tas branded. Seolah-olah, untuk bisa berdaulat atas hidup sendiri, perempuan harus lebih dulu mapan secara finansial dan “lulus” dalam ukuran pasar.
Representasi seperti ini bereinkarnasi lewat tokoh populer seperti Olivia Pope di Scandal, Blair Waldorf di Gossip Girl, dan Emily Cooper di Emily in Paris. Keberadaan mereka mendoktrin saya bahwa kebebasan perempuan selalu diasosiasikan dengan tas branded, tubuh ideal, dan gaya hidup konsumtif—seolah tanpa itu, ke-badass-an mereka tidak lengkap.
Lalu kenyataan hidup menghantam. Ternyata hidup itu penuh plot twist. Usia 35 datang tanpa apartemen mewah dan dompet tebal. Awalnya saya merasa hidup saya kurang berhasil. Sampai saya bertemu karakter seperti Fleabag dan Midge Maisel—perempuan yang hidupnya tidak rapi, tapi tetap melangkah.
Baca Juga: 6 Pelajaran dari Serial Netflix ‘Workin’ Moms’
Fleabag tidak punya balutan glamor seperti Samantha. Pakaian terbaiknya adalah sweater merah yang dia “pinjam” dari lemari kakak perempuanya. Fleabag sinis, impulsif, dan sering menyabotase dirinya sendiri. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itu ada kejujuran. Salah satu adegan paling mengena adalah saat ia menatap kamera dan berkata: “Aku takut sebenarnya aku perempuan serakah, egois, sinis, dan tidak tahu malu yang bahkan tak layak menyebut diri seorang feminis.” Kalimat itu bukan hanya pengakuan dosa, tapi bentuk perlawanan terhadap standar moral yang terus dibebankan pada perempuan. Ia menyampaikan hal yang banyak perempuan pikirkan tapi jarang bisa ucapkan.
Midge Maisel pun tak kalah kompleks. Setelah ditinggal suami dan dicemooh keluarganya, ia memulai hidup baru sebagai komika perempuan di era 1950-an. Daripada menyembunyikan rasa malu karena ditinggal, Midge justru menjadikannya materi stand-up. Humor menjadi cara ia bertahan—bukan untuk menutupi luka, tapi untuk menatanya dan tidak membiarkannya jadi penjara.
Kalau Samantha adalah fantasi sukses versi pasar, maka Fleabag dan Midge adalah pengingat bahwa hidup perempuan tak harus sempurna agar pantas diceritakan. Tentu saja, perlu dicatat bahwa mereka semua adalah perempuan kulit putih dari kelas menengah—dan karena itu tetap punya privilese untuk “berantakan” di ruang publik tanpa konsekuensi seberat perempuan lain dari kelompok terpinggirkan. Tapi setidaknya, mereka membuka jalan bagi narasi alternatif.
Penelitian F. Akhtar (2025) menunjukkan bahwa ketika perempuan terekspos pada karakter fiksi yang tampil jujur dan tidak ideal, itu dapat meningkatkan rasa percaya diri dan self-efficacy. Setidaknya itu yang terjadi pada saya. Karakter-karakter seperti ini membuat saya menilai ulang hal-hal yang dulu saya terima begitu saja: dari cara saya berbicara, berpakaian, hingga menilai diri sendiri.
Being unapologetic bukan soal gaya edgy atau jargon feminis di media sosial. Ini adalah keberanian untuk hidup apa adanya di tengah dunia yang serba kacau. Di layar, karakter-karakter perempuan ini merebut ruang paling otentik: ruang untuk gagal, untuk marah, untuk menyuarakan keinginan—tanpa harus dibungkus keanggunan. Lagi pula, kalau laki-laki boleh gagal, mabuk, selingkuh, bahkan jadi antihero berdarah-darah dan tetap dipuja, kenapa perempuan harus selalu dipoles rapi hanya untuk sekadar bertahan?
















