‘Fujoshi’ dan Wajah Ganda Penggemar ‘Boys Love’
‘Fujoshi’ memiliki dua wajah berbeda. Mereka bisa bersikap di luar batas dan masih menginternalisasi homofobia, tapi masih ada yang membela hak-hak kelompok LGBTQ.
Boys Love (BL) relatif sedang mendapatkan momentum emasnya tiga tahun belakangan ini. Tidak lagi hanya dinikmati oleh para penggemar BL (fujoshi), masyarakat pada umumnya juga mulai melirik. Misalnya, 2gether (2020) yang selama 13 minggu penayangannya selalu jadi trending topic Twitter dunia dengan jutaan views Youtube.
Setelah 2gether, internet pun kembali dihebohkan dengan serial BL Bad Buddy. Walaupun baru tayang sebanyak tujuh episode, itu telah jadi buah bibir di media sosial dan selalu nangkring di trending topic Twitter dunia. Bad Buddy pun menjadi serial Thailand pertama yang mempunyai topic sendiri di Twitter. Bad Buddy bahkan menjadi serial Thailand dengan rating tertinggi di Douban (salah satu situs terbesar China), yaitu 9.4 dengan total ulasan per 16 Desember sebanyak 14,928 kendati China sedang gencar-gencarnya menyensor apapun yang berkaitan dengan BL.
Kepopuleran dua serial BL ini pun menjadi bukti bagaimana BL telah menjadi arus utama. Tidak bisa dipungkiri, dibandingkan ketika saya dulu masih kuliah S1 (2012-2016), fujoshi tidak sebanyak sekarang. Sekarang bahkan saya bisa menemukan fujoshi di berbagai platform media sosial, mulai dari Twitter hingga Instagram. Fanpage BL pun makin banyak bermunculan dengan puluhan ribu pengikut.
Baca Juga: 5 Alasan Bad Buddy Dicintai Penggemar Serial Thailand
Apa itu Fujoshi?
Omong-omong tentang fujoshi, apa, sih sebenarnya itu? Dalam buku Boys Love Manga and Beyond: History, Culture, and Community in Japan (2015) dijelaskan, pada 2000 awal, fujoshi muncul sebagai istilah misoginis yang dilontarkan laki-laki cishetero untuk mengejek kesukaan perempuan penggemar berat romansa antara laki-laki.
Istilah itu sendiri adalah homofon dari kata yang 婦女子(fujoshi) atau istri yang terhormat (perempuan suci dan submisif), tetapi dalam kasus ini, kanji 婦/fu (perempuan menikah) digantikan dengan kanji 腐 /fu yang berhati busuk.
Dalam hal ini, alih-alih mencoba menghindari aspek seksualitas perempuan yang seharusnya direpresi di dalam masyarakat patriarkal, para perempuan justru aktif merangkul seksualitas mereka dengan menyukai romansa homoseksualitas yang dianggap janggal di masyarakat Jepang.
Kata “busuk” pun menjadi ejekan bagi para perempuan dengan mereka diposisikan sebagai seseorang yang undesirable, tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan seperti mereka. Kesukaan terhadap romansa homoseksualitas menandakan mereka mempunyai pemikiran dan fantasi berbeda dan melenceng dari norma sosial masyarakat.
Mereka tidak akan bisa menjadi perempuan suci, submisif, dan terpenting heteroseksual yang hidup hanya untuk memuaskan dan melayani suami mereka. Karena hal inilah istilah fujoshi pun menempati strata terendah dalam budaya populer, mengalahkan istilah otaku sendiri yang telah memiliki pamor buruk.
Baca Juga: Fetishizing Gay Relationship: When Ship and Fan Fiction Turn Toxic
Wajah Buruk Fujoshi
Walaupun istilah fujoshi dalam perkembangannya telah direbut kembali, permasalahan dalam budaya menyukai konten BL di antara fujoshi kini kian mengkhawatirkan. Pada 10 Desember lalu, sebuah cuitan yang diunggah @convomf sempat ramai dibicarakan. Cuitan ini berisi keluhan seseorang anonim yang merasa sikap fujoshi sekarang sudah melewati batas.
Dalam cuitannya tersebut ia mengunggah screenshot seorang laki-laki yang takut bertemu dengan para fujoshi karena ia kerap ditanya “Kakak uke (bottom) ya?” ketika sedang berjalan bersama teman laki-lakinya. Cuitan itu pun dibalas oleh orang lain dengan pengalaman yang sama. Bahwa ketika ia selesai menonton konser boyband Korea Selatan, fujoshi tiba-tiba menanyakan ia dan teman laki-lakinya “Kalian pacaran ya? Siapa yang uke?”
Unggahan ini pun mendapat banyak respons serupa dari warga Twitter. Bahkan ada salah satu akun @anakh4ram yang menyatakan dirinya pernah dijadikan karakter fanfic 18 tahun ke atas.
“First time nder? Saya aja dibuat cerita bxb dan itu 18+, mana authornya temenku lagi, semenjak itu udah lost kontakan aku.”
Tidak hanya dijadikan karakter fanfic tanpa consent, dalam tesis Sikap dan Perilaku Wanita Penggemar Cerita Cinta Homoseksual di Facebook dan Instagram Terhadap Stigma Masyarakat (Studi Kasus di Kalangan Fujoshi) (2019), Aimah Mopashari mewawancara seorang fujoshi yang sudah menikah dan menjadikan suami bahan fantasinya.
Fujoshi bernama Sekar ini, memasangkan sang suami, Dito dengan teman sekolah dan teman kuliah laki-lakinya dan membayangkan mereka terlibat dalam hubungan romansa yang intim. Suami Sekar yang diwawancarai pula oleh Mopashari pun mengatakan bagaimana ia awalnya merasa sangat risi, namun ia harus tahan dengan sikap Sekar ini dan mengalah.
Baca Juga: ‘Banana Fish’ Berani Keluar dari Formula Klasik Genre ‘Shojo’
Hal yang kemudian aneh dan mengundang tanda tanya dari fujoshi adalah kendati mereka menyukai romansa antara laki-laki, banyak yang sebenarnya masih menginternalisasi homofobia, sehingga jelas-jelas mereka hanya memperlakukan hubungan gay sebagai bagian fantasi mereka. Dewi salah satu informan Mopashari misalnya menekankan bagaimana ia tidak ingin orientasi seksualnya sampai “berbelok” karena mengkonsumsi konten BL.
“Kalau aku sih balik ke diriku sendiri sih, yang penting aku jangan kayak gitu. Orang lain mau kayak gimana, terserah mereka, yang penting aku enggak sampai kayak gitu,” ujarnya.
Saya sendiri pun pernah memiliki pengalaman mengejutkan ketika memberikan orientasi kuliah kepada junior saya. Ketika itu saya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan heboh junior perempuan saya mengenai yaoi. Melihat antusiasme mereka terhadap adegan seks gay saya pun iseng menanyakan apakah kalau begitu mereka suka menonton video porno gay, dan jawabannya mengejutkan.
“Ih! Enggak lah senpai (panggilan senior dalam bahasa Jepang)! Jijik kali kalau nonton yang aslinya. Aku mah enggak suka nonton yang asli, jijik!”
Mereka yang Belajar Toleransi dan Berusaha Mengadvokasi
Memang fujoshi kini tengah memiliki reputasi buruknya tersendiri, tetapi tidak bisa dipungkiri, eksistensi mereka berperan dalam membangun diskusi seputar seksualitas dan keragaman gender. Pasalnya, para fujoshi yang mencintai BL juga membantu mereka lebih memahami kendala-kendala yang dimiliki teman-teman LGBTQ dan berusaha untuk mengadvokasi hak-hak LGBTQ.
“Reni” misalnya mengatakan, salah satu alasannya menonton BL dan menjadi fujoshi adalah caranya untuk memberikan ruang aman bagi teman-teman LGBTQ yang kerap kali dipersekusi hingga harus merenggut nyawa seperti salah satu temannya.
“Temanku bunuh diri. Dia tumbuh di keluarga strict, dia closet gay, dan sebagai anak laki-laki pertama punya banyak tekanan. Agak sedih karena aku enggak bisa ada disaat yg paling dia butuhkan. Aku nonton ini (BL) selain enggak sengaja juga karena mau lebih tahu lebih banyak tentang kelompok LGBTQ, hope in the future I can advocate their rights openly karena aku pengen lingkungan kita lebih open ke teman-teman komunitas LGBTQ. Aku enggak mau kehilangan teman lagi nantinya”
“Untuk beberapa kali aku dan teman-teman sering open diskusi tentang same sex marriage dan apa mungkin ke depannya bisa diterapkan di Indonesia. Aku banyak dapat info tentang kehidupan komunitas LGBTQ di luar seperti cara mereka legal menikah, struggle mereka, dan lain-lain dan informasi ini aku share untuk referensi teman-teman lain. Kadang kalau ada diskusi aku pun lebih milih kasih mic ke teman part of LGBTQ karena yang beneran struggle mereka, yang tahu pahit beneran pahitnya mereka.”
Hal yang sama pun juga diungkapkan oleh “Dina”, menjadi fujoshi dan menikmati konten BL juga membantunya untuk memahami pergulatan dan kendala apa yang dialami teman-teman LGBTQ, sehingga ia dapat menciptakan ruang diskusi bagi teman-teman yang belum paham.
“Cerita BL seringkali mengangkat isu real yang dialami oleh kaum LGBTQ. Nah, dari cerita tersebut, aku bisa jadi lebih memosisikan diri dan ngerti point of view mereka mengenai perlakuan masyarakat. Setelah mengetahui isu-isunya, jadi lebih ingin mengadvokasikan perjuangan mereka untuk ‘dimanusiakan.’”
“Buat cara mengadvokasi aku masih sederhana, sih. Lebih ke ngenalin series BL yang ada aspek edukasi soal pengalaman LGBTQ-nya ke teman yang masih awam dan ngasih wawasan soal LGBTQ melalui diskusi soal series itu. Kayak dulu waktu 2gether populer banget, banyak teman yang sebelumnya enggak biasa sama LGBTQ jadi berubah pandangannya soal itu setelah nonton dan aku bangun diskusi dari situ.”
Dina pun menyadari bagaimana menjadi fujoshi membuatnya tidak mudah menghakimi dan membuatnya lebih terbuka dengan orientasi seksualnya sendiri.
“Aku menjadi less judgemental kepada orang yang punya orientasi seksual berbeda dari kita, sih, because love knows no gender! It’s beyond it! Selain itu juga jadi lebih membuka opsi untuk pasangan sih, karena dari situ kita jadi tau kalo istilah LGBTQ itu nyatanya sebuah payung dari banyak jenis orientasi seksual lainnya selain heteroseksual.”
Fujoshi pun pada akhirnya tidak memiliki wajah tunggal. Mulai dari istilah dan perkembangannya dalam budaya populer, fujoshi memiliki sejarah yang cukup panjang dan berwarna. Di satu sisi, memang beberapa dari mereka bisa dikatakan problematik, tapi hal tersebut tidak bisa menutupi peran mereka dalam menormalisasi perbincangan tentang seksualitas dan gender di masyarakat yang patriarkal yang masih homofobik.
Ilustrasi oleh Karina Tungari