December 20, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

Tak Kunjung Minta Maaf: Menteri Agama Gagal Paham soal Kekerasan Seksual

Diamnya Nasaruddin Umar usai memberikan pernyataan soal kekerasan seksual yang dibesar-besarkan, menuai kritik. Sikap ini menunjukkan bagaimana Menag gagal memahami seriusnya kekerasan seksual di pesantren.

  • October 22, 2025
  • 4 min read
  • 2466 Views
Tak Kunjung Minta Maaf: Menteri Agama Gagal Paham soal Kekerasan Seksual

Seminggu usai melontarkan pernyataan soal kekerasan seksual yang dibesar-besarkan di pesantren, Nasaruddin Umar, Menteri Agama (Menag), belum minta maaf. Padahal, setelah ramai jadi perbincangan, berbagai pihak telah mendesak Menag untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf.  

Salah satu yang angkat suara adalah Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS). Dalam rilis yang diterima Magdalene (17/10), KOMPAKS menilai pernyataan Nasaruddin bukan hanya keliru, tetapi juga melukai rasa keadilan serta menafikan pengalaman korban kekerasan seksual.  

Berbeda dengan ungkapan Nasaruddin soal framing media terhadap kekerasan seksual di pesantren, kejahatan ini justru tercatat di setiap bulannya di lingkungan pesantren. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), setidaknya terdapat 9 kasus kekerasan seksual dengan total 107 korban yang terjadi sejak September 2024 sampai Januari 2025 saja. Salah satu korban bahkan ditemukan mengandung setelah mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan himpunan data tersebut, korban kekerasan ini meliputi seluruh santri termasuk santri perempuan, dan santri laki-laki. 

Di lain temuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan mendapati pesantren jadi tempat kejadian kekerasan seksual tertinggi ke-2 setelah perguruan tinggi. Dari catatan yang dihimpun pada 2022 itu, terdapat 16 kasus kekerasan seksual di pesantren selama 2015-2021 yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Pelakunya sendiri terdiri dari berbagai pihak di lingkungan pesantren. Salah satu yang jadi highlight Komnas Perempuan adalah pemuka agama sebagai pelaku kekerasan seksual.  

Selaras dengan pernyataan KOMPAKS, Siti Aminah Tardi (Amik), aktivis perempuan dan Direktur Indonesian Legal Resource Center (ILRC), juga mengungkapkan hal yang sama. Menurut Amik, Nasaruddin Umar wajib meminta maaf atas pernyataannya terkait kekerasan seksual di pesantren. Amik pun bilang Nasaruddin bahkan gagal paham melihat kekerasan seksual lantaran hanya melihatnya sebatas angka. 

“Mengukur atau membaca korban kekerasan seksual berdasarkan angka adalah cara membaca yang salah. Satu korban pun itu sudah menghancurkan nilai nilai kemanusiaan kita,” kata Amik. 

Baca juga: Yang Hilang dari Tradisi Pengabdian Santri Bangun Pesantren 

Tak Sejalan dengan Semangat UU TPKS 

Aktivis perempuan dan Direktur Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah Tardi (Amik), juga bilang Menag harus meminta maaf atas pernyataannya. Menurutnya, Nasaruddin gagal memahami kekerasan seksual karena melihatnya sebatas angka. 

Amik juga menyoroti bahwa pandangan Nasaruddin tidak sejalan dengan mandat dan semangat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Padahal, pengalaman para santri yang menjadi korban kekerasan di pesantren turut menjadi dasar perumusan undang-undang tersebut. 

“UU TPKS sebenarnya juga dirumuskan berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual di pesantren. Seperti kasus kekerasan oleh Heri Setiawan (HS) di Bandung. Itu mendorong pengaturan restitusi dan sita restitusi,” jelasnya. 

Ia menambahkan, pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren juga sudah tercantum dalam pasal pencegahan UU TPKS untuk lembaga pendidikan—sebagai ruang yang memiliki potensi tinggi terhadap kekerasan berbasis relasi kuasa. 

“Padahal pencegahan kasus kekerasan seksual di pesantren juga kemudian dirumuskan pada pasal pencegahan TPKS untuk bidang tertentu yaitu lembaga pendidikan, di mana jadi tempat yang berpotensi terjadinya TPKS,” imbuh Amik. 

Baca juga: Tragedi Ponpes Al Khoziny: Kegagalan Struktur atau Kekerasan Struktural? 

Gagal Paham Tanggung Jawab Institusi 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) angkat suara tentang ini. Dalam rilisnya kepada Magdalene, ICJR menyebut pernyataan Menag menunjukkan ketidakpahaman terhadap realitas kekerasan seksual di pesantren, sekaligus abai terhadap mandat UU TPKS yang menekankan pentingnya pengakuan terhadap pengalaman korban. 

“Mengakui realitas pengalaman korban jadi salah satu mandat UU TPKS. Kami menilai pernyataan tersebut mencerminkan kegagalan Menag dalam memahami keberadaan serta pengalaman nyata para korban dan penyintas kekerasan seksual,” terang ICJR. 

“Padahal, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak pernah terungkap karena ketidakberdayaan korban untuk bersuara yang berakar pada kuatnya relasi kuasa dan lemahnya komitmen para pemangku kebijakan.” 

Lebih jauh, Amik menilai pernyataan Nasaruddin juga mencerminkan ketidakpahaman terhadap tanggung jawab institusional Kementerian Agama. Sebagai menteri, Nasaruddin seharusnya memastikan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022, yang menjadi turunan dari UU TPKS, berjalan dengan baik. 

“Kemenag sebenarnya telah progresif dengan menerbitkan PMA 73/2022 sebagai bagian dari pelaksanaan UU TPKS. Sebagai regulator seharusnya Menag melakukan monitoring sejauh mana PMA dilaksanakan oleh pesantren, bukan memberikan statement seperti itu,” tegas Amik. 

Baca juga: Asal (Bapak) Kiai Senang, Menyoal Perkawinan Anak di Pesantren 

ICJR pun menilai bahwa pernyataan Nasaruddin justru memperlihatkan kemunduran komitmen negara dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dari kekerasan seksual. 

“Alih-alih memastikan penerapan Permenag tersebut berjalan secara menyeluruh dan efektif, pernyataan Menag dalam konteks ini justru menunjukkan kemunduran komitmen negara dalam memastikan lingkungan institusi pendidikan aman dari kekerasan seksual.” 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).