December 5, 2025
Issues Politics & Society

Bagaimana Gen Z Motori Perubahan di Nepal: Pelajaran Penting buat Indonesia

Protes Gen Z Nepal menjatuhkan presiden dan perdana menteri. Aksi ini memberi cermin bagi gerakan anak muda di Indonesia.

  • September 14, 2025
  • 6 min read
  • 2099 Views
Bagaimana Gen Z Motori Perubahan di Nepal: Pelajaran Penting buat Indonesia

Sejak (8/9), Kathmandu, Nepal berubah jadi pusat aksi protes. Ribuan orang, didominasi Gen Z, memenuhi jalanan ibu kota, menduduki simpang utama, membakar ban, dan berhadapan langsung dengan aparat. Gedung parlemen, Mahkamah Agung, hingga Istana Presiden ikut terbakar, menandai runtuhnya kepercayaan publik pada institusi negara. Pejabat lari lintang pukang kabur dari negaranya. 

Pemerintah mencoba meredam situasi lewat militer dan polisi, tetapi eskalasi justru makin meningkat.  

Aksi massa tersebut dipimpin Gen Z. Pemicu awalnya adalah keputusan pemerintah melarang 26 platform media sosial. Di negara yang warganya sangat bergantung pada media digital untuk bersuara, kebijakan ini dianggap sebagai upaya membungkam kritik. Namun, di balik itu ada lapisan lain, termasuk rasa muak melihat pejabat pamer kemewahan di media sosial, di tengah rakyat yang kesulitan mencari pekerjaan dan mengakses layanan publik. 

“Korupsi ini sudah ada di Nepal sejak lama sekali, dan saya pikir sudah saatnya bangsa ini berubah, saya sangat berharap ini bisa membawa hal positif bagi negara kita,” kata Ksang Lama, seorang remaja Nepal yang diwawancara BBC

Korban jiwa pun jatuh. Sedikitnya 25 orang meninggal, ratusan luka-luka, tetapi gelombang massa tidak surut. Sebaliknya, tuntutan semakin jelas: Bukan hanya cabut larangan media sosial, tetapi juga bubarkan rezim yang korup dan gantikan dengan sistem yang transparan. 

Protes ini sendiri memaksa pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan berujung pada pembubaran parlemen. Mantan Ketua Mahkamah Agung Sushila Karki lantas ditunjuk sebagai perdana menteri sementara dan menetapkan Pemilihan Umum (Pemilu) baru pada 5 Maret 2026, tulis Reuters. 

Memang pemerintahan interim dan janji Pemilu tidak otomatis memenuhi tuntutan yang dikemukakan massa. Di satu sisi kekuatan jalanan berhasil menjatuhkan figur puncak, di sisi lain vakumnya kepemimpinan membuka ruang bagi campur tangan militer dan ketidakpastian politik. Namun ada pelajaran penting yang bisa dicermati oleh Gen Z di Indonesia yang tengah berjuang mendorong perubahan sistem. 

Baca Juga: Dear Pemerintah, Kami Remaja SMA juga Berhak Bersuara di Demo 

Krisis Kepemimpinan di Tengah Amarah Publik 

Menurut catatan BBC, gelombang protes yang tak terbendung segera mengguncang pusat kekuasaan. Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada (9/9) disusul Presiden Ram Chandra Poudel. Kejatuhan dua pemimpin tertinggi dalam waktu berdekatan menandai titik balik: Rakyat tidak lagi percaya pada janji Reformasi dari atas. 

Amarah publik semakin terang ketika Menteri Keuangan Bishu Paudel ditangkap warga. Sebuah video viral memperlihatkan dirinya dipukuli, dikejar hingga ke sungai, lalu diarak massa. Adegan itu menegaskan runtuhnya wibawa elit politik yang selama ini dianggap kebal hukum. 

Aparat kemudian merespons dengan represif, termasuk membelakukan jam malam, patroli militer menguasai jalan-jalan kota, dan 27 orang ditangkap dengan tuduhan melakukan penjarahan. Namun, polisi tak selalu bisa mengendalikan situasi, indikatornya sejumlah aparat dilaporkan sempat disandera oleh massa yang frustrasi. 

Dalam kondisi kekosongan kepemimpinan, Panglima Angkatan Darat Ashok Raj Sigdel mencoba membuka dialog dengan pemuda. Dalam pertemuan informal, sejumlah aktivis Gen Z, termasuk Tanuja Pandey, menyampaikan gerakan ini bukan monopoli mahasiswa di Kathmandu, melainkan inisiatif anak muda dari berbagai daerah. 

“Kami membahas tuntutan kami. Kami mengatakan gerakan ini tidak hanya dilakukan yang tinggal di Kathmandu. Gerakan ini dilakukan oleh pemuda dari seluruh Nepal dan semua pemuda melakukan secara mandiri,” ujar Pandey kepada BBC. Ia menekankan tuntutan utama, yakni pemberantasan korupsi dan perubahan positif dalam sistem politik. 

Ketegangan makin kompleks ketika 205 narapidana melarikan diri setelah massa menyerbu Penjara Saptari. Hanya 42 yang berhasil ditangkap kembali. Kepolisian Nepal menutup perbatasan, sementara militer berjanji menindak elemen-elemen yang memanfaatkan situasi untuk menjarah, membakar, dan menyebabkan insiden. 

Baca Juga: Tembakan Gas Air Mata ke Pelajar Sebelum Jam 5, Polisi: Kalian Tugasnya Belajar 

Gen Z dan Pola Perlawanan Global 

Fenomena di Nepal tidak berdiri sendiri. Anak muda—khususnya Gen Z—tampak semakin woke dan aktif dalam mendorong perubahan politik di berbagai negara. Mereka tumbuh dengan teknologi digital, terbiasa membangun jaringan tanpa struktur formal, dan cepat menyebarkan informasi lintas batas. 

Aksi protes di Hong Kong kurun 2019 hingga 2020 saat menolak undang-undang ekstradisi menunjukkan bagaimana anak muda memanfaatkan media sosial untuk mobilisasi. Riset Lee et al. Hong Kong Adolescents’ Participation in Political Activities: Correlates of Violent Political Participation (2023) menemukan keterlibatan remaja dan mahasiswa sangat luas, dari aksi damai hingga yang diwarnai kekerasan.  

Di Iran, kematian Mahsa Amini pada 2022 memicu gelombang protes yang melibatkan banyak pelajar. Data Iran Open Data (2022) memperlihatkan sekitar 60 persen peserta protes berasal dari kelompok usia muda.  

Di Chile pada 2019, protes soal tarif transportasi berkembang jadi tuntutan reformasi sosial. Penelitian Andrés Scherman & Sebastian Rivera bertajuk Social Media Use and Pathways to Protest Participation: Evidence From the 2019 Chilean Social Outburst (2021) menunjukkan anak muda menggunakan media sosial untuk menyebarkan isu dan mengorganisasi aksi tanpa kepemimpinan terpusat.  

Indonesia pun tidak terlepas dari arus ini. Pada 2019, ribuan mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dalam aksi #ReformasiDikorupsi. Berlanjut dengan aksi #DaruratIndonesia, dan terakhir #ResetIndonesia pada 2025. Aksi terakhir ini melahirkan gerakan 17+8 yang juga dimotori sejumlah anak muda seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, dan Fathia Izzati. Dari 25 tuntutan itu, 17 poin jangka pendek harus dipenuhi dalam sepekan, dan 8 tuntutan jangka panjang untuk satu tahun. Tuntutan tersebut berkisar dari transparansi DPR, penghentian kekerasan aparat, revisi peran militer, hingga reformasi politik.  

Dari berbagai aksi protes di Indonesia, benang merahnya: Banyak peserta yang justru berlatar anak SMA. Ini menandai keterlibatan generasi termuda dalam politik jalanan dan aktivisme digital. 

Baca Juga: Kita Adalah Affan: Potret Buram Kekerasan Negara dan Ekonomi yang Menjerat 

Pakar psikologi sosial UGM Prof. Dr. Faturochman, menilai keterlibatan Gen Z dalam demonstrasi mencerminkan ketidakpercayaan pada saluran aspirasi formal. “Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” katanya. 

Jika dibandingkan dengan protes di Nepal, kita melihat bagaimana Gen Z mampu menekan elit politik sampai ke titik mundurnya presiden dan perdana menteri. Fenomena ini sejalan dengan gelombang global dari Hong Kong, Iran, Chile, hingga Indonesia. Anak-anak muda tidak lagi menunggu perubahan dari atas, tetapi mengorganisasi diri dengan cara mereka. 

Laporan The Washington Post tentang Hong Kong, Iran, dan Chili menegaskan pola yang konsisten. Di sana generasi muda memanfaatkan ruang digital untuk memobilisasi, lalu menuntut perubahan yang menyentuh struktur politik. Pertanyaannya, apakah kemarahan Gen Z, baik di Nepal maupun Indonesia ini bisa terhubung dengan agenda politik yang lebih terstruktur, atau berhenti sebagai letupan? Yang jelas, Nepal menunjukkan satu hal: Ketika generasi Z bersatu, status quo tidak lagi aman—sebuah pelajaran penting buat Indonesia. 

About Author

Ahmad Khudori and Purnama Ayu Rizky