History Issues Politics & Society

Saya Ngobrol dengan Gen Z Soal Alasan Ogah Disebut Buruh Meski Digaji Bulanan

Ada tren di kalangan Gen Z yang eggak mau dianggap buruh meski terima gaji dari perusahaan. Ternyata ini akibat warisan Orde Baru.

Avatar
  • April 26, 2024
  • 9 min read
  • 1370 Views
Saya Ngobrol dengan Gen Z Soal Alasan Ogah Disebut Buruh Meski Digaji Bulanan

Saban 1 Mei, jutaan buruh di dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Jika dirunut dari sejarah, perayaan ini lahir pada 1 Mei 1886 ketika ribuan pekerja di Chicago, Amerika Serikat mulai memperjuangkan hak-hak mereka untuk upah yang lebih baik, kondisi kerja aman, dan jam kerja pendek. 

Sayang, semangat baik dari aksi damai tersebut justru berakhir dengan kekerasan. Korban berjatuhan hingga ada yang terenggut nyawanya. Empat aktivis buruh pun dipenjara dan dihukum mati atas tuduhan terorisme.

 

 

Akhirnya pada 1889, Kongres Buruh Internasional yang diselenggarakan di Paris, Prancis, memutuskan untuk menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day. Sejak saat itu, peringatan May Day jadi momen penting buruh sedunia untuk menyuarakan hak-haknya di depan pemangku kebijakan serta pemberi kerja. Para buruh ramai turun ke jalan, diskusi terbuka, atau selemah-lemahnya iman mengunggah poster di media sosial pribadi. 

Namun, tampaknya enggak semua buruh sama antusiasnya. Apalagi Gen Z yang saya kenal, rerata enggan atau ragu disebut sebagai buruh. Saya ngobrol bersama empat Gen Z yang terdiri dari tiga orang yang sudah bekerja dan satu mahasiswa. Mereka adalah Nana (24), Cynthia (24), Raihan (23), dan Putri (20). 

Baca Juga: THR Sudah Dekat, Cari Tahu Dulu Sejarah dan Kontroversinya 

Definisi Buruh di Mata Gen Z 

Dalam wawancara tersebut, ada dua pertanyaan inti yang harus mereka jawab. Pertama, apa definisi buruh bagi mereka. Kedua, apakah pekerjaan yang mereka atau orang-orang sekitar geluti sekarang, termasuk kategori buruh. Hasilnya, dari keempat Gen Z yang saya wawancarai, cuma Nana yang bisa menjelaskan definisi buruh secara tepat. Definisi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. 

Nana yang kini bekerja sebagai butler dan staff wedding organizer bilang, semua orang yang masih bekerja di bawah pimpinan dan mendapatkan upah, disebut buruh. Yang membedakan menurut Nana cuma tanggung jawab dan lingkup kerjanya. 

“Jadi butler dan WO keduanya diklasifikasikan sebagai buruh. Buruh di bidang jasa,” jelas Nana. 

Berbeda dengan Nana, Cynthia merasa ragu apakah pekerjaannya sekarang termasuk dalam definisi buruh. Guru Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta berbasis agama di Jakarta itu menambahkan, buruh berarti manusia yang bekerja untuk orang lain agar mendapatkan upah. Baik itu pekerjaan kasar ataupun pekerjaan lainnya sesuai dengan bidangnya. 

“Namun, aku ngerasa saat ini buruh lebih identik untuk pekerja kasar, seperti tukang, buruh pabrik, kaya gitu,” tutur Cynthia. 

Keraguan soal status sebagai buruh muncul ketika ia merasa ada perbedaan kriteria antara karyawan/pekerja dan buruh, khususnya pada besaran upah kerja. Dibandingkan dengan karyawan/pekerja, buruh kata Cynthia lebih memiliki beban kerja yang banyak, tuntutan tinggi, tetapi upahnya sedikit berbeda. 

Cynthia sendiri punya beban kerja cukup banyak, tapi pendapatan atau fasilitas yang ia dapatkan tidak sesuai. Di sisi lain, ia merasa definisi buruh tidak sepenuhnya bisa menggambarkan dirinya. Sebagai guru, ia juga merasa masuk dalam definisi karyawan/pekerja karena pekerjaan Cynthia bukan berhubungan dengan kerja fisik atau yang ia sebut “kerja kasar”. 

Adanya perbedaan pemahaman antara buruh dengan karyawan/pekerja, ungkap Cynthia, lebih banyak dipahami oleh teman sejawatnya. Ia mengaku teman-temannya enggan dipanggil buruh. Sebaliknya, mereka lebih nyaman dipanggil karyawan bahkan budak instansi jika itu mengacu pada candaan antarteman. 

“Buat bercandaan mereka lebih nyaman pake kaya istilah budak instansi atau budak koorporat. Padahal (secara istilah) parahan budak ya,” kata Cynthia. 

Berbeda dengan Cynthia yang masih ragu dengan statusnya, Raihan, freelance di bidang konsultan IT terang-terangan menegaskan ia bukan termasuk buruh. Ia berdalih freelancer tidak bekerja untuk perusahaan atau orang lain melainkan terikat hubungan jasa. Karena itu, dia seorang pekerja. Sebaliknya, buruh adalah orang yang terikat hubungan kerja dengan orang lain. 

Perbedaan pemaknaan antara buruh dan pekerja/karyawan juga dipahami Putri, mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta. Putri bilang, seseorang yang bekerja mengandalkan fisik atau intelektual guna menghasilkan barang atau layanan dan diberikan upah. Mereka biasanya bekerja dalam berbagai sektor seperti industri, pertanian, dan lainnya. Namun terlepas dari pemahaman tersebut, Putri mengatakan perbedaan buruh dan karyawan/pekerja terletak pada jumlah upah dan di mana ia bekerja. 

“Menurutku buruh yang gajinya di bawah dua digit, yang gajinya juga enggak menentu. Mereka yang gajinya di atas dua digit itu atau gajinya menentu termasuk pekerja. Jadi ya kalau PNS, dosen ya mereka pekerja. Guru honorer itu baru buruh sama kaya pekerja pabrik, petani, pengemudi gitu karena gajinya kecil dan enggak menentu juga,” kata Putri. 

Baca juga: Gaji Secuil, Lingkungan Toksik: Potret Buram Kesejahteraan Dosen Indonesia 

Buruh yang Diperjuangkan Orde Lama 

Buruh dalam konteks sejarah sangat dipengaruhi oleh beragam aspek. Dari sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Adanya batasan yang diberikan Gen Z terhadap definisi buruh dan pekerja/karyawan enggak lepas dari aspek-aspek ini. Mereka tidak bisa serta merta disalahkan kalau merasa ragu atau enggan dipanggil buruh.

Kenyataannya, rasa keterasingan mereka terhadap istilah ini terjadi bukan semata-mata karena ketidakpedulian mereka. Keterasingan ini justru bersifat struktural dan itu semua bermula dari masa Orde Baru. 

Sebelum Soeharto berkuasa lebih dari tiga dekade, Herdiansyah Hamzah, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dalam tulisannya yang diterbitkan Antara memberi penjelasan soal ini. Kata dia, istilah buruh justru akrab di telinga masyarakat Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. 

Istilah buruh bahkan jadi sebutan bagi siapa pun yang bekerja untuk mendapatkan upah, baik di sektor industri maupun pemerintahan. Ini terlihat dari bagaimana tenaga kesehatan, buruh pegadaian, sipir, hingga pegawai negeri membentuk serikat buruhnya sendiri.

Kala itu, Soekarno bahkan lebih memilih menggunakan istilah buruh dibanding pekerja. Hal ini terlihat dari eksistensi Kementerian Perburuhan yang pada saat itu dijabat oleh S.K. Trimoerti yang sekaligus menteri perburuhan pertama di Indonesia. 

Lewat periode kepemimpinannya sebagai Menteri Perburuhan, S.K. Trimoerti pun berhasil menghasilkan produk hukum yang paling “progresif” di Asia Tenggara saat itu, yaitu Oendang-Oendang Kerdja. Dikutip dari artikel Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) kabinet parlementer yang dipimpin Sjahrir, Menteri Sosial Maria Ulfah mengeluarkan semacam surat edaran yang berisi dukungan perayaan 1 Mei. 

Saat pidato perayaan 1 Mei 1946, Maria Ulfah mengatakan, pemerintah akan membuat Undang-undang Perburuhan untuk “perbaikan nasib rakyat Indonesia seumumnya”. Setelah satu tahun penyusunannya, Oendang-oendang Kerdja rampung di bawah kepemimpinan S.K. Trimoerti dengan empat pasal penting: Batas usia anak yang boleh dipekerjakan adalah 14 tahun, buruh perempuan tidak wajib kerja pada hari pertama dan kedua haid, buruh mendapat hak istirahat tiga bulan bagi yang sudah bekerja enam tahun berturut-turut, dan hak libur pada 1 Mei. 

Baca Juga: Mendadak Pulang, Balada Buruh Migran Perempuan Terjebak Stigma dan Beban Ganda 

Buruh yang Dimatikan Rezim Orde Baru 

Nahasnya, kemajuan pemerintahan Orde Lama musnah ketika Soeharto berkuasa. Dalam laporan Tirto.id, Soeharto mengangkat Awaloedin Djamin, perwira menengah polisi yang baru berpangkat Komisaris Besar Polisi (setara kolonel) untuk memimpin Kementerian Perburuhan yang disebut Awaloedin Djamin dalam autobiografinya sebagai “departemen hitam” karena lekat dengan politik gerakan kiri alias komunisme. Inilah mengapa kemudian pada 27 Maret 1966, Kementerian Perburuhan berganti nama menjadi Departemen Tenaga Kerja (Depnaker). 

Di bawah kepemimpinan Awaloedin Djamin, ketentuan pemerintah untuk mencabut 1 Mei sebagai Hari Buruh dikeluarkan. Alasannya sangat politis, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang kala itu adalah federasi organisasi buruh terbesar di Indonesia, dikhawatirkan bisa menungganginya. Sehingga, sejak 1967, perayaan 1 Mei resmi diharamkan. 

“Indonesia baru saja ditimpa bencana G30S/PKI. Seluruh rakyat Indonesia pun mengetahui, pada tahun-tahun berdarah itu, perayaan hari buruh selalu didominasi oleh SOBSI/PKI,” ujarnya. 

Soegiri DS dan Edi Cahyono, dalam buku Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru (2003), Soeharto melakukan intervensi yang kuat dalam menghancurkan gerakan buruh secara sistematis yang bisa dilihat dari perangkat hukum yang ia miliki.

Pertama, ada Peraturan Menteri (Permen) Nomor 342 Tahun 1986 tentang intervensi militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan. Jadi jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak melakukan mediasi adalah pihak militer. 

Kedua, Permen Nomor 1108 Tahun 1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara seperti lembaga hukum.

Ketiga, Permen Nomor 1109 Tahun 1986 tentang pembentukan unit kerja (UK) di perusahaan harus melibatkan pengusaha.

Baca Juga: Rekomendasi Film Tentang Perjuangan Buruh yang Wajib Kamu Tonton

Terakhir, Permen Nomor 04 Tahun 1986 tentang pemberian izin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). 

Rezim otoriter Orde Baru sengaja melakukan politisasi bahasa. Itu dilakukan dengan memberangus serikat buruh dan mendirikan “serikat buruh” baru resmi dan diakui pemerintah. Pada 1960, TNI Angkatan Darat mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) untuk menggantikan SOBSI yang telah duluan disikat pasca-dicap sebagai PKI. Istilah buruh resmi berubah menjadi karyawan. 

Lalu pada pada 20 Februari 1974 ketika Menteri Tenaga Kerja dijabat oleh Subroto Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) resmi. Akan tetapi, penggunaan kata buruh dalam FBSI hanya bertahan sementara. Pada Kongres tanggal 23-30 November 1985, nama FBSI diubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SPSI pun jadi satu-satunya serikat buruh yang resmi dan diakui pemerintah pada waktu itu. Selain SPSI, serikat buruh dianggap ilegal. 

Herdiansyah Hamzah bilang, perbedaan istilah antara buruh, pekerja, dan karyawan tak ubahnya upaya penguasa untuk mempertahankan status quo atau kekuasaan mereka. Penguasa sadar, kekuatan buruh lewat solidaritas mereka bisa jadi ancaman karena itu penguasa sengaja memberangusnya sampai ke akar dan memecah belah mereka.  

Warisan Orde Baru ini menciptakan masyarakat yang terjebak dalam prasangka dan penyangkalan kelas. Buruh jadi dimaknai sempit. Sebagian besar memahami sebagai pekerja non-terampil yang mengandalkan tenaga fisik. Ilusi mengenai kelas menengah pun memperparah kondisi ini. Ilusi yang kata David Graeber antropolog dan aktivis anarkis Amerika Serikat yang dikutip lewat unggahan Pustaka Catut tak lebih dari kelas palsu. Ia mengisolasi para pekerja, sehingga siapa pun yang di luar lingkaran elit akan terpecah belah dan saling bertikai ketimbang melawan lembaga dan tatanan kekuasaan. 

Akibat prasangka dan penyangkalan, buruh kehilangan solidaritas kelas dan kemampuan untuk mengorganisasi diri. Lihat saja bagaimana sebagian dari masyarakat kita memandang rendah profesi tertentu dan memperlakukan mereka semena-mena. Atau bagaimana buruh kantoran paling lantang melontarkan protes bahkan mengecam aksi para buruh pabrik yang melakukan demonstrasi di jalan. Mereka ini yang paling enggan disebut atau diasosiasikan sebagai buruh. 

Para pegawai sipil tulis Pustaka Catut tak jauh beda. Mereka bahkan jadi pembela kelas penguasa yang patuh. Mereka merasa dirinya bagian dari ‘pemerintah” yang tidak perlu terlibat dalam perbaikan kondisi ekonomi secara kolektif. Tak mengherankan berkat Orde Baru, budaya kerja Orde Baru, individualistik, seperti korupsi, kolusi nepotisme, serta persaingan kerja yang tidak sehat di kantor serta kebiasaan pungutan liar jadi lestari. 

Tentunya warisan Orde Baru ini mesti dibongkar dan dibabat sampai tuntas. Cara paling sederhananya tulis SINDIKASI bisa dimulai dari mempertanyakan posisi diri kita sendiri. Jika kita merasa bukan buruh, dengan alasan kita berbeda dengan buruh, coba ajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kerentanan kita dalam bekerja. Kalau dalam pekerjaan kita menemukan kerentanan misal dari segi beban kerja hingga kemungkinan untuk dipecat, lantas kenapa kita menolak mengidentifikasi diri sebagai buruh? 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *