Culture Screen Raves

Review ‘Dua Hati Biru’: Tak Ada Keluarga yang Sempurna dan Mungkin Memang Tak Harus Sempurna

Enggak cuma menyentil soal pengasuhan, film ini juga banyak membahas soal isu-isu penting, terutama kehadiran seorang ayah dalam kerja-kerja perawatan.

Avatar
  • April 27, 2024
  • 4 min read
  • 986 Views
Review ‘Dua Hati Biru’: Tak Ada Keluarga yang Sempurna dan Mungkin Memang Tak Harus Sempurna

*Peringatan Spoiler

Empat tahun setelah film Dua Garis Biru (2019) rilis, Gina S Noer dan Dinna Jasanti kembali dengan sekuelnya Dua Hati Biru (2024).

 

 

Jika dalam film pertama berfokus soal Dara (Zara Adisty)—sekarang diganti Aisha Nurra Datau, dan Bima (Angga Yunanda) yang menjalani konsekuensi dari kehamilan tak diinginkan, di sekuelnya ini, Gina dan Dinna fokus pada kompleksnya kehidupan pasangan muda itu sebagai orang tua yang berusaha membesarkan Adam (Farrel Rafisqy).

Sejak film pertama, kita tahu Zara dan Bima punya latar belakang berbeda. Zara dibesarkan di keluarga kelas menengah atas sedangkan Bima tumbuh di keluarga pas-pasan. Zara punya privilese meneruskan pendidikan di Korea Selatan, sementara Bima harus bekerja sejak lulus SMA, sekaligus membesarkan Adam.

Perbedaan latar belakang keluarga inilah yang jadi tantangan terbesar keduanya dalam membesarkan anak. Zara yang belajar di luar negeri sambil bekerja punya cara berbeda dalam menyerap dan memahami ilmu parenting. Begitu pula cara Bima melihat cara mengurus keluarga.

Baca juga: ‘Dua Garis Biru’ dan Kenyataan Pendidikan Seks di Indonesia

Ilmu Parenting Boleh Beda, tapi Kerja Sama Orang Tua yang Utama

Perbedaan itu terutama terlihat dari Dara yang memaksa Bima untuk mengikuti kelas parenting berbahasa Inggris. Atau saat Dara memutuskan untuk pergi ke marriage counseling saat hubungan mereka naik-turun.

Bagi Dara, cara-cara itulah yang ideal. Namun, ia lupa bertanya bagaimana yang ideal buat Bima. Meski awalnya lumayan memaksa, pelan-pelan Dara paham bahwa yang penting adalah diskusi dan saling memahami. Naskahnya membawa kita berefleksi tentang cara belajar pengasuhan yang boleh beda, tapi kerja sama dan saling pengertian tetap jadi utama.

Selain dari karakter Bima dan Dara, film ini juga menyentil soal perbedaan parenting antar-generasi. Sejak lahir, Adam tumbuh dengan cara pengasuhan nenek-kakeknya, di saat Bima sendiri mencoba hadir, belajar, dan berperan dalam pengasuhan Adam.

Ibu Bima (Cut Mini) awalnya meremehkan cara parenting Dara, yang dianggap masih kecil dan belum tahu apa-apa. Namun ia pada akhirnya mengerti, bahwa biar bagaimanapun, Dara dan Bima terus belajar, dan cara pengasuhannya tak selalu yang terbaik hanya karena ia sudah berpengalaman.

Baca juga: ‘Strict Parenting’: Pola Asuh yang Mendisiplinkan, tapi Bikin Anak Sesak

Sumber: Wahana Kreatif

Unpack Maskulinitas Toksik dalam Diri Bima

Salah satu isu penting di film ini adalah soal proses Bima membongkar nilai-nilai maskulinitas toksik dalam dirinya. Bima yang dibesarkan di lingkungan patriarkal masih memandang bahwa ia adalah kepala keluarga yang harus memimpin dan membayar semuanya.

Dalam sebuah dialog, bos Bima bahkan mengatakan Bima tak punya harga diri karena membiarkan istrinya bekerja, sedang Adam diasuh sang ayah.

“Harga diri lu dienjek-injek jadi laki.”

Pandangan seperti itu sempat membuatnya malu saat ia terpaksa jadi bapak rumah tangga. Apalagi saat ia keluar dari pekerjaannya. Bima merasa harga dirinya diinjak-injak saat Dara memberikan uang bulanan. Padahal, Bima sendiri bukan tak bekerja, ia di rumah merawat Adam, membersihkan rumah, hingga masak buat Dara—pekerjaan-pekerjaan yang dipandang “tak bernilai” dalam sistem ekonomi kita hari ini.

Selama ini tak dimungkiri, memang ada stereotip bahwa perempuan lebih cocok mengurus kerja perawatan ketimbang lelaki. Sementara dalam film ini, sifat caring dan yang lebih dekat dengan anak-anak justru Bima.

Ia yang awalnya enggan mengakui keunggulannya mengajar anak-anak, pada akhirnya sadar bahwa kerja perawatan itu tak seharusnya dibatasi pada gender tertentu. Pun, tak ada yang salah dari bekerja di rumah dan merawat Adam. Terlepas dari beban gender yang ditempelkan society pada laki-laki.

Selain menyentil permasalahan stay at home dad, film ini juga mengangkat soal isu penting yang sering luput di film lain: Peran komunitas yang sangat penting dalam membesarkan anak.

Bima mungkin tak paham soal isu parenting dari kelas-kelas fancy berbahasa Inggris, tapi ia justru banyak belajar dari ibu-ibu di gang rumahnya yang sering ngadain kelas parenting. Di sini benar-benar digambarkan bagaimana peran komunitas itu penting, terutama untuk mendorong lebih banyak laki-laki mau terlibat dalam urusan pengasuhan.

Baca Juga: Pola Asuh Otoritatif yang Hangat namun Tegas Bermanfaat Bagi Anak

Tak Ada Keluarga yang Sempurna, dan Memang Tak Perlu

Di film Dua Hati Biru, baik keluarga Bima atau pun Dara, sama-sama tak baik-baik saja. Dara-Bima masih belajar jadi orang tua yang lebih baik, begitu pun juga dengan ibu dan ayah Bima-Dara yang juga tak selalu tahu bagaimana caranya jadi kakek-nenek yang baik.

Semuanya bisa berbuat salah, meski kadang tak mudah mengakui hal itu. Film ini seolah mempertegas bahwa tak ada keluarga yang sempurna dan tak pernah meninggalkan trauma, tapi mungkin memang semuanya tak perlu sempurna dan tak apa mengakuinya.


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *