“Kamu, kok gendutan? Beda banget sama penampilan kamu setahun lalu.”
“Sejak terapi, sudah naik berapa kilo?”
Berbagai komentar muncul ketika saya mengawali proses terapi farmakologi menggunakan obat-obatan antidepresi dan mood stabilizer. Kondisi tubuh yang membesar, pinggang melebar, bahkan perubahan bentuk wajah jadi lebih chubby, menjadi alasan orang menanyakan perubahan fisik saya.
Buat saya sendiri, komentar yang dilemparkan seseorang –baik yang dekat dengan kita, atau cuma orang selewat, akan menjadi stressor bagi mereka penyandang isu kesehatan mental. Dalam hal ini, kadang orang tak tahu dan gagal paham, seberapa berat pertarungan kita sebagai penyintas gangguan kesehatan mental (bipolar, anxiety disorder, borderline, PTSD, dll.) dalam menghadapi rutinitas sehari-hari.
Dari mulai bangun tidur hingga terlelap lagi, adalah perjuangan berat. Apalagi orang-orang dengan gangguan kesehatan mental punya kondisi kimia di otak yang berbeda dengan kondisi manusia normal lainnya. Untuk bangun dari tempat tidur pun butuh upaya keras. Sepanjang pengalaman saya sebagai pasien bipolar, ini biasanya terjadi pada fase depresi, lantaran ketidakseimbangan neurotransmitter pada otak yang mengatur suasana hati, seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin.
Baca juga: “Sepertinya Saya Bipolar”: Bahaya Diagnosis Mandiri Gangguan Mental
Edukasi dan Empati yang Kurang
Sudah dua tahun saya mengonsumsi obat antidepresan dan mood stabilizer secara rutin. Berbagai dampak dan efek samping harus saya terima dengan legowo sebagai konsekuensi, karena ingin menjalani hidup lebih baik. Saya bukan tipe orang yang menentang kenyataan, bahwa saya “dianugerahi” kondisi mental yang berbeda dengan orang lain, karena ternyata orang yang menghadapi perjuangan berat seperti saya juga banyak. Akan tetapi, edukasi tentang efek samping dan risiko yang dihadapi ketika menjalani proses terapi farmakologi masih sangat rendah di masyarakat.
“Oh, dia bipolar? Pantesan sekarang gemukan.” Tak jarang komentar seperti ini muncul tanpa tedeng aling-aling. Tak pantas rasanya menyampaikan penilaian terhadap bentuk fisik seseorang, tanpa menyadari efeknya bagi si penderita. Pernahkah kamu berpikir, komentarmu akan membawa dampak rasa rendah diri, putus asa, hingga keinginan mengakhiri proses terapi (berhenti minum obat) – padahal terapi itu amat penting.
Mengutip pernyataan dr. Devia Irine Putri di situs Klikdokter, obat bipolar itu dapat meningkatkan nafsu makan atau menyebabkan perubahan metabolisme tubuh yang berujung pada peningkatan berat badan.
Beberapa penelitian yang dilansir dari Healthline juga menyatakan, beberapa obat bipolar dapat meningkatkan kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah inilah yang menyebabkan bertambahnya berat badan. Obat-obatan bipolar ini, memengaruhi tingkat energi, dan ketika energi meningkat, kebutuhan kalori yang didapat dari makanan juga ikut naik.
Biasanya, penyebab kenaikan berat badan pada penderita bipolar, tergantung dari periode depresi yang dialaminya. Saat mengalami fase depresi, biasanya tingkat kebutuhan makan meningkat, dan aktivitas fisiknya menurun.
Baca juga: Saya Pasien Borderpolar dan Menulis adalah Sebuah Katarsis
Karena itu, banyak psikiater menyarankan aktivitas fisik, seperti berolahraga dan terapi meditasi untuk mengimbangi efek samping obat pada kondisi fisik pasien. Istirahat teratur dan aktivitas olahraga ini sangat dianjurkan. Untuk olahraga, ada banyak pilihan yang dapat dilakukan, misal aerobik selama 30-45 menit, jalan santai 30-60 menit, berenang 10-20 menit, yoga selama 30 – 60 menit, dll. Pola hidup sehat inilah yang akan membantu mengurangi frekuensi kekambuhan pasien bipolar.
Saya sadar, sebagai pasien bipolar ada banyak risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Namun, di balik beratnya pergulatan itu, Tuhan menganugerahi manusia dengan kecerdasan lewat metode penelitian dan teknik menghadapi kekambuhan. Ketika saya memilih untuk berolahraga dan meditasi, ini semata-mata karena saya mencintai tubuh yang sedang berjuang menghadapi efek samping obat-obatan.
Edukasi mengenai teknik coping yang efektif dan dukungan sosial sangat penting untuk menghadapi stressor dan mengurangi risiko kekambuhan. Aktivitas fisik dan pola hidup sehat yang saya jalani inilah yang membantu saya mengatasi stres sehari–hari. Selain kontrol rutin dan konsumsi obat sesuai anjuran dokter, yang merupakan komponen paling penting dalam pencegahan kekambuhan. Biasanya pasien kambuh karena berhenti minum obat, dengan alasan merasa sembuh atau takut efek samping obat yang membuat tubuhnya membesar.
Selain pola hidup sehat, istirahat cukup, teknik Cognitive Behavioural Therapy (CBT), meditasi mindfulness, dan journaling, dapat menjadi penunjang kesembuhan. Akan tetapi, yang paling penting dari semuanya adalah, bagaimana menyadari penyakit yang diderita tidak mendefinisikan siapa kita. Hidup berdampingan dengannya mungkin sesuatu yang berat, tetapi saya yakin tingkat resiliensi pasien bergantung dari kesadarannya untuk mencintai dirinya terlebih dahulu.
Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada
Lalu bagaimana cara mencintai tubuh sendiri? Di antaranya adalah dengan tidak mengindahkan komentar orang lain tentang bentuk tubuh kita, atau mereka yang memandang sebelah mata perjuangan yang sedang dijalani. Yakinkan diri, kita terlalu berharga untuk dipandang remeh. Peduli dengan diri sendiri, sebelum memohon kepedulian dari orang lain di sekitar kita.
Kita harus yakin, penampilan sama sekali bukan fitur terpenting manusia, karena di semesta ini, tidak ada yang namanya tubuh sempurna. Jika percaya diri dengan bentuk tubuh sendiri, maka kita bisa lebih fokus pada tujuan hidup dan kesehatan mental yang diperjuangkan, serta proses memperbaiki hubungan sosial dengan orang-orang di sekitar kita.
“Give your body the love and respect it deserves.”