Issues

Saya Pasien Borderpolar dan Menulis adalah Sebuah Katarsis

Proses menulis memang sering kali terasa sepi buat perempuan borderpolar. Namun, saya anggap ini semacam piknik menyenangkan.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 4 min read
  • 1214 Views
Saya Pasien Borderpolar dan Menulis adalah Sebuah Katarsis

Sejak lima tahun silam, saya tahu ada masalah dengan diri sendiri. Betul juga, setelah beberapa kali menemui psikiater, saya didiagnosis bipolar. Semua mimpi dan harapan saya runtuh kala itu. Obat-obatan yang saya konsumsi belum banyak berdampak, bahkan sampai tiga tahun berselang. Nyaris menyerah, saya menghentikan psikoterapi hingga akhirnya ledakan impulsif itu datang lagi.

Terpaksa saya dan suami mencari psikolog dan psikiater baru. Kali ini diagnosisnya lebih ngeri-ngeri sedap. Saya mengidap bipolar disorder dengan komorbid borderline personality disorder (kepribadian tipe ambang). Dunia saya langsung buram rasanya. Sempat terpikir, siapa, sih yang mau punya ibu atau pasangan dengan kondisi mental breakdown begini?

 

 

Beruntung, suami dan anak-anak saya saat itu berperan sebagai support system yang solid. Mereka berbagi peran sebagai pengingat, pelindung, serta teman bicara. Ternyata peran serta dan ketahanan caregiver adalah hal penting di garda proses penyembuhan, selain kemauan keras pasien sendiri tentunya.

Karena dapat dukungan yang baik, saya mencari opsi lain untuk melepas emosi dan mengekspresikan diri. Katarsis saya adalah lewat menulis. Menulis adalah suaka saya untuk berdamai dengan masa lalu dan trauma yang menghantui. Menulis adalah sarana terapeutik yang sempurna karena bisa membantu saya mengenali diri, apa yang saya mau, apa yang ingin saya katakan, dan apa yang mengganggu pikiran saya.

Kalau ingat perempuan yang menulis dengan kondisi mental breakdown, saya jadi ingat Virginia Woolf. Melalui jurnalnya, Woolf menyatakan tak bisa lagi bertahan, dorongannya untuk bunuh diri sangat besar, saya paham kegelisahan itu. Persona Woolf adalah daya tarik bagi saya sebagai pengagum. Rasanya kalau dia ada di depan mata, saya ingin memeluk dia saat psikosis itu kambuh.

Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

Walaupun Woolf sudah dikenal selama hidup karena aktivitas intelektualnya, tapi ia menjadi ikon feminis dan penulis perempuan jauh setelah kematiannya. Tulisan dia seolah jadi kitab bagi pelajar studi sastra dan gender, apalagi perempuan.

Ada satu kalimat dari Woolf di “A Room of One’s Own” yang saya rapal seperti mantra, “Perempuan itu harus punya ruang dan uang sendiri kalau mau menulis fiksi.” Esai ini yang memotivasi saya untuk sedikit demi sedikit bangkit. Pengaruh Woolf kuat tertanam agar saya mau menulis apa pun, baik jurnal, fiksi, puisi, buku anak, bahkan surat untuk orang-orang yang saya anggap berharga.  

Saya ingat, bagaimana ketika kehilangan semangat hidup dan mulai menyakiti diri sendiri. Bagaimana beban dalam pikiran gelap saya terus datang menghantui, ia bersembunyi di sudut-sudut otak saya, datang kapan saja saat saya lepas kendali. Merasa kecil, merasa tidak berharga, merasa tak punya tempat di dunia ini.

Sekarang saya berusaha untuk yakin bahwa penyakit ini tidak mendefinisikan siapa saya. Hal yang terjadi di dalam senyawa kimia di otak saya, adalah hal di luar kendali. Saya bukanlah borderpolar yang saya idap.

Pikiran saya merepetisi pernyataan itu berulang-ulang. Saya layak dicintai, terutama oleh diri saya sendiri. Meski sulit, saya selalu berusaha bangkit lagi, dan bertahan dengan amunisi yang saya punya, yakni orang-orang yang berharga di hidup saya dan hobi yang saya cintai.

Proses menulis memang sering kali terasa sepi – dwelling in our own imaginations. Namun, saya anggap ini semacam piknik menyenangkan. Terapi menulis saya manfaatkan untuk menghadapi tekanan psikologis dalam menghadapi apapun. Kalau kata psikiater saya, terapi ini harus dikombinasikan dengan teknik psikoterapi lainnya, seperti terapi kelompok atau terapi perilaku kognitif.

Baca juga: ODGJ Naik dalam 30 Tahun Terakhir, Perempuan dan Usia Produktif Paling Tinggi

Karena suka menulis fiksi, saya jadi ingat kata psikolog kognitif asal Kanada, Keith Oatley, yang menyebut fiksi sebagai simulator penerbangan akal manusia“. Anggaplah mereka pilot yang terbang tanpa benar-benar melayang. Kata dia, orang-orang yang membaca dan menulis fiksi dapat meningkatkan kemampuan sosial sendiri. Lebih lanjur, orang yang sering membaca atau menulis fiksi memiliki kognisi sosial yang lebih baik. mereka lebih mahir menerka apa yang orang lain pikir dan rasakan. Hmm, apa betul?

Intinya, berkat menulis – apa pun jenisnya, membantu melatih kesehatan mental saya tetap terjaga. Karena itulah, selama saya menjadi pasien borderpolar, hampir setiap ada waktu senggang, saya selalu menulis. Boleh dibilang, itu amat membantu saya untuk menenangkan diri, menjauhkan luka batin dan memori buruk yang bikin trauma.

Saya tahu, sebagai pasien borderpolar, saya punya banyak keterbatasan. Harus selalu bergaya hidup sehat, mood harus seimbang, dan menjaga emosi saya agar tetap stabil. Saya tidak pernah tahu kapan bahaya mengintai di sudut-sudut otak saya. Namun, sebagai manusia yang juga ingin hidupnya baik-baik saja, saya akan berupaya untuk mawas diri dan mencintai diri apa adanya. Sekecil-kecilnya yang bisa saya lakukan, adalah selalu berusaha menyebarkan kebaikan dan semangat (lewat kisah yang saya tulis), serta berusaha bertumbuh menjalani hari.

They can because they think they can,” kata Virginia Woolf.



#waveforequality


Avatar
About Author

F. F. Ferdiana

F.F. Ferdiana adalah ibu dari dua orang putri dan dua ekor kucing. Pegiat literasi yang mengawali tulisannya lewat buku anak dan buku pelajaran. Hobi membuat coretan di antologi puisi dan cerpen. Sedang menunggu novel, anak sastra pertamanya lahir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *