December 5, 2025
Issues Politics & Society

#RaporMerahPemerintah: Agenda Perempuan (Masih) Tak Masuk Prioritas Negara

Dari kebijakan yang berpihak pada elit hingga pelibatan militer di ruang sipil, perempuan kembali berada di posisi paling rentan di bawah rezim Prabowo-Gibran.

  • October 24, 2025
  • 4 min read
  • 610 Views
#RaporMerahPemerintah: Agenda Perempuan (Masih) Tak Masuk Prioritas Negara

Periode setahun Prabowo-Gibran jadi momen krusial untuk membaca arah kebijakan negara, termasuk dalam isu perempuan dan keadilan sosial. Ajeng Pangesti, anggota Komite Nasional Perempuan Mahardhika menilai belum ada capaian menggembirakan dari rezim sekarang. Ini relatif mengkhawatirkan, kata Ajeng, mengingat refleksi satu tahun kerap dijadikan tolok ukur bagaimana penguasa menjalankan tugasnya ke depan. 

Menurutnya, di tengah janji kesejahteraan dan pemerataan, kebijakan yang diambil Prabowo-Gibran justru lebih banyak berpihak pada elit. Sementara itu, ruang gerak gerakan perempuan semakin terbatas, terutama setelah meningkatnya pelibatan militer di berbagai lini pemerintahan. 

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katamu 

Kepemimpinan Ngawur, Perempuan Dikorbankan 

Ajeng menyoroti berbagai persoalan yang membelit perempuan sepanjang tahun pertama pemerintahan. Lapangan kerja yang minim dan ketidakpastian ekonomi membuat perempuan terjebak dalam situasi sulit. Kondisi tersebut diperparah oleh tindakan represif terhadap perempuan yang melawan ketidakadilan atau berjuang mempertahankan lahan dari industri ekstraktif. 

“Rezim ini semakin menekan situasi perempuan saat ini karena banyak perempuan hidup di tengah ketidakpastian lapangan kerja, ketidakpastian pendapatan, ketidakpastian lahan. Cuma, ketika ingin berjuang akan ini, kita dibungkam,” ujarnya pada Magdalene, (23/10). 

Ia juga menyoroti sikap pemerintah yang dinilai abai terhadap berbagai tuntutan perempuan. Tidak adanya tanggapan serius dalam setiap aksi, menurut Ajeng, menggambarkan bagaimana pemerintah meremehkan persoalan perempuan. 

Pemerintah juga dinilai lamban merespons persoalan yang langsung berdampak pada perempuan, seperti kelangkaan gas 3 kilogram dan kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kedua kasus ini berdampak besar pada kehidupan rumah tangga dan perempuan sebagai pengelola dapur keluarga. 

“Tidak pernah ada tanggapan yang serius dari pemerintahan Prabowo sejauh ini. Kita juga bisa melihat bagaimana perempuan benar-benar diremehkan pada rezim pemerintahan saat ini,” kata Ajeng. 

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial 

Militerisme yang Membelenggu 

Selain kepemimpinan yang dinilai serampangan, Ajeng juga menyoroti peningkatan peran militer dalam ruang sipil. Setelah revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) disahkan, ruang demokrasi semakin menyempit. 

“Revisi terhadap undang-undang TNI itu menyebabkan eskalasi ketakutan rakyat, terutama perempuan, untuk bersuara,” ujarnya. 

Ia menyebut, keterlibatan TNI kini semakin sering terlihat di berbagai wilayah, termasuk di Jawa Tengah, di mana anggota militer kerap menjaga pos-pos pabrik dengan dalih pengamanan. Situasi ini, menurutnya, membuat ruang gerak buruh perempuan semakin sempit, angka protes menurun, dan suara mereka teredam. 

“Kalau kawan-kawan keliling beberapa pabrik di Jawa Tengah, ada anggota-anggota militer yang menjaga pos-posnya di pabrik-pabrik. Kita tahu bahwa pabrik itu justru jadi ruang biasanya untuk para buruh berdemo. Dan dengan masuknya TNI ke ruang sipil itu penurunan angka protes-protes terjadi,” jelasnya. 

Ajeng juga mengingatkan keterlibatan militer di ranah sipil memiliki jejak panjang dalam sejarah, khususnya pada masa Orde Baru. Operasi militer kala itu meninggalkan trauma kolektif yang belum sepenuhnya pulih. 

“Kita tidak pernah lupa bahwa militer itu juga memberi trauma kolektif kepada perempuan. Perempuan tidak punya ruang untuk bersuara, khususnya saat orde baru, bahkan sebaliknya ketika militer masuk ke ranah sipil yang pertama kali diatur adalah tubuh perempuan. Dan ini yang kita takutkan ke depan,” tuturnya. 

Baca juga: Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat

Bersolidaritas adalah Kunci 

Di tengah kondisi yang serba menekan, Ajeng menyerukan pentingnya solidaritas dan konsolidasi di antara gerakan perempuan. Menurutnya, bersatu menjadi satu-satunya jalan untuk menghadapi rezim yang kerap menebar ketakutan dan membungkam perlawanan. 

“Kita harus terus berkonsolidasi dan berkolektif. Kita sama-sama tahu bahwa rezim ini sedang memecah belah dan menyebar ketakutan. Maka ketakutan hanya bisa dilawan ketika kita bersama-sama,” ucapnya. 

Ajeng berharap, konsolidasi gerakan perempuan dapat memperkuat solidaritas lintas isu dan memperluas basis perjuangan. Dengan begitu, gerakan perempuan dapat menjadi kekuatan pembebas yang mendorong perubahan sosial yang lebih luas. 

“Dengan gerakan perempuan semakin terkonsolidasi, semoga gerakan perempuan semakin dilihat sebagai gerakan yang dapat membebaskan. Selain itu bisa juga menyatukan gerakan-gerakan dan isu-isu lainnya,” pungkasnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).