Gita Savitri: Aku Ingin Membela Minoritas, Enggak Mau Dibungkam
Gita Savitri menceritakan motivasinya memproduksi konten di medsos, pengalamannya sebagai minoritas di Jerman, dan ‘backlash’ dari netizen yang kerap diterima.
Peringatan pemicu: wawancara ini mengandung topik diskriminasi, bunuh diri, dan kekerasan pada queer.
Kira-kira dua pekan lalu, nama Gita Savitri terpampang di urutan teratas trending topic Twitter Indonesia. Netizen merespons opini Gita, yang ia utarakan di Instagram. Kali ini perkara Gita yang mengenakan turban sebagai penutup kepala, dan penyataannya yang menilai Qatar homofobik lantaran menolak LGBT di Piala Dunia.
Momen itu bukan kali pertama Gita menerima reaksi negatif dari netizen. Pernyataannya kerap dinilai liberal dan terlalu open-minded. Bahkan, sejumlah media turut memberitakan Gita dengan nada serupa.
Melihat kejadian itu, saya berniat mengobrol dengan Gita. Bukan spesifik membahas respons negatif yang ia terima sebagai kreator konten, melainkan kehidupannya sebagai perempuan muslim berhijab, feminis, dan kehidupannya di Jerman. Sebuah privilese, yang membuat Gita menjadi minoritas di saat bersamaan.
Kemudian, saya menghubungi Gita melalui email. Ia menyambut baik ajakan saya untuk mengobrol secara virtual. “Sampai ketemu ya,” balas Gita, setelah kami sepakat berbincang pada Rabu (6/11).
Waktu menunjukkan pukul 11 malam di Jakarta–dan lima sore di Berlin, ketika saya dan Koordinator Media Sosial kami, Siti Parhani, menyambut kehadiran Gita di Zoom meeting. Perempuan yang bekerja di perusahaan fine chemicals itu, baru saja tiba di rumah. Gita bercerita, meskipun kini pekerjaannya di bagian sales, dirinya masih aktif sebagai cosmetic chemist. Sebab, pekerjaan yang ditekuni masih di industri personal care, sehingga Gita tetap membutuhkan kemampuan formulasi.
Obrolan pun mengalir. Kami membicarakan motivasi Gita membuat konten yang berkaitan dengan isu sosial, pengalamannya sebagai minoritas di Jerman, dan backlash dari netizen yang kerap ia terima. Berikut kutipan percakapan saya bersama Gita.
Baca Juga: Zara dan Keributan Warganet yang Tidak Perlu
Q: Sejak kapan mulai aware dengan isu perempuan dan minoritas?
Kalau hak perempuan sebenarnya (sudah mengenal) dari kecil, karena mamaku tipikal boomer Indonesia–(pemikirannya) lebih tradisional, dan agak sedikit konservatif. Tapi, kayaknya karena personal experience, mama punya nilai-nilai yang sekarang kita kenal sebagai feminisme.
Aku lebih dibesarkan oleh mama, karena papa bekerja. Setiap hari dia nasehatin aku dan cerita-cerita kayak, “Liat tuh si A. Dulu dia kerja, setelah nikah dilarang kerja sama suaminya.” Intinya dari kolektif cerita itu, nilai yang kutangkap adalah perempuan tuh vulnerable ya.
Terus mama sering bilang, “Nanti kalau jadi perempuan (dewasa) harus bisa mandiri, jangan bergantung sama suami atau siapa pun.” Mama juga menceritakan skenario di rumah tangga, misalnya kalau nanti enggak bekerja, punya anak, dan cuma melakukan pekerjaan domestik, akan susah untuk meniti karier lagi. Susah punya safety net sendiri.
Tapi soal nilai-nilai minoritas aku belajar sendiri dari tinggal di sini (Jerman). Selama tinggal di Jerman, aku mencoba banget untuk enggak berteman sama orang Indonesia doang. Kalau berteman sama orang Indonesia, bertemannya enggak cuma sama muslim doang–yang identitasnya sama kayak aku.
Terus kalau dari segi minoritas yang beda agama–kebetulan dulu aku dan suamiku sempat pacaran beda agama–aku banyak dengar cerita dari dia. Intinya aku banyak ketemu orang, dengerin cerita mereka, jadilah aku yang sekarang.
Q: Kalau aktif menyuarakan isu minoritas di media sosial sejak kapan?
Awalnya karena aku kepilih jadi salah satu fellow di Youtube Creators for Change, tahun 2018-2019. Sebenarnya itu sih yang membuka persepsiku, ternyata ngomongin isu-isu sosial itu ada niche-nya.
Soalnya kalau content creator itu, at least aku ya, rasanya kayak terisolasi karena kita bikin konten sendiri-sendiri. Kalau enggak ada wadahnya, enggak ada komunitasnya, kita enggak tahu apa yang dilakukan orang lain.
Terus aku diajak buat jadi fellow di program Youtube ini, dan dipertemukan dengan kreator-kreator yang pemikirannya serupa. Entah pejuang LGBT, atau diaspora juga, terus muslim juga tapi dari negara lain.
Pas aku ngeliat (sesama kreator konten), ternyata perjuangan kita sama ya. Mencoba menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan. Akhirnya karena aku ngeliat itu, pas ngelakuin rasanya fulfilling banget. Bisa nyebarin informasi yang aku sebarkan selama ini lewat video ke orang-orang, biar mereka tahu.
Soalnya aku sadar, enggak semua orang punya privilese untuk ketemu dengan banyak orang yang beda sama dia. Enggak semua orang bisa keluar dari Indonesia. Jadi aku merasa ada sedikit tanggung jawab moral untuk membukakan pintu itu ke orang lain.
Walaupun dari segi finansial memang jadi kontroversial ya karena enggak menguntungkan. Brand juga malas, takutnya ikutan kena backlash.
Q: Tinggal di Jerman membuat kamu menjadi minoritas. Pertama orang Asia, kedua perempuan muslim. Apakah realitas itu membuat kamu lebih berani membela minoritas di Indonesia?
Iya. Aku baru sadar gimana rasanya setelah jadi minoritas juga, which is sad. Kalau di Indonesia kan aku (berasal) dari Sumatera, terus keluargaku muslim. Jadi enggak ngalamin tuh (diskriminasi) yang dialami masyarakat keturunan Chinese-Indonesia. Atau orang-orang Kristen yang ingin bangun gereja, terus enggak boleh karena dianggap kristenisasi dan alasan lainnya.
Pas di sini ya ngalamin banget. Kita dengerin azan aja enggak. Terus kalau latar belakangnya migran harus integrasi, asimilasi. Contohnya orang-orang Turki yang udah dari 1970-an di sini. Banyak yang sampai sekarang enggak bisa bahasa Jerman, tapi orang-orang menuduhnya mereka enggak mau asimilasi.
Padahal bukan mereka enggak mau, tapi dari dulu datang sampai sekarang, orang-orang Turki enggak pernah dilihat sebagai satu masyarakat. Udah pastilah mereka ngumpul sendiri, karena di tempat barunya enggak disambut.
Itu yang aku rasain setiap hari dan menginspirasi aku, kalau dinamika sosial tuh ada ya di masyarakat yang enggak homogen. Kebetulan lingkungan aku di Indonesia dulu lebih homogen. Jadi (kondisi) itu yang nge-trigger aku buat lebih (banyak) baca lagi.
Aku bukan bagian komunitas LGBT, misalnya, aku baca lagi soal mereka. Aku ingin lebih menumbuhkan empatiku, dengan cara lebih mengerti hal-hal yang sebenarnya enggak relevan untukku. Tapi, karena aku bagian dari masyarakat, aku merasa ada tanggung jawab untuk mengerti.
Q: Apakah pengalaman itu yang membuat kamu meningkatkan awareness terhadap minoritas lewat konten-konten di media sosial?
Iya. Tadi aku cerita tentang YouTube Creators for Change, nah output dari program itu, kita harus bikin suatu konten yang berkaitan dengan isu sosial. Bisa tentang ekstremisme, melawan misinformasi atau hoaks, menjadi minoritas, dan segala macam.
Salah satu kontenku tentang minoritas. Bagaimana caranya kita harus menumbuhkan empati, sebagai salah satu anggota masyarakat. Intinya, sebenarnya kita enggak tinggal sendiri, dan identitas orang itu macam-macam–bukan cuma kayak kita doang. Akan lebih baik kalau kita bisa setuju sama satu nilai universal, supaya bisa mencapai kesetaraan itu.
Tapi pelan-pelan, karena aku sadar di Indonesia cukup konservatif ya. Jadi untuk beberapa hal–kayak sekarang aku mulai berani membahas teman-teman queer, walaupun aku bukan queer. Soalnya aku tahu, kalau dari awal aku langsung membahas itu, banyak orang akan kaget. Harus ada strateginya.
Q: Selama 12 tahun terakhir tinggal di Jerman, apakah pernah menerima diskriminasi secara langsung?
Kalau yang blatant pernah dua kali. Pertama, aku sebagai muslim. Kedua, aku sebagai orang Asia.
Yang pertama itu aku belum berhijab. Aku habis pergi, terus mau ke apartemenku. Pas jalan, aku papasan sama dua atau tiga orang laki-laki gitu. Mereka ini padahal bukan orang kulit putih, ada latar belakang migran juga. Terus bersikap rasis, bilang cingcong cingcong, karena mukaku kalau enggak pakai jilbab kan agak oriental ya. Aku confront sih, kayak, “Asia tuh besar ya, enggak cuma Cina doang. At least kalau mau rasis yang benar.”
Yang kedua, waktu itu aku lagi di stasiun kereta di Hannover, mau pulang ke Hamburg. Terus orang yang dari bawah itu kayak ngomong soal ISIS, teroris gitu. Itu pertama kalinya sih aku mengalami Islamofobia. Aku pengen confronting, tapi orangnya cowok berbadan agak besar. Saat itu aku lagi sendirian, di area eskalator itu juga enggak terlalu banyak orang. Jadi aku enggak terlalu bisa confronting dia.
Kalau yang lain lebih ke microaggression sih. Mereka rasisnya enggak blatant kayak di Amerika Serikat, lebih ke being ignorant.
Kayak dulu aku kerja di lab kosmetik, jadi banyak banget dapat material dari supplier di berbagai negara, dan ada segala macam dokumen. Suatu hari, kita dapat material dari Cina atau Jepang gitu. Salah satu temanku bilang, “Ini apa sih artinya? Coba deh lo baca.” Aku jawab, “Lo berharap apa? Gue enggak ngerti bahasa Cina, gue dari Indonesia.”
Contoh lainnya, aku susah nyari apartemen karena namaku bukan nama Jerman. Hal-hal seperti itu sih, lebih ke sistemik dan microaggresion.
Q: Seperti apa pengalaman kamu sebagai perempuan muslim berhijab, yang punya kesadaran terhadap hak-hak perempuan dan minoritas? Terlebih kan kamu memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi banyak orang.
Berdampak ke mental udah pasti. Seperti yang kamu bilang, aku berjilbab dan dari Indonesia. Ketika datang ke internet, orang-orang punya ekspektasi sama aku, sebagai “representasi muslim di Indonesia”. Mereka berharap aku harus membawa identitas agama. Entah kenapa ya–mungkin aku bisa jadi salah–tapi pengamatanku, aku harus jadi tipikal selebgram muslim yang selama ini mereka lihat.
Misalnya mau salat aku ngomong dulu, bikin (Instagram) story lagi baca Qur’an, sharing-sharing ayat, atau lagi pengajian. Mereka pengennya aku kayak gitu. Ternyata, aku enggak sesuai ekspektasi itu, dan bikin orang-orang kaget. Itu sih yang bikin aku banyak kena backlash.
Sebenarnya aku enggak menyalahkan mereka, dari awal pas muncul ke publik ada sejumlah pihak yang menyasarnya ke situ. Contohnya pas diajak bikin buku sama Gagas Media. Awalnya editorku ngajak bikin buku tentang gimana aku hijrah. Aku langsung menolak ide itu, karena aku bukan muslim yang seperti itu.
Aku pengennya (buku) yang lebih universal aja, karena aku sadar di Indonesia target (pembacaku) enggak cuma muslim doang. Aku ingin ceritaku bisa dinikmati semua orang, bukan cuma muslim aja. Jadilah buku Rentang Kisah (2017) seperti itu, dibandingkan “cerita hijrah”.
Aku pribadi sebenarnya ada masalah dengan kita mengomersialisasikan cerita hijrah. Buatku, menemukan identitas keagamaan dan spiritualitas adalah sesuatu yang personal. Semestinya jangan dijadikan konsumsi publik.
Kenapa sampai sekarang aku enggak pernah cerita tentang pasanganku yang pindah ke Islam? Aku ngobrol sama dia, dan dia bilang, “Enggak, itu religious journey aku. Aku ingin keep itu sendiri, enggak ingin jadi konsumsi publik.” Which is fine, and I totally agree with him.
Q: Waktu itu kamu juga meng-call out Deddy Corbuzier, ketika dia menjelaskan kesetaraan gender dengan tidak tepat. Apa yang bikin kamu lebih berani dan terbuka dalam mengekspresikannya?
Pertama, aku percaya kesetaraan itu hak asasi manusia ya, bukan sesuatu yang ilegal. Kebetulan di Indonesia banyak yang ngomongin, tapi diinvalidasi sama orang yang enggak kalah ucapannya sama kita.
Jadi aku merasa keberanianku datangnya dari situ, yang aku omongin bukan sesuatu yang salah. Buat orang-orang tertentu, (kesetaraan) itu salah–based on whatever they were thinking. Tapi, buatku pribadi kesetaraan itu enggak salah, karena itu hak asasi manusia.
Kalau kenapa aku enggak bisa diam, kayaknya itu naturalnya aku sih. Dari dulu mamaku bilang–dia juga orangnya cukup outspoken, kalau misalnya ada yang salah, disampaikan aja. Ternyata, kalau kita ingin mengubah sesuatu, mengharapkan suatu perubahan, enggak bisa ajaib berubah begitu aja. Kita harus menyampaikan dan melakukan sesuatu.
Baca Juga: Dear Warganet, Setop Komentari Hidup Figur Publik
Q: Separah apa harassment yang pernah diterima dari netizen?
Parah banget. Kalau sekarang nih gara-gara aku udah bilang child free ke publik, ada netizen yang ngomong, “Untung lo enggak punya anak. Ntar anak lo gesrek moralnya.” Atau, “Ah bilang aja lo mandul.”
Buatku, diomongin mandul tuh biasa aja. Buat orang-orang kayak kita (feminis) kan udah membebaskan diri dari hal-hal seperti itu, urusan perempuan harus hamil dan melahirkan anak. Perempuan ya perempuan. When you are identified as a woman, then you are a woman. Enggak ada faktor-faktornya segala macam. Tapi kita tahu, intensi mereka ngomong begitu untuk merendahkan.
Pernah juga disuruh murtad, (disebut) liberal, keblinger, dan itu biasa. Kalau dibilang masuk neraka jahanam, itu setiap saat sih. Biasanya di seminggu pertama (backlash) deh.
Tiap hari sebelum ke kantor, aku lihat YouTube (channel) aku dulu. Terus nutup dan hapus komentar, nge-block dan segala macam–karena aku enggak ada admin, jadi semua backlash datangnya ke aku. Kayaknya ada ratusan orang yang komentar tiap dapat backlash, ratusan orang juga yang aku block.
Yang aku enggak suka dari netizen, mereka merasa berhak melecehkan aku–just because they followed me, I’m a public figure, atau gimana. Aku enggak tahu alasan mereka, hanya karena mereka pikir value yang aku punya enggak sesuai sama agama, atau apa pun itu.
Q: Menerima backlash seperti itu bisa bikin worn out—ada hal yang biasanya kamu lakukan untuk mengantisipasinya?
Karena aku suicidal, pas pertama-tama dapat backlash itu parah banget. Bahkan, pernah pas kena backlash–enggak tahu yang mana saking banyaknya, langsung ada alert di otakku, “Gue beneran pengen bunuh diri nih. Kayaknya gue harus melakukan sesuatu.” Aku langsung cari psikolog di Hamburg lewat Google, aku telepon, dan dia psikolog aku sampai sekarang.
Dulu saking parahnya, aku sampai intens terapi ke psikolog seminggu sekali lewat Zoom. Sekarang udah mendingan, dua minggu sekali. Aku udah bisa sedikit cari-cari kesibukan biar enggak mikirin. Atau langsung matiin komentar biar bisa nge-cut mereka duluan, sebelum kena mental ke aku.
Sempat ada pikiran enggak mau sharing (di media sosial) segala macam, di saat bersamaan aku merasa this is what they want. They want to silence me. Jadi aku enggak pengin kasih lihat mereka punya kendali, dan menang atas aku.
Aku mencoba untuk lay low sehari dua hari, tapi bukan karena aku takut. Aku ingin menjauh sebentar dari media sosial. Keinginan aku untuk menyampaikan berbagai isu masih ada. Aku enggak mau mereka membungkamku.
Q: Apa yang membuat kamu masih mau memberikan opini dan mengedukasi lewat media sosial?
Aku punya sedikit idealisme. Sebagai anggota masyarakat, aku nggak bisa diam ketika ada orang yang masih belum mendapatkan haknya, yang seharusnya didapatkan.
Misalnya soal queer. Aku baca atau dengar cerita mereka disuruh ke terapi konversi, atau dibilang identitasnya enggak valid. Aku mencoba memosisikan diri sebagai mereka tuh enggak enak hidup kayak gitu.
Contohnya aku suka sama perempuan, terus seumur hidupku dibilangin, “Git, itu salah.” Atau sesama muslim patronizing, “Gue enggak benci sama lo, tapi gue benci identitas lo.” Buatku, itu berarti mereka juga benci sama aku because I consist of a lot of identities.
Sebenarnya itu sih, karena aku melihat ada orang-orang yang hidupnya enggak enak, aku merasa harus menyampaikan sesuatu.
Soal queer. Aku baca atau dengar cerita mereka disuruh ke terapi konversi, atau dibilang identitasnya enggak valid. Aku mencoba memosisikan diri sebagai mereka tuh enggak enak hidup kayak gitu.
Baca Juga: 6 Cara Tepat Menghadapi Komentar Negatif di Medsos
Q: Gimana dengan netizen yang berterima kasih karena kamu memperjuangkan hak-hak minoritas?
Ada satu sampai dua orang. Mereka cerita lewat direct message (DM), “Git, gara-gara lo, orang-orang kayak kita (queer) masih ada.” Dia dulu muslim, terus memutuskan meninggalkan Islam karena menerima backlash. Jadi dia merasa dirinya enggak ada tempat di komunitas Islam.
Terus aku bilang, “Gue enggak menyalahkan lo, karena memang orang kita (Indonesia) itu kalau di komunitas muslim queerfobik banget.”
Secara umum, muslim di Indonesia tuh malas mencari interpretasi lain. Kita harfiah banget kalau ngeliat sesuatu yang tertera di Qur’an. Ada sejarah Nabi Luth yang kena azab, berarti kita enggak boleh memperjuangkan hak teman-teman queer. Tanpa benar-benar memahami konteks lain di luar azab ini, kenapa Nabi Luth bisa kena azab?
Pasti ada interpretasi lain. Karena Qur’an diturunkan, para ulama belajar Qur’an, lalu diajarkan ke kita. Tapi para ulama itu juga manusia, pasti punya bias dong. Apalagi kebanyakan dari ulama itu laki-laki cis-heteroseksual. Jadi kenapa kita enggak cari interpretasi lain?
Aku melihat, attitude ini yang banyak dimiliki teman-teman muslim di Indonesia. Kita mengambil sesuatu yang literal banget. Akhirnya sekarang banyak kasih backlash ke orang berdasarkan moral yang (diajarkan) beberapa ribu tahun lalu. Kita terlalu malas challenging itu, supaya bisa diterapkan di masyarakat modern zaman sekarang.
Makanya sayang banget kalau ada yang DM ke aku, bilang, “Git, terima kasih banget udah ngomongin dan segala macam. Sayangnya gue udah antipati sama agama gue, atau komunitas muslim gue.” Ya, I can totally understand. This is the least I can do for you, fighting for you.
Q: Bagaimana kamu merespons pemberitaan media? Sebagian di antara mereka kadang amat menyudutkan?
Aku udah enggak ada harapan lagi ya di media di Indonesia. Jadi kalau media di Indonesia malah semakin ngomporin, kayaknya memang seharusnya begitu. Kalau media di Indonesia bagus, aku malah heran, kayak, “Kok bisa? Apa yang terjadi?”
Pas kemarin aku juga lihat media, kalau enggak salah detikHealth ya, ngomongin aku gara-gara memakai kata “stunting”. Padahal stunting itu hal kecil dari bagian yang lebih besar lagi. Tapi, mereka enggak mau tahu soal itu. Mereka menunjukkan kesalahanku aja menggunakan kata “stunting”, terus dijadikan berita. Sampai mewawancarai figur dari Departemen Kesehatan atau lembaga apa gitu.
Tapi ya balik lagi, media di Indonesia memang seharusnya kayak gitu, karena media cerminan masyarakatnya.
Q: Tentang stunting. Apa yang membuat kamu membalas komentar menggunakan kata-kata itu?
Sebenarnya I was making a joke, dan lelucon itu dari Pandji Pragiwaksono. Konteksnya, waktu itu aku foto pakai turban, ada banyak banget yang berkomentar karena memperlihatkan leher. Mereka bilang leher itu aurat, dan memproyeksikan alasannya memakai jilbab untuk menutup aurat.
Awalnya aku merespons supaya netizen menghargai tubuhku dan pilihanku. Aku menjelaskan, itu caraku mengekspresikan diri dan identitas keagamaanku.
Lagi pula, aku pakai jilbab bukan karena aurat, melainkan bangga atas identitas keagamaan sebagai muslim. Aku ingin kemuslimanku terlihat. Dengan pakai turban kan masih kelihatan, dan sesuai dengan tujuan, visi misiku berjilbab. Buatku ya di mana salahnya pakai turban?
Terus ada netizen yang komen, dia bilang aku selalu benar. Padahal enggak begitu, makanya aku bilang, “Lo stunting ya?” Intinya, kalau enggak mau disebut stunting, then tell me why are you that stupid?
It wasn’t my joke, it was Pandji’s joke. Tapi, ketika dia bikin lelucon itu, enggak ada yang menanggapi. Giliran aku yang bilang, mereka marah-marah. Aku enggak yakin di kesehariannya mereka politically correct, atau orang-orang yang paling memperhatikan. Gara-gara aku yang ngomong, tiba-tiba mereka peduli.
Q: Kira-kira apa yang berusaha disampaikan ke netizen di Indonesia, yang menilai kamu terlalu open-minded dan liberal?
Aku lebih ingin jadi orang yang open-minded, dibandingkan close-minded. Dari yang aku lihat, banyak orang-orang close-minded menzalimi orang lain.
Contohnya orang-orang close-minded dari sebuah partai alternatif di Jerman. Mereka enggak punya reaksi yang ideal ketika melihat ada orang dari kultur lain tinggal di negaranya. Because of their ignorance, their ignorance turn into fear, karena mereka merasa Jerman enggak akan putih lagi, akan jadi Arabisasi atau apa pun itu. Ketakutan itu membuat mereka melakukan kekerasan.
Mereka demo, enggak boleh ada azan, masjid, dan benci ke imigran. Mereka jadi ignorant juga, melihat orang yang (kulit) mukanya sedikit cokelat dianggapnya muslim dan teroris. Padahal belum tentu.
Aku lebih baik jadi open-minded, yang bisa ngerti posisi orang lain, kehidupan orang lain itu beda sama kita, ngerti kalau ada konstruksi sosial. Dibandingkan aku jadi close-minded yang menzalimi orang lain, dan akhirnya mengganggu perdamaian di masyarakat.
Q: Ke depannya, punya rencana apa dalam mengadvokasi isu-isu minoritas?
Aku ingin tetap melakukan apa yang kulakukan, karena isu perempuan itu kan progresif ya–seiring berjalannya waktu selalu ada dinamikanya, berubah-ubah. Sekarang juga kan ada UU KUHP, buatku itu pertanda untuk terus belajar. Soalnya attitude-ku dari awal, aku masuk ke (industri) content creation dan ingin mendedikasikan platformku untuk membahas isu sosial. Makanya aku sering mengingatkan diriku, “Git, lo tuh enggak tahu, jadi harus banyak cari tahu.”
Enggak bisa kalau aku ngomongin isu sosial hanya dari realitasku aja, banyak realitas orang lain yang aku enggak tahu. Itu aja sih yang aku pengen lakukan terus. Banyak belajar, dan jangan berisik sendiri.
Masalahnya, dari observasiku ya, banyak isu sosial yang sebenarnya penting tapi yang disorot justru figurnya, bukan isunya. Contohnya Greta Thunberg, bukannya isu lingkungan yang diangkat, malah sosok Gretanya. Nah aku pengen banget, bukan aku yang disorot, tapi isunya.