Screen Raves

Good Pitch Dorong Perubahan Sosial Lewat Dokumenter

Sebuah program global menggalang koalisi untuk mendorong perubahan sosial lewat film dokumenter.

Avatar
  • September 14, 2019
  • 4 min read
  • 402 Views
Good Pitch Dorong Perubahan Sosial Lewat Dokumenter

Pada saat kuliah tahun 2014, dosen saya memutarkan film dokumenter Earthlings (2005), yang menunjukkan bagaimana manusia menggunakan binatang sebagai peliharaan, makanan, pakaian, dan bahkan hiburan. Salah satu adegan di dalamnya, di mana beberapa ekor sapi dipukul dengan sadis sampai mati, sukses membuat saya dan teman-teman menghindari makan daging sampai sekarang.

Film dokumenter, jika dibuat dengan strategis, memang memiliki kekuatan besar untuk mendorong perubahan. Hal ini disadari oleh Good Pitch, sebuah acara global yang diselenggarakan oleh organisasi nonprofit Doc Society, yang sudah menggunakan film dokumenter sebagai alat pendorong perubahan sejak diluncurkan pada 2008 di Inggris.

 

 

Program ini menggalang koalisi untuk berbagai isu sosial yang melibatkan berbagai kalangan penggerak perubahan, mulai dari kalangan swasta, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan agama. Lewat mentoring dan live crowd-sourcing yang inovatif, program ini bertujuan memperluas dampak sosial film-film dokumenter terpilih.

“Film adalah sebuah alat yang luar biasa hebat untuk menyampaikan dan menciptakan arena dialog. Inilah keindahan bercerita karena dapat melintasi agama, ras, dan latar belakang sosial ekonomi,” ujar Emily Wanja, manajer kampanye film dari Kenya, dalam acara The Good Pitch Indonesia 2019 di Jakarta yang diselenggarakan minggu lalu (5/9).

“Film berbicara dalam bahasa kemanusiaan. Berbicara dengan empati,” ujar manajer kampanye film Thank You For The Rain.

Bersama dengan Ford Foundation dan Sundance Film Institute, Doc Society telah menyelenggarakan 35 acara Good Pitch di 15 negara dan menggalang lebih dari US$30 juta untuk film dan kampanye bertema keadilan sosial. Sudah ada 250 proyek film dengan tema-tema seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), kemiskinan dan banyak masalah genting lainnya yang dipresentasikan di acara-acara Good Pitch selama 11 tahun belakang ini.

Film-film lulusan Good Pitch juga meraih sukses di ajang festival internasional, mulai dari Sundance, Hot Docs, dan IDFA (International Documentary Festival Amsterdam, festival film dokumenter paling besar dan paling prestisius di dunia). Beberapa film Good Pitch bahkan telah mendapatkan nominasi dan memenangkan Emmy Award dan Oscar di Amerika Serikat.

Salah satu film dokumenter yang sudah memberikan dampak yang cukup besar adalah film Thank You For The Rain yang ditayangkan di Good Pitch Kenya 2016. Sineas Kisilu Musya, Julia Dahr dan Hugh Hartford mencari pendanaan untuk kampanye mereka yang berfokus kepada dampak perubahan iklim kepada penduduk di Kenya.

Baca juga: Club Sinema BeloQ Dorong Literasi Film dengan Perspektif Queer

“Film ini mengikuti Kisilu, seorang petani dari Kenya yang mengalami kesulitan dari dampak perubahan iklim. Ia bertransformasi menjadi dari seorang petani menjadi seorang pemimpin kelompok masyarakatnya dan membawa pesan-pesan harapannya ke tengah politik internasional di konferensi PBB untuk perubahan iklim di Paris,” kata Emily.

Setelah presentasi tersebut,  Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Environmental Program) Nairobi, Afridocs, Alliance For A Green Revolution (AGRA), African Screen Network, dan British Council menawarkan kerja sama untuk penayangan film untuk menjangkau para pembuat kebijakan dan juga anak-anak muda.

Sejak itu, film tersebut ditayangkan di sekolah-sekolah, di bioskop, dan tempat-tempat strategis lainnya. Ini dilakukan berdasarkan ide Kisilu yang ingin membangun masyarakat yang mampu menghadapi perubahan iklim dan juga untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim pada masyarakat.

“Dengan ini kita bisa melihat sekuat apa sebenarnya dampak film. Kita memberikan sebuah platform untuk Kisilu di dalam sebuah acara internasional agar dia bisa menyuarakan suara komunitas akar rumput dan mengangkatnya sebagai sebuah agenda global,” kata Emily.

“Dari film ini, komunitas di masyarakat dapat berkumpul dan mencari solusi untuk masalah-masalah genting yang dihadapi oleh komunitas akar rumput. Ini terlihat saat kita mendorong solusi praktis untuk pelestarian lingkungan di kalangan muda. Kita sudah mendatangi sekolah-sekolah dan menjangkau 300,000 siswa, dan terus berlanjut,” ujarnya.

Di Indonesia, Doc Society bekerja sama dengan In-Docs, sebuah lembaga nirlaba yang berkomitmen membangun budaya keterbukaan melalui film dokumenter, untuk Good Pitch Indonesia 2019.

Ada lima film yang telah dipilih lewat seleksi ketat yang mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan yang genting. Film-film tersebut berjudul Hidup dengan Bencana, Bara, Pesantren, Menggapai Bintang, dan Waste on My Plate.

Kelima film ini mengangkat kisah dari balik tembok pesantren di Cirebon, dari sudut sekolah inklusif di Jakarta, dari puing-puing bencana di Palu, dari gundukan sampah di Padang, dan dari balik asap tebal kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Selama empat bulan, para pembuat filmnya telah menyusun strategi, menyusun kampanye, dan mengikuti lokakarya intensif untuk pengembangan cerita dan distribusi dampak.

Pada acara Good Pitch di Jakarta, setiap tim film mempresentasikan film dan rencana dampak mereka hanya dalam waktu tujuh menit. Tujuan dari acara tersebut adalah untuk melihat materi tambahan dari film, mendengar lebih banyak tentang subjek film, mengeksplorasi kemungkinan kolaborasi, bertukar pikiran tentang strategi kampanye, dan membuat daftar mitra potensial dan kemungkinan langkah selanjutnya.

“Bagi kami, lima film dokumenter ini adalah foto keluarga penanda zaman atau warna-warni pensil yang menggarisbawahi realitas paling nyata saat ini,” kata Amelia Hapsari, Direktur Program In-Docs dari Good Pitch Indonesia. “Dan mereka butuh dukungan kita.”

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa


Avatar
About Author

Shafira Amalia

Shafira Amalia is an International Relations graduate from Parahyangan Catholic University in Bandung. Too tempted by her passion for writing, she declined the dreams of her young self to become a diplomat to be a reporter. Her dreams is to meet Billie Eilish but destroying patriarchy would be cool too. Follow her on Instagram at @sapphire.dust where she's normally active.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *