Club Sinema BeloQ Dorong Literasi Film dengan Perspektif Queer
Sebuah klub film Indonesia mendorong diskusi yang sehat dan edukatif untuk membahas LGBTIQ.
Film-film bertema queer bukan sesuatu yang asing dalam sejarah film Indonesia. Namun tema semacam ini serta representasi karakter dengan identitas queer di negara ini menjadi sangat terancam seiring dengan meningkatnya konservatisme dan radikalisme agama.
Hal ini mendorong pembuat film Paul Agusta dan Rizky Rahad serta musisi Kartika Jahja meluncurkan Club Sinema Beloq, sebuah klub diskusi untuk membahas film-film lewat perspektif queer.
“Tahun lalu film Kenapa Harus Bule hampir dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) karena ada satu karakter gay-nya. Akhirnya beberapa adegan terkait dengan karakter gay ini harus dipotong dan membuat kehadiran si karakter menjadi tidak relevan di film,” ujar Paul dalam peluncuran Club Sinema Beloq di restoran dan ruang komunitas Selatan, akhir pekan lalu (24/8).
Ketakutan terhadap kelompok-kelompok agama garis keras yang suka menyasar LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer) sempat membuat Paul dan kawan-kawan enggan menggunakan kata queer.
“Awalnya kami juga khawatir dan takut untuk membuat klub ini. Kami sampai ingin menulis ‘quir’ untuk menyamarkan istilah ini. Tetapi hal itu tidak jadi kami lakukan karena kembali lagi, kami hadir agar tercipta diskusi yang sehat, edukatif dan kondusif untuk membahas tentang LGBTIQ,” ujar Kartika, yang juga pemilik Selatan.
Dalam tiga tahun terakhir, tren ujaran kebencian hingga persekusi terhadap kelompok minoritas LGBT meningkat. Berdasarkan pantauan terhadap media, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) menemukan bahwa 973 orang menjadi sasaran dalam kasus diskriminasi, persekusi, dan kekerasan di seluruh Indonesia pada 2017.
Hampir tiga perempat dari korban adalah transgender, diikuti dengan 23 persen laki-laki homoseksual, dan 3 persen lesbian. Kasus-kasus berkisar dari pengekangan kebebasan berekspresi (termasuk larangan acara atau diskusi terkait LGBT) dan penggerebekan rumah serta penggusuran, sampai penangkapan di klub malam gay, hingga pembunuhan.
Dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai kelompok LGBTIQ, Club Sinema BeloQ memantik diskusi perdana mereka dengan memutar dua film dokumenter mengenai keberagaman gender dalam kebudayaan suku Bugis yaitu, Calalai karya sutradara Kiki Febriyanti, dan Menelusuri Bissu karya Tamara Pertamina.
Baca juga: 10 Film Bertema LGBT yang Wajib Ditonton
Kedua film ini dipilih dikarenakan banyak masyarakat yang salah kaprah mengenai konsep keberagaman gender, ujar Paul. Argumen bahwa keberagaman gender merupakan konsep yang “ditularkan” bangsa Barat menjadi ujaran kebencian yang sering kali dilontarkan.
Dalam kebudayaan Bugis, masyarakat mengenal lima identitas gender: laki-laki, perempuan, laki-laki yang menyerupai perempuan (calabai), perempuan yang menyerupai laki-laki (calalai), dan manusia yang tidak mengidentifikasi diri sebagai keduanya (bissu).
“Menurutku, seluruh masyarakat penting untuk tahu tentang bissu, calalai, atau calabai karena sekarang orang banyak yang berpikir, keberagaman gender itu konsep dari Barat. Padahal menurut saya keberagaman gender adalah hal natural yang dimiliki oleh manusia,” ujar Kiki dalam diskusi setelah pemutaran film.
Paul mengatakan bahwa dalam sejarah perfilman Indonesia, Paul menjelaskan, film bertema queer memang sudah ada jauh sebelum era Reformasi. Salah satu film yang terang-terangan menampilkan karakter gay adalah film Istana Kecantikan karya Asrul Sani (1984). Sayangnya, karakter ini digambarkan secara stereotip.
“Karakter gay di film tersebut digambarkan antagonis dan manipulatif. Hidupnya tersiksa, terpaksa menikah dengan perempuan, dan akhirnya mencoba membunuh istrinya. Lalu film itu berakhir dengan tragis,” ujar Paul.
Setelah masa reformasi, film-film yang menampilkan karakter queer mulai berevolusi secara perlahan walaupun penggambarannya masih mengandung prasangka dan stereotip.
“Dengan adanya klub ini, kita juga ingin memberikan wadah untuk sineas-sineas yang ingin membuat film bergenre queer atau memasukkan karakter queer ke dalam filmnya, supaya jangan asal membuat film dan malah menambahkan stereotip,” ujar Paul.
Ia menambahkan bahwa untuk menciptakan representasi yang baik, harus ada kerja sama antara seniman dan akademisi untuk memantau ketika ada seseorang di luar komunitas queer membuat film bergenre tersebut.
“Karena suara-suara sutradara atau seniman yang lebih mainstream itu lebih didengarkan, maka kita perlu memantau dan memberikan kritik secara aktif ketika mereka salah memberikan gambaran terhadap komunitas LGBT,” kata Paul.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin