Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan
Walaupun sering dilekatkan secara negatif dengan perempuan, gosip memiliki peran kuat dalam strategi politik perempuan.
Aktivitas bergosip sering kali dilekatkan pada perempuan sebagai sesuatu yang negatif. Gosip, dalam Islam, bahkan disebut sebagai bagian dari dosa besar. Padahal jika kita telusuri ke belakang, gosip bisa dipandang sebagai salah satu strategi politik perempuan.
Untuk menyelisik tentang gosip sebagai alat politik perempuan, kita perlu melihat sedikit sejarah penyihir dan bagaimana mereka dibantai sebagai upaya pembungkaman perempuan.
Penyihir, kapitalisme, dan seksualitas perempuan
Mungkin waktu kita mendengar kata itu, seketika yang muncul di pikiran kita adalah sosok perempuan tua yang jahat, bermuka jelek, dan seram. Inilah awal dalih sebuah pembantaian dan upaya pendisiplinan kaum perempuan. Stigma soal penyihir ini berhasil bertahan sehingga sampai sekarang, gambaran seorang penyihir pasti akan mengacu pada perempuan.
Awalnya, penyihir dipahami sebagai sosok perempuan petani yang juga seorang tabib atau dukun beranak, yang dipercaya punya kekuatan supranatural, yang membantu perempuan lain dalam persalinan atau pengguguran kandungan. Karena aktivitasnya ini, penyihir memiliki peran sosial yang berpengaruh karena dianggap sebagai wujud kontrol atas reproduksi perempuan dan penguasaannya terhadap pengetahuan alam.
Bagi kaum kapitalis, seksualitas perempuan mengandung bahaya sosial, ancaman terhadap disiplin kerja, kekuasaan atas orang lain, dan hambatan bagi pemeliharaan hierarki sosial dan hubungan kelas. Tidak hanya itu, perempuan dianggap dapat menyihir laki-laki dengan pesonanya, mengontrol laki-laki di bawah kekuasaannya, menjebak mereka dalam hasrat dan menyebabkan mereka melupakan semua jarak sosial dan kewajiban.
Dalam buku Silvia Federicci yang bertajuk Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation, dijelaskan secara gamblang tentang pengadilan dan pembantaian penyihir sebagai alat yang efektif untuk mengontrol tubuh perempuan dan mempercepat laju-kembangnya kapitalisme pada masa transisi menuju kapitalisme.
Perempuan dijadikan target utama persekusi karena merekalah yang paling terdampak kemiskinan akibat kapitalisasi kehidupan ekonomi, sehingga melahirkan populasi pengemis dan gelandangan. Ini tentu saja menjadi ancaman tatanan kapitalis yang sedang berkembang.
Baca juga: Perempuan Bergosip, Laki-laki ‘Boys Talk’
Bayangkan saja, atas nama penyingkiran penyihir, persekusi itu dilakukan demi mengurangi hambatan dalam proses perkembangan awal kapitalisme. Lebih dari 600 ribu orang yang menjadi korban, 85 persen di antaranya adalah perempuan dan semuanya berasal dari kelas bawah. Mereka ditangkap dan dieksekusi, ada yang melalui proses pengadilan, tetapi banyak juga yang tidak. Mereka mengalami siksaan dengan cara diikat dengan rantai besi, lalu dibakar dalam kobaran api.
Selanjutnya dalam buku barunya, Witches, Witch-Hunting, and Women, Federicci menulis soal pemicu utama persekusi ini, yakni upaya pemagaran tanah. Bagaimana tidak, tanah yang semula bersifat komunal lantas diprivatisasi menjadi usaha komersial. Lambat laun, perempuan termarginalkan karena tanah bagi mereka adalah tempat untuk mengais kehidupan. Upaya pemagaran tanah komunal juga mengakhiri hak-hak adat dan mengusir petani, serta penghuni liar yang bergantung pada tanah untuk keberlangsungan hidupnya.
Sebelum terjadinya kebijakan pembantaian penyihir, kaum perempuan memiliki kekuatan di berbagai lini kehidupan sosial. Tidak satu pun dari mereka memiliki ketergantungan pada laki-laki untuk bertahan hidup. Tidak seperti kebanyakan perempuan saat ini yang memupuk banyak harapan dari sang lelaki.
Para perempuan tua yang membenci ketidakadilan akibat kapitalisme juga memilih pergi dari rumah dengan gumaman pembalasan. Kaum kapitalis yang sudah harus berhadapan dengan ancaman pemberontakan kaum gelandangan, pengemis, dan buruh tak bertanah, menjadi semakin khawatir mendapati para perempuan tersebut. Pasalnya, mereka bisa saja menyebarkan bibit konspirasi melawan kapitalisasi.
Perempuan dicabut taringnya
Deretan penangkapan dan pembantaian penyihir tadi berujung ke aktivitas gosip. Hal ini menjadi salah satu kekuatan sikap politis perempuan yang terpinggirkan untuk melawan elit kapitalis.
Namun, aktivitas ini mendatangkan konsekuensi buruk bagi mereka. Para perempuan dibawa ke pengadilan dan didenda karena telah “mengomel atau menghardik (menggosip)”. Para rohaniwan mengutuk lidah mereka. Para perempuan juga diseret ke persidangan, sesama perempuan dipaksa untuk saling melaporkan, anak perempuan melaporkan ibu mereka. Upaya pendisiplinan ini terus gencar hingga pada tahun 1547, sebuah pengumuman dikeluarkan untuk melarang perempuan saling bertemu, mengobrol, dan berbicara, dan memerintahkan suami untuk menjaga istrinya di rumah.
Baca juga: ‘Gossip Girl Indonesia’: Masihkah Kelakuan Chuck Bass Bisa Ditoleransi?
Ketaatan seorang istri adalah tugas utama yang diatur sedemikian rupa. Berbagai kalangan turut mendukung, gereja dan rohaniwan turut melaknat, hukum mengamini, opini publik tak kalah gencarnya, hingga akhirnya diberlakukan hukuman kejam yang diterapkan terhadap omelan dan hardikan seperti scold’s bridle, sebuah alat sadis yang terbuat dari logam dan kulit yang akan merobek lidah perempuan yang mencoba untuk bicara.
Dalam konteks inilah, makna gosip berubah dari kata persahabatan dan kasih sayang menjadi kata fitnah dan ejekan. Pada perkembangannya, gosip mengalami peyorasi akibat sering membincangkan keburukan orang lain. Padahal, mulanya itu adalah upaya perlawanan sebagai korban yang tak berdaya.
Gosip memiliki jalan politiknya sendiri sebagai cara mengkritisi permasalahan publik. Lihat saja masyarakat kita saat ini, pengambil keputusan dan kebijakan umumnya diambil oleh laki-laki. Begitu pun dalam agenda kehidupan kemasyarakatan, laki-lakilah yang mendominasi, sementara perempuan terdomestikasi. Di agenda informal inilah (gosip), para emak-emak menyampaikan suaranya atau kampanye diam-diam menyampaikan perspektifnya.
Gosip juga berpotensi sebagai kontrol sosial yang tidak melulu berisi bualan dari mulut ke mulut. Ini bisa menjadi hukuman bagi orang-orang yang melanggar norma dan kesepakatan masyarakat. Temuan antropolog Malinowski terkait gosip pada masyarakat Kepulauan Trobriant cukup mengerikan. Ketika tersebar gosip bahwa seorang ayah memperkosa anak perempuannya, si ayah tidak dihukum. Ia dibiarkan hidup sebagaimana biasanya dengan kondisi sosial yang tak berbeda. Namun, gosip yang beredar tanpa diduga membuatnya tertekan sehingga pada suatu hari ditemukan tewas lantaran bunuh diri.
Walau demikian, tak dimungkiri juga bahwa sebagai kontrol sosial, gosip bisa merugikan, bahkan memakan korban yang tidak bersalah.
Suka atau tidak suka itulah realitas yang terjadi di lapangan. Sejak dulu, sekarang, dan mungkin di masa mendatang, budaya bergosip tetap diperlukan sebagai wadah kritik terhadap keadaan dan kontrol sosial (dengan syarat dan ketentuan berlaku), tidak hanya media membual memecah pertikaian.