Lindungi Atlet LGBTQ+, Grindr Matikan Fitur Lokasi di Wisma Olimpiade
Ada alasan baik di balik Grindr mematikan fitur lokasi mereka di kawasan Wisma Olimpiade. Outing atlet dari negara berbahaya buat orang-orang queer, salah satu alasannya.
Aplikasi kencan Grindr telah mematikan layanan lokasi di kawasan Wisma Olimpiade Paris 2024, untuk melindungi privasi para atlet. Berita ini ramai setelah beberapa pengguna aplikasi mengeluhkan tidak bisa menggunakan fitur “explore” di aplikasi tersebut untuk menemukan profil pengguna lain. Grindr dalam situs resmi mereka mengonfirmasi telah menonaktifkan fitur berbasis lokasi untuk Wisma Olimpiade, tempat para atlet yang berkompetisi menginap di Paris.
“Jika seorang atlet belum terbuka (out) tentang orientasi seksualnya dan berasal dari negara, di mana menjadi LGBTQ+ berbahaya atau ilegal, menggunakan Grindr bisa menempatkan mereka pada risiko di-outing oleh individu yang ingin tahu,” tulis Grindr.
“Dan mereka yang mungkin mencoba mengidentifikasi serta mengungkapkan mereka di aplikasi.”
Baca juga: Melelakan Teman dengan Dalih ‘Sayang’ Bukan Tanda Peduli
Grindr mematikan fitur “explore” dan “roam” di dalam Wisma Olimpiade, serta mematikan fitur “show distance” secara otomatis, tetapi memungkinkan pengguna untuk berbagi jarak perkiraan jika mereka memilih untuk mengaktifkannya.
Jérémy Goupille, ketua komunitas queer Olimpiade Pride House, mengatakan ada upaya-upaya berbahaya tersebut pada Olimpiade sebelumnya. Banyak yang mencoba mengungkap identitas para atlet lewat aplikasi kencan.
“Kita harus melindungi mereka karena ada begitu banyak orang jahat di luar sana. Di sisi lain, ada begitu banyak atlet-atlet baik ini (yang ingin mencari kencan dengan rasa aman),” kata Goupille. “Mereka ingin bertemu seseorang dan itu sulit,” tambahnya seperti dilansir dari CBC.
Baca juga: Pelajaran dari Tokoh Publik yang Melela pada 2020
Grindr mulai memperketat penggunaan aplikasi di Olimpiade setelah tahun 2016, ketika penulis Daily Beast Nico Hines menerbitkan sebuah laporan tentang “budaya hookup” di Wisma Olimpiade Rio de Janeiro.
Laporan itu mencakup deskripsi tentang para atlet yang matched dengan Hines. Artikel itu menempatkan para atlet yang belum out dalam posisi berbahaya dan punya risiko di-outing. Hal itu bisa jadi tragedi karena berdampak pada hidup para atlet di negara asal mereka.
“Artikel Nico Hines tidak etis sekaligus berbahaya. Ada lebih dari 200 atlet yang berkompetisi di Olimpiade dari negara-negara di mana menjadi gay dapat dihukum mati,” kata Direktur Eksekutif Athlete Ally, Hudson Taylor, kepada NBC OUT. “Bagi banyak atlet yang belum out, internet mungkin menjadi satu-satunya tempat untuk mereka dapat terhubung dengan budaya dan komunitas LGBT dengan aman.”