Health Lifestyle

Guncangan Ekonomi sampai Tekanan Psikologis: Efek Bertumpuk Pandemi pada Anak

Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis.

Avatar
  • July 3, 2022
  • 5 min read
  • 447 Views
Guncangan Ekonomi sampai Tekanan Psikologis: Efek Bertumpuk Pandemi pada Anak

Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan kini memasuki tahun ketiga berdampak besar pada mayoritas penduduk di segala bidang kehidupan. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena mereka masih bergantung pada keluarga.

Riset terbaru dari UNICEF, UNDP, Program Kemitraan Indonesia-Australia untuk Perekonomian (Prospera), dan SMERU Research Institute menemukan bahwa anak-anak Indonesia menghadapi berbagai tantangan mulai dari guncangan ekonomi dan kerawanan pangan, terganggunya akses layanan kesehatan, hingga munculnya tekanan psikologis.

 

 

Riset ini berfokus untuk melihat dampak sosial-ekonomi pandemi COVID-19 terhadap rumah tangga pada 2020 dengan melibatkan lebih dari 12.000 rumah tangga di seluruh Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan berbagai berbagai tantangan yang dialami anak-anak selama pandemi dan alternatif kebijakan yang bisa mengatasinya.

Baca juga: Putus Sekolah karena COVID-19, Anak Perempuan Ambil Peran Orang Tua

Guncangan Ekonomi, Kerawanan Pangan, dan Kesehatan Anak

Riset menemukan bahwa sekitar tiga perempat rumah tangga yang memiliki anak mengalami penurunan pendapatan. Rumah tangga tersebut kini menjadi rawan miskin, serta harus mengurangi jenis, jumlah, atau kualitas makanan yang dikonsumsi untuk menekan pengeluaran.

Upaya adaptasi tersebut justru dapat mengganggu kesehatan karena anak berisiko menjadi lebih sering mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi.

Dalam jangka panjang, kerawanan pangan dapat menyebabkan efek berbahaya pada kesehatan dan perkembangan anak. Beberapa di antaranya adalah peningkatan kasus rawat inap, kekurangan zat besi, risiko perkembangan, dan masalah perilaku.

Seorang nenek di Serang, Banten, menjelaskan dalam wawancara bahwa ia mengubah konsumsi susu formula untuk cucunya yang berusia di bawah 5 tahun menjadi susu kental manis dengan harga yang lebih murah. Perubahan itu kemudian berdampak pada kesehatan anak.

“Sebelum pandemi COVID-19, cucu saya biasa minum susu D** (merek susu formula). Sekarang dia hanya minum susu kental manis. Saya kadang kasihan ke dia, karena kalau susu kental manis kandungan gulanya banyak. Jadinya dia sering sakit gigi,” kata nenek tersebut pada 10 Desember 2020.

Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya

Terganggunya Akses ke Layanan Kesehatan

Studi ini menemukan bahwa 13 persen rumah tangga dengan anak berusia di bawah lima tahun tidak dapat memperoleh layanan imunisasi. Walau jumlahnya mungkin tampak relatif kecil, semua anak tetap memerlukan imunisasi rutin untuk tumbuh dan berkembang serta terhindar dari risiko infeksi penyakit menular.

Selain imunisasi, rumah tangga dengan anak penyandang disabilitas pun mengalami gangguan akses terhadap layanan kesehatan.

Sekitar 36,7% rumah tangga tersebut belum bisa mendapatkan terapi dan layanan kesehatan lain yang dibutuhkan anaknya. Ini terjadi karena gangguan di layanan medis, takut tertular virus, atau kekurangan dana.

Misalnya, seorang ibu di Kulon Progo mengungkapkan bahwa kondisi anaknya yang penyandang disabilitas memburuk karena tidak adanya terapi teratur dan asupan vitamin rutin.

“Sejak pandemi COVID-19 saya (sengaja) menghentikan terapi rutin anak di rumah sakit karena takut tertular virus corona. Sejak berhenti terapi, dia tidak minum vitamin untuk tulang. Sejak berhenti terapi anak saya sering mengeluh kakinya sakit, perkembangan kakinya juga terganggu. Dokter mengajarkan saya cara memijit kaki anak saya untuk terapi di rumah, tapi anak saya ya masih mengeluh kesakitan” kata informan itu pada 18 Desember 2020.

Baca juga: Penyandang Disabilitas Rawan Tak Bisa Kembali Sekolah Karena Pandemi

Tekanan Psikologis dan Kesehatan Mental

Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis.

Sekitar 45 persen rumah tangga mengatakan anak-anak mereka mengalami masalah perilaku. Lalu, 20 persen rumah tangga yang memiliki anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak mereka sulit berkonsentrasi. Beberapa dari mereka cenderung mudah marah, sedih, dan insomnia.

Bagi anak sekolah, masalah ini bisa terjadi karena kurangnya interaksi yang bermakna dengan guru dan teman. Selain itu, gangguan dari anggota keluarga lainnya juga mengganggu konsentrasi anak selama pembelajaran jarak jauh.

Seorang ibu di Klungkung Bali menyoroti situasi belajar di rumah yang kurang kondusif karena anak berusia di bawah lima tahun mengganggu saudaranya yang lebih tua saat belajar di rumah.

“Anak saya yang masih balita sering menganggu kakaknya yang sedang belajar daring. Saya jadi mudah marah karena harus mengurus banyak hal: mengajari anak belajar, dan mengasuh anak balita supaya dia tidak ganggu kakaknya. Saat saya ngajarin anak, saya sepertinya juga tidak terlalu paham, mungkin karena saya memang tidak punya pengalaman menjadi guru” kata informan pada 14 Desember 2020.

Upaya Mencegah Keadaan Lebih Buruk

Masalah-masalah yang terjadi di atas memang kompleks selama pandemi masih berlangsung. Untuk mengurangi dampak yang lebih buruk, riset ini merekomendasikan tiga hal.

Pertama, pemerintah perlu melanjutkan skema perlindungan sosial untuk membantu rumah tangga selama masa pemulihan ini. Upaya tambahan juga diperlukan untuk melengkapi bantuan transfer tunai dengan pesan promosi kesehatan dan gizi, serta memastikan bahwa makanan bergizi tersedia dan terjangkau.

Kedua, petugas kesehatan perlu bekerja sama dengan kader kesehatan setempat untuk memantau kesehatan anak-anak dan memberikan perawatan yang diperlukan. Mereka perlu secara aktif menjangkau orang tua yang mungkin melewatkan imunisasi dan pemeriksaan kesehatan selama pandemi.

Terakhir, pemerintah perlu menyadari adanya kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam belajar yang berpengaruh pada kondisi kesehatan mental mereka. Pemerintah perlu bekerja sama dengan komunitas sekolah dan orang tua untuk memberikan pembelajaran dan dukungan psikologis bagi anak-anak.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Sylvia Andriyani Kusumandari and Michelle Andrina