Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai
Meski menggantungkan hidup dari hasil berladang, tapi perempuan tak punya hak atas tanah di Mentawai. Ini membuat posisi mereka jadi rentan.
Sebuah rumah kecil berbahan kayu, tampak mencolok di tengah hutan yang aku lewati siang itu. Dari cerobong rumah, asap kelabu mengepul keluar. Aku menghampiri sang pemilik rumah, Nanda Saleleubaja, 85. Perempuan Mentawai bertubuh mungil dengan tato dan tudda (sejenis kalung) itu tengah istirahat usai berladang. Ada enam keladi hasil berladang, yang berjejer rapi di atas lantai.
Keladi itu rencananya cuma sebagian yang bakal dimakan. Sisanya ia simpan untuk ditukar dengan garam, gula, cabe, atau kebutuhan dapur lain dengan penduduk Mentawai. Cara barter yang terus ia pertahankan dibandingkan menjual keladi yang kini hanya dihargai Rp5 ribu per tiga buahnya.
Selain keladi, sangamata (sebidang) lahan yang mengelilingi rumah Nanda juga menghasilkan pinang, coklat, dan pisang. Semuanya secara bergilir ia panen dan olah sendiri. Ini menjadikan lahan sebagai satu-satunya sumber penyambung hidup Nanda pasca-suami meninggal sepuluh tahun silam. Tanpa lahan, Nanda tidak bisa hidup mandiri atau cukup makan, tanpa harus meminta belas kasihan anak-anaknya.
Sayang, walau sangat menggantungkan hidup pada lahan, Nanda sama sekali tidak memiliki hak milik atasnya.
“Ini semua punya suami saya. Ketika suami saya meninggal, sebagian besar lahan ini dijual oleh keluarga suami. Yang dikasih untuk mas kawin juga dijual. Sedikit saja yang diizinkan untuk saya pakai. Untuk sekadar hidup yang mereka izinkan,” kata Nanda dalam Bahasa Mentawai.
Perempuan yang Tak Punya Hak atas Lahan
Lahan Mentawai seutuhnya hanya milik laki-laki dan perempuan hanya diizinkan untuk memakainya. Ini tidak hanya terjadi pada Nanda, tapi juga “Sekar”, 25. Ia adalah perempuan kepala keluarga disabilitas yang tinggal bersama ibu dan anak semata wayangnya “Melati”.
Sekar sangat bergantung pada hasil ladang. Setiap hari pukul 7 pagi hingga sore, ia bekerja di ladang yang jaraknya dua kilometer dari rumahnya di salah satu dusun di Srilanggai, Mentawai. Di ladang, Sekar menanam dan memanen kacang lahan, jagung, cabe, keladi, dan pisang. Tanaman-tanaman yang memang biasanya dikelola secara mandiri oleh para perempuan Mentawai.
Dari hasil panen ini, Sekar akan mengolahnya untuk makanan sehari-hari dan sebagian akan ia jual untuk membeli keperluan sekolah anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Sejak pertama ditemui, Sekar yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa tubuh mengatakan lewat perantara ibunya bahwa lahan itu milik sang ayah. Bahkan jika mau membuka lahan, ia harus meminta izin pada orang tua, terutama ayah karena apa pun yang berhubungan dengan lahan harus diserahkan kepada laki-laki.
“Saya hanya menumpang (berladang di sini). (Lahan) ini punya bapak. Jadi di mana orang tua berkebun, saya hanya ikut saja” kata Sekar.
Tidak adanya kepemilikan atas lahan membuat posisi Sekar menjadi rentan dan serba tak pasti. Apalagi Sekar mengaku tidak punya lagi sumber penghidupan lain. Jika suatu saat ayah dan ibunya berkonflik lalu berpisah, hidup Sekar serta anaknya otomatis terancam.
Kerentanan ini semakin kental karena Sekar adalah perempuan dengan disabilitas. Stigma terhadap disabilitas, membuatnya harus mengalami berbagai hambatan saat berladang. Hasil ladangnya tidak hanya beberapa kali dicuri oleh orang, tapi juga dirusak oleh anak-anak tetangga. Ketika mengadu dan ingin mendapatkan keadilan, ia justru diolok-olok. Hal yang akhirnya membuat Sekar hanya bisa pasrah pada nasib.
“Pas anak-anak merusak (ladang), saya pergi ke orang tua mereka. Mereka justru mengejek dan mengolok-olok saya. Dibilang kurang waras. Saya diancam bakal dipukul,” jelasnya dengan bahasa tubuh.
Selain Sekar, ada pula Elma, 51, perempuan kepala keluarga yang punya nasib serupa. Suku Elma termasuk kaya dengan kepemilikan lahan leluhur, bahkan luasnya berhektar-hektar. Namun, sebagai perempuan penyandang disabilitas, Elma tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari lahan leluhurnya.
“Pembagian lahan ladang tidak dapat. Ketika itu lahan dijual oleh suku atau diolah juga, saya tak dapat,” jelas perempuan yang tinggal di daerah terpencil itu.
Kondisi ini memengaruhi hidup Elma yang bergantung pada hasil ladang. Sehari-hari Elma cuma bisa mengandalkan sedekah dari tetangga, sanak saudara, atau penghasilannya mencukur rambut yang dihargai Rp2 ribu sekali potong. Kayu untuk memasak saja ia masih harus bergantung pada pemberian keponakannya. Tak heran, Elma terpaksa menahan rasa lapar seorang diri.
“Kalau tidak ada makanan dan lapar, saya sering bakar pisang atau ya minum air panas saja,” tuturnya.
Baca juga: Tak Ada Lahan dan Air untuk Perempuan
Kerentanan yang Dilanggengkan Budaya
Perempuan di Mentawai dalam isu agraria memang sangat rentan, kata Tarida Hernawati, antropolog dan project manager dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM). Dalam budaya Mentawai, hak atas kepemilikan aset yang di dalamnya termasuk lahan semua diturunkan lewat garis keturunan laki-laki atau patrilineal.
Perempuan hanya diizinkan memakainya saja, tidak untuk memiliki. Bahkan jika suami atau ayah mereka telah meninggal dan lahan hasil waris itu adalah hasil kerja keras dari berladang bersama. Jika suami atau ayah perempuan meninggal dan dalam keluarga inti tidak ada lagi anggota keluarga laki-laki, maka secara adat masyarakat Mentawai mencari garis keturunan laki-laki dalam silsilah keluarga pihak laki-laki.
“Dicari sampai ketemu. Bahkan tanpa dicari pun biasanya keluarga yang masih punya keturunan laki-laki bisa tiba-tiba bisa datang ke sidang adat untuk mengklaim lahan tersebut. Makanya ketika saudara, suami, atau ayahnya udah enggak ada, perempuan harus ke keponakannya yang laki-laki untuk menumpang mengolah lahan,” kata Tarida.
Di sisi lain, imbuhnya, tak ada hak kepemilikan atas lahan menjadikan perempuan menjadi kelompok dengan kerentanan berlapis. Tarida bercerita bagaimana ia kerap menemukan perempuan janda yang sudah tua terpaksa harus menikah lagi. Dengan menikah, perempuan akan mendapatkan mas kawin berupa lahan, lahan inilah yang jadi satu-satunya sumber penghidupan mereka.
“Perempuan jadinya tidak punya kemandirian soal lahan. Mereka akan terus menggantungkan hidupnya pada laki-laki. Ini juga jadi salah satu alasan kenapa perempuan akhirnya bertahan walau mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual. Ketika mereka bercerai, ada pertimbangan atas penghidupan mereka yang akan hilang,” jelas Tarida.
Sekretaris Desa Muntei Theodorus Samonganrimau yang ditemui Magdalene (7/7) juga mengatakan hal senada. Menurutnya, prinsip dari budaya Mentawai memang masih sangat patriarkal. Tanggung jawab hidup keluarga ada dalam tangan laki-laki, sehingga semua aset juga harus atas nama laki-laki. Tanggung jawab sepihak juga terjadi sebelum menikah di mana laki-laki harus menyiapkan lahan sebagai mas kawin.
Mas kawin yang harus disiapkan memang umumnya cenderung mahal. Sebab, dalam budaya Mentawai, mas kawin yang diberikan kepada perempuan harus dikalikan dengan jumlah saudara laki-laki atau paman dari pihak perempuan. Jika pihak laki-laki tidak bisa menyanggupi mas kawin itu, maka anggota keluarga dari pihak laki-laki yang harus “patungan” membayar mas kawin. Karena itu, mas kawin lahan menjadi hak atas suku lewat garis keturunan laki-laki.
“Wajarlah misalnya dia (perempuan) pas nikah enggak bawa apa-apa dan cerai enggak bawa apa-apa juga. Suami meninggal dan istri masih ada, maka itu bukan hak dia (perempuan) lagi. Ini terjadi pada bibi saya sendiri. Suaminya meninggal, maka kami (suku dari pihak laki-laki) tarik kembali semuanya walau ada harta yang dikelola bersama,” ungkap Theodorus.
Ketidakadilan yang dialami perempuan lewat dirampasnya hak atas lahan ini kemudian Tarida coba jelaskan lewat penelusuran sejarah Mentawai. Tarida mengatakan, maskulinitas dalam isu kepemilikan lahan di Mentawai bisa ditarik dari anggapan Mentawai tentang perempuan dan kesakralan hutan mereka.
Dalam budaya Mentawai, perempuan dianggap sebagai sosok yang harus dilindungi. Sementara hutan adalah tempat gelap penuh dengan roh-roh dan kekuatan gaib. Anggapan ini dipercayai sebagai tempat yang tidak ramah bagi perempuan. Karena itulah perempuan harus dilindungi dengan terus berada di rumah. Area yang boleh mereka telusuri untuk bekerja adalah di sekitar rumah seperti pinggir sungai dan rawa-rawa. Selebihnya, laki-laki melakukan aktivitas seperti berburu dan mengolah hasil bumi.
Pemisahan ruang kelola atas perempuan dan laki-laki ini yang membuat laki-laki jadi menguasai hak atas lahan di Mentawai. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, hutan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang gelap dan membahayakan perempuan. Bahkan, lambat laun orang-orang Mentawai sudah ditarik pemerintah ke daerah resettlement (pemukiman kembali. Red) yang secara signifikan mengubah pengelolaan hutan di Mentawai.
“Sekarang perempuan jadi penopang dari pengelolaan sumber daya di Mentawai. Perempuan ikut menanam, merawat, dan juga mengolah. Sayangnya peran pengelolaan ini tidak rekonstruksi dalam realitas budaya masyarakat Mentawai. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok yang tidak mampu mengelola hutan, menguasai sumber daya di dalamnya. Makanya tidak diberi hak atas kepemilikan lahan,” tutur Tarida.
Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Lahan Sumba
Perempuan yang Tak Pernah Dilibatkan
Sudah jatuh tertimpa tangga, peribahasa yang pas menggambarkan peran perempuan Mentawai di ruang publik. Tidak hanya dicabut haknya dalam kepemilikan atas lahan, perempuan juga tidak dilibatkan dalam ruang-ruang publik seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan atas isu-isu yang berdampak pada penghidupan mereka.
Kemeria Tasiripoula, anggota Badan Permusyawaratan Desa Muntei dalam pertemuannya dengan Magdalene bilang, musrenbang desa selama ini selalu didominasi oleh aparatur desa laki-laki. Perempuan yang hadir hanya sebatas ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau kader saja.
Hal ini membuat ruang diskusi dalam pemerintahan desa tidak bisa menyasar langsung persoalan perempuan. Satu-satunya hal yang terus didiskusikan hanya infrastruktur atau stunting.
“Perempuan tidak diberi kesempatan musrembang, yang diberikan laki laki saja. Memang ruangnya dari awal tidak dibuka khusus untuk membahas persoalan perempuan. Padahal ya kalau diberikan kesempatan, perempuan bakal aktif ngomong. Kita juga jadi tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan dan khawatirkan ibu-ibu ini,” ujar Kemeria.
Menanggapi pernyataan Kemeria, sekretaris desa Theodorus menuturkan, pemerintah desa dan YCMM ingin mendirikan musrembang khusus ibu-ibu. Ia menyadari musrembang masih sangat maskulin dan membuat para perempuan minder untuk ikut serta apalagi yang dibahas dalam musrembang selalu lebih banyak tentang infrastruktur desa,
“Mereka menganggap ya paling cuma bahas listrik, jalan saja. Mereka tidak menganggap mereka adalah subjek hukum. Makanya kami punya ide bikin musrembang perempuan agar para perempuan punya wadah untuk bisa mengeluarkan aspirasinya dan aspirasi ini nanti yang akan disampaikan dalam musrenbang tingkat desa,” jelas Theodorus.
Pemerintah desa, imbuh dia, sebenarnya memperlihatkan niat baiknya untuk untuk mengubah adat istiadat salah satunya perkara kepemilikan lahan. Apa yang bisa kita ubah kita ubah, yang bisa kita pertahankan kita pertahankan, kata Theodorus.
Namun, memang ada catatan khusus yang ia berikan, karena kepemilikan lahan yang didasarkan garis keturunan patrilineal sudah mendarah daging, proses untuk mengubahnya pasti tidak gampang. Prosesnya perlu diskusi panjang yang meliputi sosialisasi dan diskusi dan masyarakat dan tokoh-tokoh adat.
Karena itu, sejalan dengan melakukan perubahan ini ada dua inisiasi yang bisa dilakukan untuk membuat posisi perempuan setidaknya tidak lebih rentan karena realitas budaya. Pertama, kata Tarida, perempuan Mentawai bisa membeli lahan. Dengan membeli lahan (yang dilakukan oleh pihak laki-laki), perempuan bisa mendapatkan warisan. Inilah yang dilakukan oleh Bambang.
“Bapak selalu mendorong kalau saya ada rejeki, disuruh beli lahan. Ribuan hektar lahan suku kita jangan harapkan bisa jatuh ke anak perempuan saya. Maka saya harus membeli lahan agar anak saya bisa dapat warisan,” tukasnya.
Baca juga: Konflik Agraria Hambat Kesejahteraan Transmigran di Sulawesi Tenggara
Kedua, memberdayakan perempuan dengan mendorong peran mereka di ruang publik. YCMM dan Kemitraan secara spesifik melalui Program Peduli sejak 2015, mendorong perempuan untuk tidak hanya mencari penghidupan berbasis lahan saja. Perempuan diberikan bekal untuk meningkatkan kapasitasnya lewat pendidikan dan diskusi kritis. Tak lupa pengadaan pertemuan dan seminar yang secara inklusif merangkul perempuan dalam lapis berbagai identitas. Dampaknya terlihat dari bagaimana sudah mulai bermunculan aparatur desa perempuan yang menduduki posisi strategis.
Di Muntei yang memang jadi lokus program misalnya, sudah terdapat tujuh aparatur desa perempuan yang menduduki posisi strategis seperti Kepala Urusan (KAUR) Umum, Kepala Seksi Kesejahteraan, dan Kepala Seksi Pelayanan. Dengan posisi ini, Tarida melihat bagaimana kepercayaan diri perempuan dan kesadaran mereka tentang keadilan dan kesetaraan gender jadi semakin meningkat. Ini pula yang membuat perempuan akhirnya jadi punya opsi penghidupan lain, tanpa harus sepenuhnya bergantung pada lahan milik laki-laki.
Terakhir, baik Kemitraan dan YCMM melalui Program Estungkara pada 2022 berusaha mendorong kesetaraan dan keadilan gender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi, dan pembangunan kapasitas organisasi masyarakat sipil. Melalui program ini misalnya perempuan dengan kerentanan berlapis diundang untuk mula bicara di ruang-ruang publik yang tadinya didominasi oleh laki-laki.
“Sekar dan kelompok rentan lain, kami undang ikut seminar tentang Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Mereka kami dorong untuk berbicara tentang pentingnya rapperda ini. Kita temukan mereka dengan PJ bupati, ketua DPRD, kepada dinas sosial dan kesehatan dan itu yang membuat Sekar jadi bisa mengurus administrasi kependudukan dasarnya seperti KK atau KTP, hal yang membuat dia jadi dapat BLTDD (Bantuan Langsung Tunang Dana Desa),” jelas Tarida.