Yang Tak Terlihat dari Kerja-kerja Perempuan Pembela HAM
Tidak hanya diancam penguasa, perempuan pembela HAM juga rentan dieksploitasi di tempat kerja.

“Sarah”, 25, masih ingat betul alasannya keluar dari salah satu lembaga pendamping korban kekerasan perempuan. Setelah satu tahun bekerja, Sarah kerap merasakan beban mental saat pendampingan. Beberapa kali, ia bahkan sering menangis diam-diam di rumah. Pada beberapa kasus yang ditangani, ia juga tak sanggup menahan rasa sedih yang juga dirasakan korban.
“Aku kadang enggak kuat dan selalu ngerasa ikut sedih juga kalau selesai mendampingi korban. Apalagi, kasusnya itu kasus kekerasan seksual yang sampai bikin korban enggak bisa hidup normal. Suka tiba-tiba nangis,” jelas Sarah.
Kondisi ini diperparah lantaran tempat Sarah bekerja tidak menyediakan layanan konseling untuk para pendamping. Meskipun ia sadar beban ini merupakan bagian konsekuensi pekerjaan, Sarah tetap merasa tak sanggup. Terkadang sekadar menemukan tempat bercerita pun, ia kesulitan.
“Enggak, enggak ada konseling untuk pendamping.”
Baca juga: Alami Intimidasi dan Kekerasan, Perempuan Pembela HAM Harus Dilindungi
PPHAM Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental
Ketua Savy Amira, pengada layanan bantuan untuk perempuan di Jawa Timur Siti Yunia Mazdafiah, mengamini ada Sarah-Sarah lain di luar sana. Saat memberikan tanggapan pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 (7/3), Siti bilang, perempuan pembela HAM (PPHAM) memang rentan alami gangguan kesehatan mental.
Di Savy Amira sendiri, hal ini sering kali terjadi. Kata dia, pekerjaan yang berkaitan dengan urusan publik memang rentan untuk merambah ke ranah privat para pendamping.
“Empati yang dimiliki oleh PPHAM ini jadi modal baik untuk menjalankan tugas pendampingan. Namun, secara personal, kerja-kerja publik ini juga bisa merambah ke urusan privat pendamping seperti rentan terkena trauma sekunder,” terangnya.
Luh Ayu Candra, psikolog klinis yang juga pernah jadi pendamping korban kekerasan bilang, respons trauma yang terjadi pada para pendamping merupakan sesuatu yang wajar. Meskipun bentuknya bisa berbeda pada tiap orang, trauma ini bisa saja terjadi lantaran kasus yang didampingi, secara natural, memang tergolong ke pengalaman yang traumatis.
“Respons trauma orang berbeda-beda ya. Misal, kayak kasus kekerasan seksual itu kan secara natural memang tergolong ke pengalaman yang bisa disebut kayak near-death experience. Makanya wajar kalau pendamping itu kena trauma sekunder gitu ya,” jelas Ayu.
Namun, imbuh Ayu, penting untuk tidak mendiagnosis hal tersebut secara pribadi. Alih-alih menyebutnya sebagai trauma sekunder secara mandiri, akan lebih tepat untuk menyebut pengalaman PPHAM sebagai compassion fatigue. Itu merupakan kondisi kelelahan fisik dan emosional yang dialami seseorang akibat paparan trauma atau tekanan yang dialami orang lain.
Baca juga: Terbentur-bentur Lalu Terbentuk: Kisah Perempuan Muda Pejuang Isu Gender
Bayang-bayang Eksploitasi
Selain rentan mengalami gangguan kesehatan mental, PPHAM nyatanya juga kerap mengalami eksploitasi di tempat kerja.
Masih pada momentum yang sama, Siti menjelaskan, pada beberapa kasus, banyak lembaga yang belum mengakui kerja-kerja PPHAM sebagai pekerjaan yang sah. Status “relawan” mereka terkadang meniadakan hak PPHAM sebagai pekerja. Untuk sekadar uang transportasi pun kadang sulit diberikan.
“Status pekerja (yang tidak jelas) membuat mereka rawan eksploitasi dan diskriminasi. lebih parah lagi PPHAM dari lembaga non pemerintah hanya sebagian saja yang sudah mendapatkan sekadar uang transport. Hal ini sering luput dari perhatian kita,” jelasnya.
Belum lagi jaminan akan keamanan dan akses kesehatan. Kesejahteraan PPHAM, ujar Siti, masih sangat terabaikan. “Tak jarang PPHAM itu harus melakukan pendampingan hingga larut malam di kepolisian untuk membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan. Red). Kemudian, membuat laporan, ada deadline, dan besoknya harus seperti itu lagi. Ini yang sering terjadi. Tidak ada penjaminan terkait jam kerja, kesehatan,” imbuhnya.
Baca juga: Pembekuan BEM FISIP Unair: Benarkah Orba ‘Season’ 2 Kembali?
Akui Kerja-Kerja PPHAM dan Berikan Perlindungan
Dalam “Manual Perlindungan Keamanan Perempuan Pembela HAM di Indonesia”, Komnas Perempuan menyebutkan kesejahteraan PPHAM harus jadi prioritas utama. Karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi atau komunitas PPHAM untuk memastikan anggotanya memiliki ruang cukup dalam mengatasi persoalan mental.
Pertama, pada tingkat individu, organisasi harus memastikan keseimbangan waktu dalam pekerjaan pada PPHAM. Hal ini penting agar para perempuan pembela HAM memiliki waktu yang seimbang dalam mengurus urusan publik dan urusan personalnya.
Kedua, organisasi atau komunitas PPHAM juga wajib menyediakan waktu dan dana khusus untuk retret staf, kelompok dukungan sebaya, dukungan psikologis atau pengawasan, atau praktik individu lainnya. Menurut Komnas perempuan hal ini krusial agar PPHAM menemukan solidaritas dan dukungan dari tubuh komunitasnya.
Ketiga, sesuai dengan apa yang dikatakan Siti, Komnas Perempuan juga mengimbau organisasi atau komunitas PPHAM untuk menyediakan fasilitas pendukung kerja, seperti jaminan kesehatan, asuransi jiwa, sampai asuransi perjalanan. Hal ini dapat disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku dan sesuai dengan kemampuan finansial organisasi.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
