Issues Politics & Society

10 Fakta Penting Catahu Komnas Perempuan 2024 yang Harus Kamu Tahu 

APH menjadi pelaku kekerasan tertinggi di ranah negara. Sementara, femisida meski belum dikenali, tapi angkanya meningkat di 2024.

Avatar
  • March 13, 2025
  • 7 min read
  • 523 Views
10 Fakta Penting Catahu Komnas Perempuan 2024 yang Harus Kamu Tahu 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, sehari jelang momen Hari Perempuan Internasional. Catatan tersebut dipublikasikan lewat diskusi bertajuk “Menata Data, Menajamkan Arah: Refleksi Pendokumentasian dan Tren Kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2024” di Gedung Komisi Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat.  

Salah satu temuan penting dari CATAHU ini, yakni jumlah kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang mencapai 330.097 atau naik14,17 persen dari 2023 sebanyak 289.111 kasus. Adapun demografi korban paling banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Sementara pelakunya berasal dari kalangan yang diharap bisa memberi ruang aman, seperti guru, Aparat Penegak Hukum (APH), hingga Aparatur Sipil Negara. 

 

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan dalam acara peluncuran ini menuturkan, kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan terbagi dalam tiga bagian. Di antaranya, kekerasan di ranah personal, publik, dan negara. Magdalene telah merangkum sepuluh poin penting lain yang perlu kamu tahu dari CATAHU Komnas Perempuan 2024: 

  1. Kekerasan terhadap Istri (KTI) Tertinggi Sejak 2001 

Di ranah personal, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) jadi yang tertinggi dilaporkan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ini selalu jadi kekerasan yang paling sering terjadi, bahkan sejak 2001.  

Di 2024 sendiri, terdapat 672 kasus KTI. Biasanya KTI beririsan dengan perkawinan tidak tercatat, perkawinan usia anak, poligami, dan perkawinan campuran. Selain itu, usia korban (istri) juga cenderung lebih muda dari pelaku. Eksekutif Komnas Perempuan menyebutkan, ketimpangan relasi gender antara suami dan istri digadang-gadang jadi faktor yang bikin KTI relatif tinggi. 

Sama seperti yang terjadi di 2023, di ranah personal, kekerasan yang paling banyak terjadi setelah KTI adalah Kekerasan Mantan Pacar (KMP), yakni sejumlah 632 kasus. Kemudian disusul dengan Kekerasan dalam Pacaran (KDP) yang menyentuh 407 kasus. Selanjutnya, Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) sebanyak 122 kasus. 

Baca juga: #DaruratIsuPerempuan: Perlindungan Perempuan dan Anak Terancam Imbas Efisiensi Anggaran 

  1. KBGO juga Meningkat 

Di ranah publik, Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) pun meningkat. Dari total 1.335 kasus, KSBE atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menempati posisi pertama dengan total 981 kejadian. Secara rinci, angka ini didominasi oleh KBGO seksual,  sebanyak 926 kasus. Selanjutnya, KBGO Non-Seksual juga ditemukan sebanyak 55 kasus. 

Adapun pelaku yang paling banyak berasal dari teman sosial media, sejumlah 517 orang. Pada kasus yang melibatkan pelaku orang yang dikenal, korban cenderung mengalami kekerasan berlapis.  

  1. APH Menempati Posisi Tertinggi Sebagai Pelaku Kekerasan di Ranah Negara 

Kekerasan di ranah negara jadi salah satu jenis kekerasan yang juga meningkat di catatan Komnas Perempuan. Mayoritas, kekerasan ini bersinggungan dengan beberapa proyek negara , eperti Proyek Strategis Nasional (PSN), konflik sumber daya alam, dan konflik agraria dan tata ruang. 

Untuk jenis kekerasannya, perempuan berkonflik dengan hukum menempati posisi tertinggi. Selanjutnya, perempuan berhadapan dengan hukum serta kekerasan seksual oleh pejabat publik/ negara. 

Dari keseluruhan total kasus, APH menjadi pelaku terbanyak yang diikuti pemerintah serta pejabat publik. Menyentuh angka 53 kasus, pelaku datang dari berbagai instansi meliputi kepolisian, hakim, dan jaksa. Sementara, pelaku yang berasal dari aparat penegak hukum didominasi oleh polisi, sejumlah 22 orang. 

Terkait temuan ini, Theresia Sri Endras Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan, perlu intervensi pada instansi-instansi tersebut. Terlebih ada ekspektasi publik di mana pelaku ini mestinya berperan sebagai pelindung, alih-alih predator kekerasan. 

  1. Kian Maraknya Fenomena Delayed in Justice 

Dari CATAHU Komnas Perempuan disebutkan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertunda kian marak terjadi. Sebagai contoh, setidaknya terdapat 7 kasus  KTI yang mengalami penundaan penanganan. Selebihnya, 17 korban KTI justru mengalami kriminalisasi balik dari pelaku.  

Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi mengatakan, ini sangat merugikan korban perempuan. Pasalnya, delayed in justice bikin korban menunggu untuk mendapat keadilan, sampai waktu yang tidak wajar. Pada akhirnya, hal ini pun berdampak buruk pada korban, termasuk potensi penyiksaan berulang sampai kriminalisasi. 

Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya 

  1. Kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM 

Kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM (PPHAM) tercatat meningkat menurut CATAHU 2024 Dari 10 kasus, 3 kasus kekerasan terhadap PPHAM terjadi di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN), dan 7 lainnya terjadi di wilayah Non-PSN.  

Komnas Perempuan menemukan beberapa faktor pemicu kekerasan terhadap PPHAM. Misalnya, masih minimnya kesadaran tentang pentingnya kehadiran PPHAM, lemahnya penerapan regulasi anti SLAP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), menguatnya relasi penguasa dengan pengusaha, serta bias gender para penegak hukum.  

Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga masih menjadi momok besar bagi PPHAM. Regulasi ini sering kali dijadikan alat gebuk PPHAM dengan kriminalisasi saat mereka tengah mendampingi kasus.  

  1. Tantangan Ganda Perempuan dengan Disabilitas 

Komnas Perempuan juga menemukan perempuan dengan disabilitas masih mendapatkan diskriminasi dan tantangan ganda. Selain itu, stigmatisasi kepada perempuan dengan disabilitas sebagai orang lemah dan tak berdaya juga jadi kerentanan tersendiri. Inilah kenapa, perempuan dengan disabilitas marak mengalami kekerasan, khususnya kekerasan seksual. 

Berdasarkan pemetaan wilayah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Jakarta menjadi provinsi dengan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas terbanyak di 2024. Namun, di luar itu, ada catatan positif dari kasus kekerasan ini, yakni adanya perbaikan infrastruktur layanan pengaduan, serta sistem pendokumentasian yang lebih baik.  

  1. Perempuan Minoritas Seksual Masih Alami Ancaman Berlapis 

Selain itu, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan minoritas seksual juga masih perlu mendapat perhatian. Sebab, mereka masih kerap menerima kekerasan verbal, pengancaman, perselingkuhan, pemerasan, pemanfaatan ekonomi, dan KBGO dalam bentuk ancaman siber. Dari catatan ini, DK Jakarta memiliki jumlah kasus terbanyak, sebanyak 11 kasus. Kemudian disusul oleh Jawa Barat, sebanyak 6 kasus, dan Yogyakarta sebanyak 6 kasus.  

Salah satu kasus yang mendapat sorotan Komnas Perempuan adalah diskriminasi yang terjadi di ruang publik, khususnya di kawasan KRL/ Commuter Line. Misalnya, pelarangan penggunaan fasilitas umum, pelecehan verbal, sampai pengecekan identitas personal terhadap perempuan minoritas seksual. 

Baca juga: Kampus Seharusnya Menjadi Tempat Aman, tapi Nyatanya Tidak 

  1. Femisida Masih Belum Dikenali tapi Angkanya Tinggi 

Sampai kini, kekerasan berbasis gender berakhir kematian atau femisida masih belum dikenali secara umum, khususnya oleh APH. Sebagai kekerasan paling ekstrem, femisida masih belum mendapat pendataan terpilah di Bareskrim Polri dan Mahkamah Agung RI. 

Dari CATAHU Komnas Perempuan, sepanjang 2024 femisida terjadi setelah pelaku melakukan kekerasan berlapis dan berulang kepada korban. Pada konteks KDRT, delayed in justice sering kali dapat mengakibatkan femisida atau korban yang bunuh diri. 

Kasus femisida yang disorot, di antaranya dilakukan Ronald Tannur, pacar korban yang merupakan anak anggota DPR RI. Profil orang tua pelaku membuat kasus sulit untuk diselesaikan. Pengadilan Negeri Surabaya sendiri bahkan sempat memvonis bebas pelaku sebelum akhirnya dihukum 5 tahun penjara.   

  1. Perempuan Adat Rentan Alami Kekerasan 

Di 2024, Komnas Perempuan menemukan pola-pola kekerasan yang kerap dialami perempuan adat. Itu meliputi perampasan wilayah adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan dan spiritualitas, beban berlapis di tengah konflik sumber daya alam, dampak berlapis penguasaan wilayah hutan oleh pihak pemegang konsesi, serta kriminalisasi PPHAM dan masyarakat adat di tengah pencarian perlindungan. 

Tidak hanya itu, perempuan adat nyatanya juga kerap mengalami diskriminasi lain, seperti pelanggaran pencatatan perkawinan. Terkait ini, Komnas Perempuan menerima pengaduan dari komunitas adat di Jawa Barat, di mana 116 perempuan terhambat memperoleh akta nikah. Sampai CATAHU 2024 diluncurkan, perempuan adat yang dimaksud belum dipenuhi hak-haknya.   

  1. Catatan Penting KBG Selama Pemilu 2024 

Sebagai tahun politik, Komnas Perempuan juga turut mengamati kekerasan berbasis gender selama Pemilu 2024. Sepanjang periode tersebut, Komnas Perempuan berpartisipasi dengan menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, dan memberikan pendapat hukum kepada pengadilan. 

Dari proses tersebut, terdapat beberapa kasus yang menjadi highlight, salah satunya penganiayaan fisik yaoleh calon anggota legislatif. Kekerasan ini menyebabkan luka lebam di telinga kanan korban. Selain itu, penganiayaan ini juga berimbas pada robeknya pakaian korban, sehingga memperlihatkan pakaian dalamnya di depan orang banyak. Untuk kasus ini, Komnas Perempuan telah meminta klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Namun sampai saat ini, terduga pelaku tidak merespons.  

Selain itu, Komnas Perempuan juga turut menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dilakukan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan Daerah. TPKS yang dilakukan sarat akan relasi kuasa dan juga manipulasi emosional. Pada kasus ini, Komnas Perempuan memberikan keterangan ahli di persidangan dan merujuk penanganan kasusnya.   



#waveforequality
Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *