People We Love

Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra

Kemenangan Han Kang sebagai perempuan Asia pertama dalam Penghargaan Nobel, jadi bukti betapa sastrawan perempuan di Asia masih dinomorduakan.

Avatar
  • October 11, 2024
  • 6 min read
  • 1487 Views
Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra

Penghargaan Nobel bidang Sastra tahun ini jatuh kepada sastrawan perempuan Korea Selatan, Han Kang. Diumumkan pada (10/10) lalu di Stockholm, Swedia, Komite Nobel dikutip dari VOA Indonesia menyebut, karya Han Kang merupakan “Prosa intens, yang menghadapi trauma bersejarah dan mengungkap kerapuhan hidup manusia.” 

Pencapaian perempuan kelahiran Gwangju, Korea Selatan pada 1970 tersebut jadi kemenangan kolektif sastrawan perempuan, terutama dari Asia. Sebab, ia jadi sastrawan perempuan Asia pertama dan sastrawan perempuan ke-18 yang memenangi Penghargaan Nobel. Adapun perempuan terakhir yang meraih penghargaan itu adalah Annie Ernaux asal Prancis pada 2022. 

 

 

Penghargaan Nobel dalam bidang sastra memang sudah lama dikritik karena dianggap terlalu “putih” dan maskulin. Enggak cuma itu, penghargaan yang eksis sejak 1901 ini pun didominasi penulis asal Eropa dan Amerika Utara, dan mayoritas laki-laki. 

Han Kang sendiri memulai debut sastranya pada 1993, dengan menerbitkan lima puisi di majalah Korea, Literature and Society. Mengutip The Booker Prizes, sejak debut, Han Kang sudah tampak kritis dan reflektif. Tulisan dia kemudian berkembang lebih eksperimentatif dengan memaksimalkan panca indera terutama sejak menulis The Vegetarian (diterbitkan di Korea Selatan pada 2007). Ini merupakan novel sohornya yang berdasarkan cerita pendeknya pada 1997 berjudul The Fruit of My Woman.

Setelah The Vegetarian, Han Kang terus menelurkan novel-novel laris lainnya, termasuk Human Acts, The White Book, dan Greek Lessons. Novel terbarunya, We Do Not Part bercerita tentang penulis yang meneliti pemberontakan Jeju 1948-1949 atau era Perang Dingin, dan dampak terhadap keluarga temannya. Novel ini sendiri rencananya bakal diterbitkan pada awal 2025. 

Baca Juga: Gerakan Feminisme Oleh Sastrawan Perempuan Korea 

Sastrawan Feminis yang Berani 

Bicara Han Kang tak bisa dilepaskan dari topik feminisme. Lewat gaya penulisannya yang mengandalkan metafora dan indera, ia berani mengkritik sistem patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek semata. Kritik keras ini tergambar dalam dua novelnya Greek Lessons (2023) dan The Vegetarian (2007). 

Dalam wawancara bersama World Literature Today, Han Kang bilang, kekerasan sudah jadi bagian hidup manusia apalagi perempuan. Latar belakang inilah yang membuat Han Kang mengambil angle soal perlawanan perempuan terhadap kekerasan. Dalam Greek Lessons, kekerasan mewujud dalam bahasa, sehingga karakter perempuannya melawan dengan menolak bahasa sama sekali. 

Sementara dalam The Vegetarian, kekerasan terepresentasikan lewat tindakan memakan daging. Karena itulah perlawanan karakter perempuannya memutuskan jadi vegetarian. Sebagai salah satu novel terlaris, Han Kang mengaku The Vegetarian sebenarnya ditulis sesuai dengan konteks masyarakat Korea Selatan. Makanya ia enggak menyangka, novel itu dibaca dan dipahami pembaca dunia.

Novel yang di Indonesia diterbitkan oleh Baca ini berkisah tentang Yeong-hye, ibu rumah tangga Korea yang memilih jalan ekstrem untuk menjadi vegetarian. Ia membiarkan diri sendiri kelaparan. Menolak apapun yang disuguhkan dan dicekoki orang anggota keluarga untuk meraih mimpinya bertransformasi menjadi pohon. 

Dalam wawancaranya bersama The Guardian, Han Kang menjelaskan Yeong-hye memang sengaja menolak tubuhnya. Ini dilakukan guna menghapus kekerasan masyarakat yang dipersonifikasikan dalam diri ayah, suami, dan adegan lukisan tubuh berwarna suami saudara perempuannya.   

Ayah Yeong-hye di sisi lain, memperlihatkan pada pembaca bagaimana maskulinitas digambarkan lewat serangan. Sang ayah adalah veteran Perang Vietnam yang sangat otoriter. Ia sejak awal selalu merespons keputusan Yeong-he dengan kekerasan. Mulai dari mengikat hingga mencekoki paksa Yeong-he dengan daging babi sampai muntah. 

Kekerasan yang dilakukan sang Ayah, membuat Yeong-he mengancam akan mengiris nadinya. Tindakan itu mungkin bagi banyak orang dibilang ekstrem, tapi buat Yeong-he kekerasan atau ancaman cuma satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti ayahnya.

Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik 

Sebelas dua belas, maskulinitas Cheong, suami Yeong-he digambarkan lewat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ekspektasi peran gender tradisional yang ia bebankan kepada Yeong-he. Layaknya banyak laki-laki Korea Selatan yang seksis dan misoginis, Cheong mengharapkan Yeong-hye tunduk padanya. 

Ia ingin Yeong-hye jadi istri ideal yang bisa memasak, bersih-bersih, dan mau diajak berhubungan seksual kapan saja dengannya. Namun, saat Yeong-he memulai perjalannya jadi vegetarian, Cheong menyadari istri sedang melawan. Ia memaki Yeong-hye gila dan mencoba menundukan Yeong-hye beberapa kali dengan cara memerkosanya (marital rape). 

Sedangkan untuk karakter suami adik perempuannya yang tak bernama, maskulinitas digambarkan lewat seksualisasi tubuh perempuan. Han Kang sengaja menggambarkan karakter ini begitu terobsesi dengan tubuh Yeong-he. Ia menseksualisasi hampir tiap jengkal tubuh Yeong-he hingga pada tahap melakukan kekerasan seksual untuk mendapatkan kepuasan dari imajinasinya tersebut. 

Untuk menekankan ragam kekerasan terhadap perempuan yang dialami Yeong-he oleh tiga figur laki-laki dalam hidupnya, Han Kang merepresentasikannya dengan tindakan memakan daging. Carol J. Adams dalam bukunya The Sexual Politics of Meat (1990) pernah menjelaskan, binatang yang dibunuh dan dimakan oleh manusia diposisikan derajatnya kurang lebih sama dengan perempuan di masyarakat patriarki. 

Sama seperti hewan yang tak pernah dilihat sebagai subjek, tubuh perempuan pertama-tama “disembelih dan dipotong-potong” seperti binatang. Tujuannya untuk menjadi bagian tubuh yang tidak berwajah dan tidak berkepribadian, sehingga bisa ditundukkan. Karena itu, keputusan Yeong-he jadi vegetarian dan tubuhnya tak lagi menawarkan hasrat bagi laki-laki, dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, regresif, dan menjijikkan. Yeong-he pada akhirnya adalah protagonis yang kata Han Kang dalam wawancara sama bersama The Booker Prizes “tidak sempurna”. 

Bukan cuma karya feminisnya saja yang bikin Han Kang dikenal dan dicintai banyak pembaca dunia. Han Kang juga dikenal sebagai penulis yang “takut” pada manusia. Dalam wawancara dengan The Guardian, Han Kang mengaku takut pada manusia yang bisa melakukan berbagai macam kejahatan tak terbayangkan pada sesama maupun makhluk hidup lainnya. Ia bahkan jadi merasa bersalah menjadi bagian dari ras manusia. 

“Bagaimana manusia bisa begitu brutal dan kejam …… Saya merasa manusia itu menakutkan dan saya adalah salah satunya,” katanya. 

Kekejaman itu mulai disadari pada usia 12 tahun saat ia mengetahui peristiwa Pergerakan Demokratisasi Gwangju. Saat itu ia menemukan album kenangan yang berisi foto-foto jurnalis asing yang diambil ketika peristiwa berlangsung. Penemuan album tersebut cukup mengejutkan karena trauma trauma publik menjadi trauma yang sangat pribadi buat Han Kang. 

Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan

“Saya ingat momen ketika pandangan saya jatuh pada perempuan muda yang dimutilasi, wajahnya diiris dengan bayonet. Diam-diam, dan tanpa keributan, sesuatu dalam diri saya hancur,” jelasnya. 

Ia menyadari foto-foto itu melemparkannya ke dalam krisis eksistensial sepanjang hidupnya. Ia diliputi rasa bersalah dan terus bertanya-tanya tentang apa yang bisa ia lakukan dalam melawan kengerian ini. Kedua hal ini kemudian menghantarkannya pada keputusan untuk jadi seorang penulis. Ia ingin menuliskan kemanusian dalam wujudnya yang paling ingin ditutup-tutupi oleh banyak pihak. Kemanusian yang paling ia takuti, tapi ingin juga ia selamatkan. 

Human Acts adalah salah satu bukti dari nyata dari cara Han Kang menggambarkan kemanusiaan dalam versi paling jujur. Kemanusian itu penuh penyiksaan dan kekejaman yang tak terkatakan. Untuk menggambarkannya dengan jujur, Han Kang menulis Human Acts lewat suara-suara para korban penyiksaan baik yang hidup ataupun mati saat peristiwa Pergerakan Demokratisasi Gwangju. 

“Pada gilirannya (pembaca) harus siap untuk mengalami penderitaan seperti itu sendiri secara langsung (lewat novelnya),” katanya dalam wawancara bersama World Literature Today. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *