Hati-Hati, Ukhti, Akhi-akhi Cabul itu Ada!
Tidak semua akhi terpuji, ada yang cabul tapi berkedok Islami.
Ukhti, apa yang terlintas di benak ketika mendengar sebutan “akhi” atau “ikhwan”? Biasanya bukan soal pelecehan seksual terhadap mahasiswa ukhti. Karakteristik yang tersemat pada akhi alias pria muslim, biasanya saleh, taat beribadah, menjaga pandangan, menolak berjabat tangan dengan para ukhti, penghafal Al-Qur’an dan hadis, serta pegiat dakwah, sampai karakteristik fisik seputar jenggot panjang, celana cingkrang, dan sandal gunung. Cap itu tidak sepenuhnya salah, karena stereotip ini identik dengan para pria Islami atau pegiat lembaga dakwah di kampus.
Beberapa tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa baru, saya pernah terlibat di lembaga dakwah kampus tingkat fakultas. Tetapi, saya tidak cukup untuk bisa disebut sebagai “akhi-akhi”. Karena saya bergaul dengan ahli hisap (mahasiswa yang suka merokok), berambut gondrong, bercelana jeans, pakai kaos, jarang memakai jaket lembaga dakwah kampus, dan sudah terbata-bata ketika membaca huruf Arab Pegon (abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura, dan Sunda).
Meski demikian, saya berterima kasih kepada lembaga dakwah yang saya ikuti. Karena lembaga ini, saya jadi tahu kelakuan tidak terpuji para akhi. Pertama, bagaimana sebagian dari mereka ini terlihat sangat kebelet menikah muda, yang menurut saya tanpa ilmu yang mumpuni. Semua masalah dianggap akan tuntas jika kita menikah muda. Skripsi akan cepat selesai, karena ada penyemangat. Kemiskinan dapat dientaskan karena menikah akan menyempurnakan separuh agamamu, menjadikanmu muslim yang kaffah (paripurna) dan anak adalah pembuka pintu rezeki.
Mulai dari seminar, kajian, atau poster dakwah, isinya tentang nikah muda. Kita bisa mengeja berbagai judul seminar nikah muda, mulai dari “Menjemput Jodoh Impian” sampai “Membina Keluarga Islami di era industri 4.0”. Tanpa pemahaman atas Kitab Qurrotul ‘uyun atau Fikih Perempuan yang ditafsirkan oleh berbagai ulama, tren nikah muda menjadi toxic bagi akhi-akhi maupun ukhti-ukhti. MasyaAllah, saya kemudian membayangkan anak-anak dari keluarga itu dididik oleh Kecerdasan Buatan (AI) dan dilatih analisis Big Data.
Baca juga: Gerakan Hijrah Semakin ‘Ngepop’
Cerita lain soal para akhi saya dapat dari seorang akhi-akhi juga, yang telah memendam kisah ini sekian lama karena tidak mau mengumbar aib saudara sendiri. Perumpamaannya adalah memakan bangkai saudara sendiri.
Teman saya itu mengatakan ada virus-virus yang telah menjangkiti para akhi, mulai dari akhi-akhi wibu (pencinta budaya Jepang), akhi-akhi yang membayar handshake dengan salah satu personil JKT 48 tetapi tidak bersentuhan tangan, sampai akhi-akhi cabul.
Saya tidak tersentak ketika ia mengatakan akhi-akhi wibu, karena saya cukup familier dengan mereka. Perawakan dicitrakan Arabis dan Islami, tetapi isi laptop penuh dengan kumpulan anime yang diunduh dari berbagai situs. Bahkan beberapa kali saya mendapati ada yang menonton anime di masjid. Namun, yang mengejutkan saya adalah akhi-akhi cabul.
Teman saya memergoki mereka ada dalam sebuah forum di kampus. Seorang akhi di sebelahnya kedapatan sedang memotret secara sembunyi-sembunyi ukhti-ukhti yang ada di forum itu. Ia tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis tapi ternyata gemar mengambil foto perempuan diam-diam. Pada saat itu, teman saya menegur sarkastis, “Kalau kamu suka, nikahin aja. Enggak usah memotret secara sembunyi-sembunyi.”
Ternyata, si akhi sudah biasa mengambil foto “candid” para ukhti, dan beberapa saya kenal baik. Mereka sungguh tidak layak dijadikan objek foto secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya para ukhti, semua perempuan di bumi Allah ini tidak pantas dijadikan objek foto tanpa adanya konsensus.
Pada saat itu, kemarahan saya menggelegak. Si oknum akhi itu sering saya dapati tengah berbicara mengenai Islam yang memuliakan perempuan. Saya otomatis ragu, apakah ia benar-benar menerapkan nilai-nilai tersebut.
Cerita lain datang dari kawan perempuan saya, seorang ukhti berjilbab. Ia suka menerima pesan pribadi di Instagram dengan kata-kata menjijikkan, seperti “Bibirmu indah…..(sensor)”. Padahal profil laki-laki itu sering berdakwah di media sosial, misalnya soal keutamaan Tauhid, keutamaan memuliakan perempuan, dan lainnya. Ia langsung memblokir akun itu.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Ustaz Gaul Pujaan Ukhti dan Akhi
Kebiasaan lain dari para akhi cabul adalah mengeluarkan “candaan” bahwa nikah itu berarti “sudah halal”. Ini sering kali saya dengar di berbagai kegiatan keseharian. Candaan yang sebenarnya merendahkan derajat perempuan. Dalam candaan itu, perempuan ketika sudah menikah akan menjadi “halal” bagi suaminya. Seolah-olah ia tidak berdaya dan boleh di-“apa-apa”-kan oleh suaminya. Sami’na wa ‘atha’na (aku mendengar dan aku patuh) terhadap suaminya, katanya.
Kelakuan akhi-akhi cabul ini menunjukkan bahwa semua perempuan rentan terhadap pelecehan, tidak terkecuali di lingkungan yang dicitrakan “Islami”. Pelecehan bekerja bahkan pada taraf yang sangat kecil. Bukan hanya berupa sentuhan tanpa adanya konsensus, tetapi juga menjadikan perempuan sebagai objek foto secara sembunyi-sembunyi.
Untuk apa akhi-akhi itu berbicara soal “Islam memuliakan perempuan” jika ia saja tidak bisa memuliakan perempuan? Menjadikan ukhti-ukhti sebagai objek foto secara sembunyi-sembunyi jelas perbuatan yang tidak Islami sama sekali. Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan. Tetapi, bukan berarti menundukkan pandangan ke ponsel yang isinya foto perempuan. Perintah menundukkan pandangan itu ada untuk mengelola hawa nafsu manusia. Sebegitu susahnya menahan hasrat seksual, akhi?
Tulisan ini merupakan titik kulminasi kemarahan saya terhadap akhi-akhi itu. Hal yang saya tulis adalah hal-hal “kecil”, tapi hal kecil ini telah menjadi kebiasaan yang dinormalisasi. Semoga akhi-akhi itu segera sadar dan bertobat serta minta maaf pada para ukhti.
Tentu, tidak semua akhi-akhi demikian. Beberapa yang saya kenal selalu menjaga pandangannya. Ada yang bahkan turut memperjuangkan agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) disahkan.
Rasulullah pernah bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729). Kalimat itu adalah pesan bagi seluruh umat manusia untuk memuliakan perempuan. Maka, sebagai orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad, hendaknya kita mematuhi teladannya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari