Culture

Hindia, Gerakan #MeToo, dan Doa Ibu

Mempunyai anak memberikan kaca mata yang berbeda saat melihat idola laki-laki bagi Redpel Magdalene, Hera Diani.

Avatar
  • December 6, 2019
  • 7 min read
  • 794 Views
Hindia, Gerakan #MeToo, dan Doa Ibu

Reporter Magdalene Elma Adisya, yang akrab dipanggil Elam, suatu pagi Juni lalu muncul di kantor dengan rambut dicat pink dan tato pertama di lengan belakangnya. Tato setangkai bunga yang disertai tulisan:  

Semua yang sirna ‘kan kembali
Semua yang sirna ‘kan terganti 

 

 

“Itu tulisan apa, Lam?” tanya saya.

“Ini lirik lagu Hindia, Kak. Penyanyi Indonesia,” kata Elam.

“Cewek apa cowok?”

“Cowok. Nama aslinya Baskara Putra, vokalis .Feast. ”

“Oh gitu. Kalau udah enggak suka dia gimana? Atau tahu-tahu dia terlibat kasus #MeToo?” canda saya.

Elam mendelik, mungkin dia jadi ingat foto-foto tato gagal yang tersebar di Internet.

Foto oleh Elma Adisya

 

Tiga bulan telah berlalu saat nama Hindia muncul lagi di grup WhatsApp #MulaiBicara, sebuah inisiatif anti-kekerasan seksual. Ada yang mengirimkan tautan video “Secukupnya” dari Hindia, “isinya anak-anak FISIP UI, mengenai isu sosial saat ini. Keren dan kreatif.”

Saya pikir itu tanda bahwa sudah saatnya saya memperbarui musik yang saya dengarkan. Jangan Jeff Buckley lagi, John Mayer lagi, Vampire Weekend lagi. Di iPod saya ada folder “Masa Kini”, tapi album yang paling baru adalah dari mendiang Amy Winehouse. Playlist di Spotify lumayan ada artis-artis baru, tapi yang didengar akhirnya yang lama-lama dan itu-itu saja.

Sambil mandi pagi sebelum ke kantor, saya pasang lagu Hindia lewat Spotify. Intro dengan synthesizer dari “Secukupnya” mengentak berkumandang, dan saya mengangguk memberikan persetujuan. Tapi liriknya seketika membuat saya mematung dengan dramatis di bawah pancuran air.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang? (Renggang)
Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang
Di esok hari

Kapan saya terakhir kali tertidur tenang? Enam tahun terakhir adalah rentetan pekerjaan dan peristiwa juga trauma. Membangun media startup. Juggling banyak pekerjaan. Hamil. Mengurus anak. Bercerai. Ayah terkena Parkinson dan mulai demensia. Hidup dari honor ke honor (tapi masih nihil m-BCA).

Tidur jadi sesuatu yang sulit digapai. Kalaupun bisa terlelap mimpinya selalu rusuh dan bangun pun tidak segar. I don’t sleep, I dream, kata R.E.M.

Foto oleh Elma Adisya

 

Lirik selanjutnya membuat kelelahan mengkristal. Rasanya ingin rebahan di lantai kamar mandi tapi takut ada pembunuh Psycho.

Tubuh yang berpatah hati
Bergantung pada gaji
Berlomba jadi asri
Mengais validasi

Lagu-lagu berikutnya menunjukkan Baskara ini adalah musisi yang cukup andal dan penulis lirik yang brilian. Dengan bungkusan pop modern dengan sentuhan elektronik, ia secara artikulatif dan reflektif menjabarkan krisis seperempat baya, isu kesehatan mental, sampai penyakit sosial di masyarakat, tanpa kata-kata yang susah dan pretensius.  

“Dehidrasi” dengan jeli menggambarkan orang-orang toksik yang perlu dibersihkan dari kehidupan kita.

“Membasuh” adalah nomor akustik syahdu yang merenungkan soal self-entitlement, rasa pamrih, dan empati kolektif.

“Evaluasi” membahas kecenderungan orang melakukan komparasi penderitaan dan soal pemulihan luka.

Saya masih tercenung di kamar mandi, mendapatkan kebijakan hidup dari seseorang yang hampir 20 tahun lebih muda. Tapi, kenapa enggak?

Baca juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual

Model untuk anak laki-laki

Dulu, dengar musik ya yang kena di hati saja. Setelah lebih dewasa, banyak faktor di luar rasa yang berperan. Sekarang ini, sudah malas menyimak another rockstar apalagi white man whining. Terlebih lagi, sudah sulit banget mendengarkan lagu-lagu para penyanyi cowok yang melakukan kekerasan terhadap pasangan atau anak. Ternyata, saya tidak merasa kehilangan juga, dan tetap baik-baik saja tanpa mendengar karya mereka.

Setelah Jakob lahir, saya jadi mencari model untuk memproyeksikan jadi manusia apa dia kelak waktu dewasa. Salah satu ketakutan terbesar saya untuknya adalah bagaimana kalau dia tumbuh jadi laki-laki misoginis. Setelah #MeToo merebak dan kami di Magdalene banyak sekali mendapatkan data serta DM dan email tentang pengalaman mendapatkan kekerasan seksual, ketakutan ini semakin nyata.

Saya jadi giat membaca dan bertanya soal tips membesarkan anak laki-laki yang baik. Saat bertemu Tom Morello dari Rage Against the Machine, dalam diskusi dengan Amnesty Internasional di Jakarta September lalu, saya bertanya soal ini padanya, selain soal kasus #MeToo di kalangan musisi. Tom dibesarkan oleh ibu tunggal, Mary Morello, seorang guru dan aktivis yang mendirikan kelompok anti-sensor Parents for Rock and Rap.

Foto bersama Tom Morello sebagai hasrat pamer.

“Saya takut banget anak saya jadi misoginis. Bagaimana ibumu membesarkanmu sampai kamu jadi musisi keren yang lulusan Harvard dan juga aktivis?” tanya saya.

“Ibu enggak banyak ngasih nasihat ini itu. Dia kebanyakan memberi contoh,” ujarnya.

“Saya juga enggak selalu seperti ini. Waktu remaja saya lumayan homofobik, soalnya kami tinggal di daerah suburban yang konservatif. Tapi suatu kali saya enggak sengaja ketemu dan ngobrol sama orang-orang gay dan menemukan bahwa mereka asyik-asyik saja dan tidak berbeda dengan yang heteroseksual.”

Tom Morello jadi salah satu model saat saya membayangkan Jakob dewasa. Juga John Mayer (dikurang-kurangin serial dater-nya) dan Ezra Koenig dari Vampire Weekend (saya suka cowok-cowok nerd). Dan kali ini, saat melihat sosok Baskara, saya menemukan model lain. Waktu dia melakukan respons cepat dan memberikan alternatif solusi atas insiden kekerasan seksual dalam konser Hindia, kekaguman saya meningkat. 

Baca juga: Menghadapi Skena Musik Penuh Ujaran Seksis

Menari dengan depresi

Rabu (4/12) sore, saya dan Elam bersiap menonton konser Perayaan Bayangan, yang menyertai peluncuran album perdana Hindia, Menari dengan Bayangan.

“Penggemar Hindia itu ‘kan anak depresi, Kak,” kata Elam.

“Gue apa dong, tante depresi?”

Memang kelihatannya saya termasuk yang tertua di antara penonton konser. Tapi bukan itu yang bikin saya gelisah waktu masuk Studio Palem, Kemang. Melihat semua penonton harus berdiri, dan karena tiket terjual habis sehingga ruangan akan cukup padat, saya takut kemunculan kembali serangan panik. Serangan yang membuat saya keluar bergegas dengan cucuran keringat dan air mata di sebuah basement bar, dan sempat muncul saat berada di terowongan bawah tanah di sebuah tempat wisata.

Untung ada merchandise kipas yang sangat berguna saat agak sesak.

Konser dibuka dengan penampilan Aldrian Risjad, yang musiknya mengingatkan saya pada The White Stripes dan band-band alternatif 90-an dan awal 2000-an. Di lagu kesekian, dia bercerita bagaimana saat kuliah, dia mendapat teori tentang seksualitas yang cair.

Foto oleh Elma Adisya

 

“Tadinya saya tidak mengamini teori itu. Tapi waktu lihat musisi yang satu ini, wow, mungkin saya ada dalam spektrum itu,” ujarnya sebelum menyanyikan lagu “Kiwi dari Harry Styles.  

Elam, si Kentang queer, mengacungkan tinju ke udara dan berteriak senang, “Yasss, nonbinary!”

Ada jeda sekitar 45 menit sebelum Hindia muncul. Di panggung ada layar hitam yang memberitahukan bahwa seseorang bernama Denisa akan mengisahkan ceritanya lewat teks dan audio. Kemudian ada tulisan besar “TRIGGER WARNING”. Waduh, pikir saya. Peringatan pemicu dalam tulisan bisa membuat saya berhenti membaca suatu artikel, tapi di tengah konser? Saya mulai melirik pintu keluar.

Denisa mengisahkan pergulatannya dengan depresi dan percobaan bunuh diri dalam voice over yang muncul dalam awal tiap babak. Konser ini dibagi dalam empat bagian, masing-masing berjudul “Mati Sendiri-Sendiri”, “Bertahan Hidup”, “Jangkar”, dan “Kelahiran Kedua.”

Saya sudah pasrah dengan situasi konser di negara ini, yang penontonnya suka terlalu keras bernyanyi sepanjang pertunjukan dan menenggelamkan suara penyanyinya. Plus pada kebanyakan mengambil foto dan video. Saya menikmati saja lagu demi lagu mengalir, bergoyang, dan bertepuk tangan.

Perayaan Bayangan adalah sebuah pertunjukan dengan nilai produksi yang solid, dengan tata panggung yang menarik. Banyak bintang tamu bermunculan (yang saya tahu namanya dari jeritan Elam) dari The Adams sampai Kunto Aji dan Sal Priadi. Sangat menyenangkan dan menghibur, mengobati kekecewaan tidak bisa melihat konser U2 (kata kunci: nihil m-BCA), tapi juga lebih dari itu.

Mudah-mudahan Baskara tidak berubah jadi ngehe. Kalau iya, saya mesti usaha lagi mencari tokoh laki-laki panutan buat Jakob. Dan kasihan Elam, harus merevisi tatonya.

Foto pembuka diambil dari @wordfangs.



#waveforequality


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *