Dear BEM SI, Jangan Ngaku Aktivis Kalau Masih Diskriminatif ke LGBT
Saya sedang berada di sebuah ruangan berpendingin kala itu. Suhunya kira-kira 18 derajat celcius. Namun badan saya rasanya gerah tak karuan.
Bukan sebab pendingin ruangannya rusak, melainkan karena saya membaca tuntutan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di aksi “Indonesia (C)emas 2025” di Patung Kuda, Jakarta Pusat (28/7).
Ada sebelas tuntutan yang disampaikan oleh BEM SI, mengutip dari laman Instagram resmi mereka. Di antaranya menolak revisi undang-undang bermasalah, menuntut pencabutan UU TNI, sampai mendesak pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Beberapa tuntutan memang menyampaikan keresahan masyarakat akhir-akhir ini akibat ulah pemerintah yang bikin emosi naik sampai leher. Namun, salah satu tuntutan BEM SI juga enggak kalah bikin darah tinggi.
Di tuntutan nomor sembilan BEM SI menyampaikan seperti ini: “Menolak segala bentuk promosi perilaku LGBT di ruang publik, dan meminta pemerintah segera merumuskan regulasi serta sanksi hukum tegas yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa”.
Ketika membaca itu, saya kaget bercampur marah. Sebagai mahasiswa saya kecewa, gerakan yang kerap mengibarkan jargon pembela rakyat dan pejuang keadilan, ternyata ikut menyuarakan tuntutan yang justru melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM).
Menurut saya, ironis ketika mereka lantang menolak kebijakan represif pemerintah, tapi di saat yang sama diskriminatif ke kelompok rentan. Inilah yang membuat saya bertanya-tanya: Kalau benar ingin membela HAM, mengapa ada pengecualian?
Baca juga: Gerakan Mahasiswa Kental Maskulinitas
Bela HAM Jangan Tebang Pilih
Tuntutan BEM SI yang menolak eksistensi kelompok ragam gender dan seksualitas sangat diskriminatif sekaligus mendorong kian maraknya pelanggaran HAM terhadap kelompok rentan.
Sebagai aktivis, seharusnya mereka sudah familier dengan prinsip bahwa HAM bersifat universal. Ia tidak mengenal syarat agama, budaya, atau gender dan seksualitas sekali pun. HAM melekat pada siapa pun tak terkecuali LGBT.
BEM SI perlu membaca ulang Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menjamin hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif. Serta Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) yang menyatakan setiap orang berhak atas pemenuhan HAM.
Sifat universal HAM juga ditegaskan dalam Prinsip Yogyakarta—pedoman penerapan HAM untuk kelompok minoritas gender dan seksualitas. Prinsip ini menekankan identitas gender dan seksualitas apa pun tidak mengurangi hak seseorang untuk diakui dan dilindungi. Negara di saat bersamaan, wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak tersebut.
Namun, dalam tuntutannya, BEM SI justru malah menuntut negara untuk merepresi kelompok minoritas gender dan seksualitas. Padahal, segala produk hukum seharusnya selaras dengan prinsip HAM, bukan malah jadi sarana mengukuhkan diskriminasi.
Tuntutan itu bukan hanya enggak selaras sama prinsip HAM, tapi juga dengan studi-studi ilmiah terdahulu. Pernyataan kalau LGBT tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa sudah lama dibantah. Faktanya, ragam gender dan seksualitas ada di banyak budaya di Indonesia. Misalnya, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mengenal lima kategori gender: bura’ne (laki-laki), makunrai (perempuan), calabai (pria yang mengekspresikan diri seperti perempuan), calalai (perempuan yang mengekspresikan diri seperti laki-laki), dan bissu (tokoh spiritual yang menggabungkan unsur maskulin dan feminin).
Sebagai kelompok terdidik yang terbiasa mengkritik pemerintah dengan data dan analisis, mahasiswa seharusnya menjadikan fakta ilmiah sebagai landasan sikap. Bukan justru mengesampingkannya dan mempertahankan pandangan yang diskriminatif atas nama moral agama dan budaya.
Baca juga: Mahasiswa Jangan Terjebak Politik Homofobia, Harus Perjuangkan Keadilan Gender
Cerminan Maskulinitas Mentok di Gerakan Mahasiswa
Lahirnya tuntutan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas enggak terlepas dari politik homofobia yang masih mengakar di gerakan mahasiswa. Menukil tulisan Tom Boellstorff (2004), politik homofobia adalah logika budaya yang menghubungkan kehadiran kelompok ragam gender dan seksualitas di ruang publik dengan sebuah ancaman terhadap norma maskulinitas dan masa depan bangsa.
Politik homofobia sudah lama ada di Indonesia. Bahkan pernah kita dengar langsung dari para pejabat negara. Misalnya pernyataan Muhammad Nasir, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi era Joko Widodo yang menyebut LGBT sebagai perusak moral bangsa, dan melarang LGBT masuk ke kampus-kampus di Indonesia. Atau pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat, yang menyebut LGBT sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025.
Aktivisme mahasiswa yang seharusnya menjadi ruang perlawanan terhadap ketidakadilan malah ikut mewarisi pola pikir tersebut–menempatkan heteronormatif sebagai standar. Kasus BEM SI bukan yang pertama, beberapa tahun lalu BEM KM IPB mencopot salah satu pengurusnya setelah ia mengunggah penolakan terhadap diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas gender dan seksualitas di media sosial pribadinya bertepatan dengan Pride Month.
Pihak BEM menilai unggahan tersebut melanggar Peraturan Rektor IPB tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus serta memicu kegaduhan dan ketidakstabilan di media sosial.
Pola pikir seperti ini disebut oleh R. W. Connell (2005) sebagai bentuk maskulinitas hegemonik. Mengutip Drianus, Connell menyebut maskulinitas hegemonik sebagai seperangkat praktik dan norma yang meneguhkan dominasi laki-laki cishetero sebagai standar “ideal” dalam masyarakat, sambil menempatkan perempuan dan kelompok non-hetero di posisi subordinat.
Dalam konteks gerakan mahasiswa, maskulinitas hegemonik membentuk lanskap organisasi dan politik mereka: Siapa yang dianggap layak bersuara, isu apa yang dianggap sah untuk diperjuangkan, dan siapa yang dipandang sebagai ancaman terhadap “moral” dan “persatuan” gerakan.
Pewarisan nilai maskulinitas hegemonik ini membuat gerakan mahasiswa berada dalam kontradiksi. Mereka bisa lantang melawan represi negara, tapi di saat yang sama mereproduksi represi terhadap kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan standar gender dan seksualitas dominan.
Baca juga: Aktivisme Mahasiswa Dekade Terakhir: Golput, Anti-Politik Praktis, Peka Isu HAM
Jangan Melawan Represi Sambil Mereproduksinya
Jika BEM SI ingin benar-benar konsisten menjadi ruang perlawanan dan perubahan, maka harus berani membuka pintu selebar-lebarnya bagi keragaman identitas, tanpa terkecuali.
Melawan ketidakadilan enggak bisa setengah hati. Apalagi menjadikan kelompok tertentu menjadi sasaran diskriminasi.
Di saat-saat seperti hari ini, ketika negara tak menunjukkan keberpihakan kepada warganya, yang dibutuhkan adalah persatuan untuk bersama-sama memukul ke atas. Bukan konflik horizontal yang hanya akan menguras energi dan melemahkan solidaritas.
Gerakan sipil yang sejati berarti memperjuangkan hak semua tanpa terkecuali. Tanpa inklusivitas, gerakan yang diklaim membela keadilan justru bisa berubah menjadi alat reproduksi ketidakadilan itu sendiri.
















