Lifestyle

Hormati Orang Tuamu Tapi Bela Dirimu Sendiri

Kita diajarkan untuk hormat dan patuh pada orang tua. Tapi bagaimana jika orang tua tidak selalu tahu yang terbaik untuk kita?

Avatar
  • December 17, 2020
  • 6 min read
  • 559 Views
Hormati Orang Tuamu Tapi Bela Dirimu Sendiri

Lahir dan tumbuh di negeri ini, saya dibesarkan dengan nilai-nilai Indonesia yang tertanam jauh dalam diri saya. Ada dua nilai yang ditekankan berulang kali karena dirasa penting yaitu menghormati orang yang lebih tua dan mematuhi orang tua. “Mematuhi” sendiri berarti tidak pernah mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka.

Dua hal itu adalah nilai-nilai yang luhur meski bukan yang terbaik menurut saya pribadi. Nyatanya ada beberapa kekurangan dalam nilai-nilai ini, dan meskipun sebagian orang Indonesia mungkin tidak setuju dengan saya, apa yang akan saya katakan adalah sesuatu yang terlalu sering saya lihat sampai pada titik hal ini dinormalisasi.

 

 

Saya sangat percaya bahwa kita harus menghormati orang tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, atau posisi mereka. Ya, memang benar kita harus menghormati orang yang lebih tua dari kita, tapi bagaimana dengan orang yang lebih muda? Masalah yang timbul nilai tersebut adalah ini membuat orang percaya bahwa orang yang lebih muda tidak pantas untuk dihormati sebagaimana orang yang lebih tua.

Sama halnya dengan orang yang memiliki kekuasaan. Suatu kali saya melihat seorang kolega berpangkat tinggi di kantor saya memperlakukan seorang petugas kebersihan dengan angkuh, tetapi ketika kolega saya itu menghadapi bosnya, dia menjadi ramah dan rendah hati.

Wajar jika kita melihat seseorang yang tingkah lakunya sangat berlawanan bergantung pada status orang yang dihadapinya, sebenarnya mereka tidak pantas untuk dihormati. Ada kutipan dari orang bijak, “Jika kita ingin tahu seperti apa sebenarnya seseorang itu, perhatikan baik-baik bagaimana dia memperlakukan bawahannya, bukan orang yang sederajat dengannya.” Kata-kata itu merangkum pendapat saya tentang masalah ini.

Cara Menghormati Orang Tua

Masyarakat mengajari kita bahwa cara menghormati orang tua berarti dengan mematuhinya, tetapi menurut saya kedua hal ini sepenuhnya eksklusif. Saya mengambil contoh dari hubungan saya dengan orang tua saya. Dosa orang tua terhadap anak biasa umum terjadi adalah tidak menghargai keinginan anak.

Pada saat-saat terbaik dalam hidup, kami bisa sangat rukun, tetapi berulang kali konflik atau gesekan di antara kami terjadi sehingga situasi terasa tidak nyaman. Ada beberapa hal yang kami pertengkarkan, dan ketika suatu hal menjadi tidak terkendali, saya akan bersikap keras kepala layaknya Ayah, suatu hal yang sayangnya saya warisi darinya. Tapi ada perbedaan besar di antara kami berdua: Saya sangat terbuka terhadap pendapat yang bertentangan dengan pendapat saya, sementara Ayah saya sayangnya tidak demikian.

Baca juga: Jerat Orang Tua Toksik dan Sulitnya Anak Menentukan Nasib Sendiri

Waktu kecil, saya harus bertahan dengan sikapnya ini. Saya terbiasa tidak mengutarakan pendapat saya dan hanya menyetujui apa yang dia inginkan. Tetapi ketika saya kuliah, saya menjadi lebih berani setelah saya mengecap kebebasan baru yang saya dapatkan setelah merantau jauh dari rumah.  

Pada periode itulah kami bertengkar hebat untuk pertama kalinya dalam hubungan kami sebagai ayah dan anak perempuan. Rumah yang dia pilihkan untuk saya (ya, dialah yang memutuskan di mana saya harus tinggal) menyulitkan saya karena jam malam yang terlalu dini dan jaraknya yang sangat jauh dari kampus saya.

Saya menyampaikan semua alasan ini kepada Ayah dengan perilaku yang menghormati orang tua. Saya mencoba membujuknya untuk mengizinkan saya pindah ke tempat baru yang dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan saya dengan lebih baik, tetapi dia tidak mengubrisnya sama sekali. Dia justru membungkam saya, bahkan tidak mau membiarkan saya menjelaskan lebih jauh mengapa saya harus pindah.

Saya menghabiskan waktu berbulan-bulan mencoba meyakinkan dia dengan sabar, dan pada akhirnya saya menyerah. Rasanya mustahil untuk dapat berargumen secara sehat dengan dirinya. Tidak ketika Ayah selalu meneriaki saya, memotong apa pun yang saya katakan, dan membuat saya frustrasi hingga menangis.

Efek Buruk Orang Tua Ikut Campur

Saya tidak berbicara dengan Ayah itu, saya kemudian tidak berbicara dengannya selama beberapa bulan setelah kejadian itu, sampai akhirnya Ayah memberi saya lampu hijau untuk pindah.

Baru-baru ini, pertengkaran antara saya dan Ayah terjadi lagi, tetapi dalam kasus ini, pertengkaran kami jauh lebih besar dan menyangkut hal yang lebih pribadi. Suatu malam, pacar saya dan saya memberi tahu orang tua saya tentang rencana kami untuk menikah. Ayah tertawa dan menyuruh kami menunggu satu tahun lagi, mengatakan kami belum siap untuk hal seperti itu. Kami memberinya alasan dan mencoba meyakinkannya, tetapi dia tidak bergeming.

Saya pun sangat marah. Ayah tidak hanya meremehkan pacar saya, tetapi dia juga tidak punya hak apa pun untuk memutuskan apa yang harus kami lakukan. Menikah adalah keputusan pribadi yang saya dan pacar saya ambil, tetapi dia sebagai orang tua ikut campur dan merusak momen yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi kami berdua.

Baca juga: Tak Semua Orang Tua Mulia: Relasi Anak-Anak dengan Orang Tua Toksik

Saya sepenuhnya sadar dia melakukannya dengan niat yang baik, tetapi terkadang, dia tidak bisa (dan masih saja tidak bisa) melihat gambaran besarnya. Dalam pertengkaran kami soal rumah misalnya, dia gagal melihat betapa saya melewatkan begitu banyak hal karena tempat tinggal yang jauh dan tidak ada fleksibilitas jam malam. Akibatnya, saya mengalami tahun terburuk di kampus.

Dalam pertengkaran kami soal pernikahan, dia tidak dapat melihat bagaimana pacar saya dan saya telah merencanakan hal ini dengan matang, bahwa kami merasa sangat yakin tentang hal ini, dan seberapa besar beban dan penderitaan yang dia jatuhkan kepada kami. Ayah tidak memberikan ruang untuk penjelasan, diskusi, dan kompromi.

Sikap Ayah yang demikianlah yang sering saya lihat pada banyak orang tua di Indonesia. Tidak peduli berapa usia kita, bagaimana kita tumbuh, dan menjadi dewasa. Bagi mereka, selama mereka masih hidup, mereka berhak untuk turut andil dalam setiap masalah yang kita hadapi karena mereka berpikir, orang tua tahu yang terbaik bagi anak mereka, dan ini merupakan salah satu dosa orang tua terhadap anak.

Kenyataannya, tidak selalu seperti itu. Faktanya, sering kali orang tua tidak tahu yang terbaik bagi anak mereka sendiri. Tetapi, nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri kita kerap membuat kita terus merasa bersalah karena mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka, meskipun itu untuk kebahagiaan kita sendiri.

Saya dulu seperti itu, tapi sekarang tidak lagi.

Saya telah menyadari bahwa yang terpenting adalah kebahagiaan saya sendiri, dan mengejar kebahagiaan diri sendiri bukanlah hal yang egois. Idealnya, saya tidak harus melawan orang tua saya untuk mencapai kebahagiaan saya. Tetapi terkadang saya harus melakukannya dan saya telah belajar bahwa ini tidak apa-apa. Berdiri tegak dan berargumen dengan mereka tidak berarti saya anak yang durhaka.

Saya dapat membayangkan bahwa saya mungkin dinilai oleh masyarakat sebagai anak yang durhaka karena tidak mematuhi mereka, tetapi yang paling penting bagi saya adalah saya sama sekali tidak berniat untuk melukai mereka. Saya tidak melakukan ini untuk menyakiti mereka. Saya hanya mengejar apa yang menurut saya tepat untuk saya, karena saya yakin saya mengenal diri saya sendiri lebih baik dari siapa pun, bahkan orang tua saya sendiri.

Dan tidak ada yang salah dengan melakukan hal-hal dengan cara saya sendiri untuk menjadi bahagia.

Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Inggris oleh Jasmine Floretta V. D.


Avatar
About Author

Dixie

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *