Menilik ‘Child Grooming’ di Indonesia: Belajar dari Kasus Anak Nikita Mirzani
Kasus ‘child grooming’ kembali jadi perhatian setelah Vadel Badjideh jadi tersangka dalam kasus yang ia lakukan terhadap anak Nikita Mirzani. Proses hukumnya bukan hal mudah.

Laporan Nikita Mirzani terhadap VA (20) akhirnya membuahkan hasil. VA, yang merupakan mantan pacar anaknya, LM (17), telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jakarta Selatan pada 23 Januari lalu. Melansir Antara, penetapan ini dilakukan lantaran VA diduga melakukan perkosaan dan juga pemaksaan aborsi terhadap LM.
Ketua Unit Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan, Citra Ayu bilang, terdapat bujuk rayu dan manipulasi yang VA lakukan terhadap korban. “Selama menjalani hubungan pacaran, atas bujuk rayu, tersangka menjelaskan akan bertanggung jawab serta menikahi korban,” kata Citra pada Antara.
Perbuatan yang VA lakukan terhadap LM sendiri tergolong dalam tindakan child grooming. Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Anna Surti Artianti, pernah menjelaskan hal ini kepada Magdalene pada 2021 lalu. Kata Anna, child grooming adalah upaya orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan seorang anak atau remaja, untuk memanipulasi, mengeksploitasi, bahkan melecehkan korban. Tindakan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan bisa dilakukan oleh siapa saja.
Di Indonesia sendiri, kejahatan jenis ini dapat dipidana dengan beberapa produk hukum, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76d UU 35/2014 dan/atau 77 A juncto 45 A dan/atau 421 KUHP juncto Pasal 60 UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan/atau Pasal 346 KUHP juncto Pasal 81.
Namun, sayangnya, kesediaan produk hukum ini nyatanya tidak selalu berbuah manis pada kasus grooming anak lainnya. Membicarakan hal ini, saya pun berdiskusi dengan Siti Aminah Tardi, Advokat dan Komisioner Komisi Nasional Perempuan, tentang kelumit yang ada dalam upaya memenjarakan predator anak.
Baca Juga: Apa itu ‘Child Grooming’, Semua Fakta yang Harus Kamu Tahu
Child Grooming Adalah Tindak Pidana
Sebelum membahas sulitnya menumpas predator anak, Siti menjelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, child grooming mutlak masuk ke dalam salah satu tindak pidana. Ia menjelaskan bahwa hal ini tertuang dalam kebijakan yang dirujuk dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, yang melindungi anak dari beragam bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, penelantaran, sampai perlakuan salah.
Siti bilang, sesuai dengan prinsip Undang-Undang Perlindungan Anak, child grooming adalah kejahatan. Sekalipun sang anak terlihat memberi persetujuan lantaran mau menjalin hubungan dengan orang dewasa, hal ini tetap tidak menjadi pembenaran atas tindakan tersebut.
“Prinsip UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa aktivitas seksual dengan anak oleh orang dewasa adalah kejahatan, sekalipun anak menyatakan persetujuan. Persetujuan anak dinilai sebagai incompetent consent. Kerentanan anak karena usia menjadikan orang dewasalah yang seharusnya bertanggung jawab untuk mencegah dan melindungi anak dari kekerasan dan perlakuan salah,” kata Siti.
Pada kasus VA, Siti menambahkan bahwa jika merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, LM yang masih di bawah umur sudah semestinya wajib dilindungi oleh VA lantaran ia sudah termasuk ke individu dewasa. Namun, alih-alih membantu LM, VA justru memanipulasi dan mengeksploitasi LM yang pada saat itu ada di dalam situasi tidak stabil.
“Pada kasus ini, LM yang masih berusia anak wajib dilindungi oleh VA karena ia sudah dewasa. Misalkan dengan berkomunikasi dgn keluarga LM, atau memfasilitasi LM mengakses layanan perlindungan anak, misalkan ke KPAI. Tapi VM tidak melakukan hal tersebut. Ia mengambil keuntungan dari LM yang sedang dalam kondisi berkonflik dengan ibunya dan memaksa aborsi,” jelas Siti.
Baca Juga: Facebook, Telegram Sarang Predator Seksual, Perempuan dan Anak-anak Makin Rentan
Jalan Terjal Memenjarakan Predator Anak
Siti bilang, tidak mudah memenjarakan pelaku kasus child grooming. Salah satu faktornya: Kesulitan menetapkan seseorang sebagai tersangka, serta proses hukum yang biasanya panjang.
Menurutnya, setiap kasus grooming anak punya tantangan masing-masing. Pada konteks kasus LM dan VA, kondisi kesiapan korban jadi salah satu hal krusial dalam penyelesaian kasusnya.
“Kalau kasus LM dan VA, menurutku, tantangannya dari korban yang belum siap dan memahami bahwa aktivitas kekerasan seksual dengan dirinya oleh orang dewasa adalah kejahatan dan berdampak pada dirinya. Dan keterangan korban yang belum siap ini akan menyebabkan informasi-informasi yang didapatkan belum utuh,” jelas Siti.
Selain itu, Siti menambahkan bahwa kurangnya personil di kepolisian jadi persoalan lain yang kerap menghambat penyelesaian kasus grooming anak. Sebelumnya, bagian yang menangani perlindungan perempuan dan anak (PPA) masih berstatus unit di kepolisian, sehingga pelayanannya terbatas dan tidak menjangkau daerah dengan luas. Baru setelah Desember 2024, Unit PPA berubah menjadi Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO), dengan cakupan penyelesaian kasus yang lebih luas.
“Yang jadi hambatan lain, sejak dulu, PPA ini levelnya unit, sehingga dari jumlah personil, anggaran, dan posisinya tidak kuat untuk menangani banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jadi ini lebih kepada perspektif, jumlah SDM (sumber daya manusia), juga biaya penanganan kasusnya,” imbuh Siti.
Penanganan yang lama karena kekurangan sumber daya aparat penegak hukum ini tentu berimbas juga pada keselamatan korban anak. Karena sistem yang masih perlu ditingkatkan, kasus-kasus grooming, khususnya yang ada di tengah korban keluarga miskin, akan lebih sulit mendapat keadilan, atau bahkan yang terparah, mendapat intimidasi dari pelaku.
“Di sisi lain korban dan keluarganya, terutama yang miskin, karena kasusnya tidak mendapatkan perhatian publik, dan pelaku memiliki kuasa atas korban dan keluarganya, panjangnya waktu penetapan seseorang untuk menjadi tersangka ini akan menimbulkan kekhawatiran terjadinya keberulangan, intimidasi untuk mencabut laporan, ketidakpastian dan kelelahan untuk berproses,” kata Siti.
Selain itu, ancaman perkawinan anak juga masih menghantui korban sampai saat ini. Pada beberapa kasus, ketidaksiapan aparat penegak hukum dan pemahaman orang tua yang kurang baik terkait hukum child grooming, justru sering berakhir pada perkawinan anak.
“Ketidakpahaman orang tua juga sangat memengaruhi besarnya kejahatan yang justru terjadi pada anak. Ketentuan UU Perlindungan Anak dan UU TPKS yang belum dipahami secara baik, justru dapat mendorong perkawinan anak, yang tidak menyelesaikan persoalan,” jelas Siti.
Baca Juga: Menyoal Perkawinan Anak di Pesantren
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mempercepat proses penangkapan predator anak, Siti mengungkapkan bahwa diperlukan komitmen yang besar dari aparat penegak hukum. Perubahan Unit PPA ke Direktorat Tindak Pidana PPA-PPO saja tidak cukup. Perlu adanya penambahan personil polisi wanita (polwan) secara masif, perbaikan sistem pendampingan, sampai pemberian pelatihan perspektif gender dan anak yang memadai.
“Kami berharap pembentukan Direktorat PPA dan PPO sampai tingkat Polres segera terbentuk. Juga rencana rekrutmen Polwan untuk mengisi PPA dan PPO di seluruh Indonesia. Dengan penambahan personil yang memiliki perspektif gender dan anak, juga terintegrasi layanan yang memadai, korban tidak akan mengalami delayed in justice,” ungkap Siti.
