‘Hypermasculinity’ Aparat dan Trauma Wadon Wadas
Liam ingat langsung membersihkan bekas sepatu boots aparat yang menginjak rumah mereka, mencuci sprei yang dipegang polisi saat meringkus paksa adiknya.
Agenda pembangunan yang masif dan tidak terencana sudah pasti menimbulkan banyak masalah. Salah satunya terjadi dalam proses penyiapan lahan.
Saling klaim antara pemerintah sebagai pemilik agenda pembangunan dan masyarakat lokal penghuni daerah tersebut sering kali terjadi. Tidak jarang, perseteruan saling klaim berujung pada perang terbuka di antara keduanya.
Salah satunya sedang terjadi di Wadas, Jawa Tengah. Kerasnya penolakan warga desa untuk tetap mempertahankan ruang hidup mereka dipandang sebagai pengganggu bagi pemerintah, yang ingin membangun tambang batu andesit di sana.
Walhasil, pemerintah yang sudah terhasut bujuk rayu “uang cipratan” proyek dari kawan-kawan pengusahanya bereaksi terlalu keras. Berkompi-kompi aparat kepolisian diterjunkan ke Desa Wadas. Seakan mereka hendak membasmi segerombolan komplotan separatis kelas kakap.
Baca juga: Melawan Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya: Cerita Perempuan Wadas
Maskulinitas dan Dampak Kekerasannya
“… making war, and especially combat, is incompatible with being pregnant or nursing. Thus when war exists, it is men’s work. To borrow an evolutionary term, masculinity is ‘exapted’ for the functional demands of combat,” ungkap Brian Ferguson dalam Masculinity and War.
Dilihat dari sudut pandang materialisme-kultural, perang atau aktivitas pertempuran fisik merupakan ranah pekerjaan laki-laki. Fisik biologi laki-laki diciptakan dengan kekuatan lebih dari pada perempuan.
Ditambah lagi, perempuan lahir dengan kelengkapan organ reproduksi dan pembagian kerja (division of labor) untuk mengasuh anak, sehingga waktu hidupnya lebih banyak untuk mengurusi hal tersebut.
Dari sisi psikologis, laki-laki juga lebih termotivasi untuk mempertahankan kepentingan kelompok secara patriotik dan melakukan penyerangan kepada pihak lawan ketimbang perempuan.
Budaya bertarung atau kemiliteran laki-laki sudah ada sejak manusia hidup dalam konteks masyarakat tradisional. Meskipun di beberapa kelompok masyarakat awam ditemukan petarung atau militer perempuan, ranah ini tetap menjadi dominasi laki-laki.
Apalagi, laki-laki yang berada di medan pertempuran memang dituntut untuk memiliki tingkat agresivitas yang tinggi. Sayangnya, aktivitas kelaki-lakian yang agresif, seperti dalam peperangan, mendorong terciptanya maskulinitas-berlebih (hypermasculinity).
Pada titik tertentu, maskulinitas-berlebih dalam hubungan struktural antara laki-laki yang di atas dan perempuan di bawahnya bisa memicu kekerasan yang mengarah pada kekerasan berbasis gender.
Hal ini bisa kita lihat dari kasus-kasus eksploitasi seksual oleh militer Jepang di daerah-daerah yang didudukinya. Yuki Tanaka mencatat opresi itu dalam Japan’s Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution During World War Two and the Us Occupation. Kasus lebih spesifik di Indonesia bisa dibaca dalam Transnational and Japanese Activism on Behalf of Indonesian and Dutch Victims of Enforced Military Prostitution During World War II karya Katharine McGregor. Catatan-catatan ini adalah bukti bagaimana militer sebagai salah satu produk hypermasculinity menjadi alat penindasan terhadap perempuan.
Meskipun demikian, fenomena adu maskulinitas laki-laki di medan pertempuran tidak bisa digeneralisasikan berujung pada kekerasan berbasis gender secara langsung. Saya menemukan kasus di mana hypermasculinity ini bisa saja berdampak tidak langsung terhadap perempuan. Ia meninggalkan trauma dan luka yang sembuhnya tak tahu kapan.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Wadon Wadas di Tengah Dera Trauma
Saat mengakhiri kalimat terakhirnya, tiba-tiba Liam memelankan suara. Ia sedang menceritakan agresi polisi ke Wadas beberapa bulan lalu. Suaranya tercekat, “Adik saya ditangkap polisi. Diteken dadanya. Ada juga (temannya) yang diinjak. Polisi masuk ke rumah”.
Perlahan air matanya mengambang dan kemudian jatuh pula setetes demi setetes dari sudut matanya. Saya lihat ia menekan dadanya dengan tangan yang mengepal kuat. Seakan ia sedang menahan sesuatu untuk keluar dari dalam dirinya.
Namun, tampaknya Liam sendiri tidak kuasa untuk menahan emosi. Walau air matanya tak menderas atau keluar kata-kata kasar, raut muka Liam berubah marah. Dari sedih, ia kemudian menggeram, “sakit hati saya,” sambil memeragakan perlakuan kasar polisi pada adiknya.
Liam hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang melihat tindakan represif polisi terhadap warga Wadas dengan mata kepala mereka. Ada yang melihat suaminya, anaknya, adiknya, kakak laki-lakinya, maupun pamannya. Memori kelam itu terekam jelas dalam ingatan mereka.
“Iling aku sampai sekarang,” rautnya masih marah.
Perasaan kalut itu masih hangat di keningnya. Perasaan kalut yang menyergap ketika adiknya dibawa paksa polisi. Setelah mereka pergi, ia ingat langsung membersihkan bekas sepatu boots aparat yang menginjak lantai rumah mereka. Ia juga mencuci sprei yang dipegang polisi saat meringkus paksa adiknya. Ia cuma mau ingatan tindakan kasat polisi bisa terhapus bersamaan dengan kotoran di lantai dan sprei yang dicuci.
Sayangnya, tidak semudah itu.
Ingatan itu belum lekang, dan masih terasa menyakitkan tiap kali muncul atau diceritakan. Saya masih ingat betul tatapan matanya yang penuh emosi dalam obrolan kami selepas buka puasa waktu itu.
Baca juga: Negara ‘Ngadi-ngadi’, Polisi Mengompori, Perempuan Wadas Teguh Melawan
Kata Liam, bukan cuma dia yang merasa begitu. Banyak perempuan lain di desanya juga mengalami hal yang sama. Ada yang menangis tak henti-hentinya. Bahkan ada yang pingsan ketika melihat anaknya diambil paksa oleh polisi tanpa penjelasan.
Fenomena ini tidak bisa sebatas dibaca sebagai dampak psikologis masal pada perempuan, akibat menyaksikan tindakan kekerasan yang terjadi di desanya.
Trauma itu muncul dari teror dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dengan maksud memberi efek ketakutan pada warga sipil, terutama perempuan—yang berusaha mempertahankan ruang hidupnya.
Kawanan penertib berseragam coklat yang menjadi perwakilan dari pemerintah menggunakan maskulinitas seragamnya yang dibiayai pajak untuk melakukan kekerasan. Mereka melakukan kekerasan pada kelompok-laki-laki sipil dengan maksud memberi efek jera agar tidak melawan kehendak negara yang ingin mencaplok lahan warga demi pembangunan.
Kelompok perempuan sipil pun dipaksa untuk melihat kejadian-kejadian arogan polisi untuk memberi efek trauma. Tujuannya juga sama agar perempuan takut, sehingga tidak lagi mau melawan agenda negara.
Namun, perempuan Wadas yang bertahan untuk memperjuangkan hak ruang hidupnya sudah terlahir berhati baja. Seberapa pun besarnya tekanan yang datang, mereka tetap bertahan mempertahankan tanahnya.
“Arepmanganopo!” ujar Liam tegas. Ia teringat rayuan tetangga desanya yang berada di pihak pro pembangunan tambangan desit. Baginya, gaji sebagai buruh upahan tidak akan pernah menggantikan kekayaan lingkungan yang bisa didapatnya dari alas.
Maka dari itu, pilihan mereka cuma satu, memperjuangkan lahan yang menjadi hak hidup perempuan Wadas, “Pokok kudu dicabut IPL-nya!”
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.