Gender & Sexuality Issues Opini

#MencatatPengalamanTranspuan: Mau Bagaimana pun Keadaannya, Ia Anakku (3)

Aku mencintainya tanpa syarat. Namun, aku perempuan biasa yang kadang tak kuat saat diberondong banyak stigma.

Avatar
  • October 17, 2024
  • 5 min read
  • 61 Views
#MencatatPengalamanTranspuan: Mau Bagaimana pun Keadaannya, Ia Anakku (3)

Orang-orang mungkin menganggapku istri dan ibu yang gagal. Aku menikah empat kali, tiga di antaranya berakhir dengan perceraian. Aku pernah diselingkuhi, juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Aku terpaksa harus menghidupi anak-anak sendiri.

Perceraian pertamaku terjadi di usia 17 tahun. Saat itu lazim-lazim saja perempuan di usia belasan menikah. Kenyataan yang ternyata tak jauh berbeda hari ini di mana dispensasi perkawinan jadi jalan ninja untuk melegalkan perkawinan anak.

 

 

Menikah di usia sangat belia, membuatku belum benar-benar siap. Aku harus belajar bagaimana menjadi orang tua muda untuk tiga anakku. Saat pernikahan ini kandas sembilan tahun setelahnya, aku pindah ke Kalimantan Timur. Saat itu usiaku 26 tahun.

Di sana aku bertemu dengan lelaki yang secara emosional dan finansial tampak lebih siap. Aku optimis rumah tangga kami bakal lebih baik. Terlebih, suami keduaku cukup cekatan, pengertian, dan ringan tangan mengerjakan tugas-tugas domestik. Pekerjaannya sebagai pengelola kamar dagang perusahaan minyak membuat kebutuhanku terjamin.  

Baca juga: #MencatatPengalamanTranspuan: Ini Dukungan yang Diperlukan Transpuan Saat Transisi (1) 

Suatu ketika, aku mengabarinya soal kehamilanku. Ia tentu saja terlihat senang. Sampai melahirkan pun, ia siaga menjaga di sisi. Anak pertama kami punya suara tangis yang nyaring. Ia berjenis kelamin lelaki. Suamiku menamainya “Essy”. Mirip seperti nama perempuan, pikirku saat itu. Saking sayangnya, suami protektif dan memanjakan Essy. Apa saja keinginannya coba dipenuhi.

Essy kecil adalah pribadi yang kemayu. Ia tak suka memakai sepatu yang kubelikan karena bermotif mobil. Sebaliknya, ia lebih suka sepatu bermotif bunga. Di kemudian hari, ia juga suka memakai selendang dan sampur. Hampir tiap hari Essy memakai banyak bedak tabur di mukanya. Jika tak ditambahi, ia akan menangis. Jadilah mukanya menggemaskan. Essy juga senang mencoba pakaian anak perempuan.

Di usianya yang menginjak dua tahun, ada petir yang menyambar keluarga kami. Suamiku kedapatan berbohong bahwa ia memiliki istri pertama. Istrinya mengancam akan membunuh Essy. Saat kukonfirmasi pada suami, ia mengaku dan memberi jalan keluar: “Kamu kuberi sebagian hartaku tinggalkan anak ini. Biarlah aku dan istri pertamaku yang mengasuh.“

Baca juga: 7 Cara Sederhana Mendukung Komunitas Transgender 

Tentu saja aku marah sekali. Sebagai ibu, aku enggan berpisah dengan Essy. Aku juga tak percaya jika anak kesayanganku dirawat oleh perempuan asing. Akhirnya aku kabur. Kubeli tiket pesawat dan kubawa Essy pulang ke Jawa. Nyatanya sebuah kehidupan yang lebih pahit menanti kami di sana.

Sebagai orang tua tunggal, aku harus bekerja berlipat-lipat lebih keras untuk menghidupi anak-anak. Karena itu, aku mengambil keputusan sulit, meninggalkan Essy pada neneknya. Selama dititipkan di sana, aku kerap mendapat cerita bahwa Essy kerap berpenampilan feminin dengan baju warna-warni dan kosmetik. Aku tak terlalu kaget, karena dari kecil Essy sudah begitu.

Meski demikian, tekanan keluarga, moralitas, dan nilai agama, membuatku memusuhinya. Aku sendiri baru bisa berdamai dengan diri dan bertemu Essy saat usianya 25 tahun.

Prosesku Merangkul Diri dan Identitas Anak

Aku mengalami pergumulan lama soal Essy, anakku. Namun perlahan aku menyadari, bagaimana pun kondisinya, apapun yang terjadi, dia tetaplah anakku. Tugasku sebagai ibu adalah mendoakan dan memastikan dia hidup dengan baik.

Proses berdamai dengan kenyataan ini tentu tak mudah buat ibu sepertiku. Terlebih dari dulu aku terbiasa diajarkan soal gender biner: Lelaki dan perempuan saja. Jika menjadi seseorang yang lain, artinya kamu sedang melawan ajaran agama, menantang masyarakat. Akan tetapi, mendengar bagaimana cerita melela Essy, aku seperti ikut merasakan lukanya. Bagaimana mungkin aku membiarkan anakku terluka?

Baca juga: Transpuan Setelah Kepergian Mira: Dicekam Ketakutan, Diperburuk Pandemi 

Menerima Essy adalah sebuah proses panjang yang terus aku perjuangkan. Namun, melawan berbagai penghakiman, stigma, dan stereotip miring dari orang-orang sekitar juga perjuangan yang tak kalah besarnya.

Karena itu, sebagai orangtua dengan anak transpuan, aku memiliki beberapa tips buat kalian yang sedang mengalami ini:

  • Dengarkan cerita anakmu. Menjadi transpuan di tengah masyarakat patriarkal adalah hal sulit. Setidaknya pastikan ia punya kawan bicara, ruang aman. Rangkul anakmu tanpa harus repot menghakimi.
  • Dukung apa saja pilihan yang dibuat anakmu, selama ia masih bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Setidaknya dengan mendukung pilihan identitas misalnya, ia bisa merasa nyaman menjadi dirinya.  
  • Kita adalah ibunya. Karena itu, jika dia terluka, kita pun ternyata ikut terluka. Jika ada hal buruk yang menimpanya, kita bisa memilih di garda terdepan untuk melindungi keselamatannya.
  • Sebagai orang tua, lebih baik kita juga tak terlalu jauh mencampuri hal-hal yang privat. Jika dia merasa nyaman berbagi cerita, apresiasi. Namun jika tidak, biarkan ini menjadi privasi yang harus kita hargai.
  • Dialog adalah kunci. Jika ada sesuatu yang tidak disetujui, kita akan belajar untuk menerima. Kita utamakan untuk terus berkomunikasi, berdialog dengan anak hingga ada jalan keluar.

Pada akhirnya, apa pun identitas gendernya, Essy tetaplah anakku. Ia sosok yang berhati lembut, pengertian, dan cuma kepadanya aku mampu ceritakan segala keluh kesah. Jika ada tetangga yang mengatai ini itu, aku akan bilang bahwa aku lebih mengenalnya dibanding mereka.

Aku memang takkan bisa menyenangkan semua orang atau memuaskan ekspektasi masyarakat atas kami. Namun satu hal yang selalu aku tanamkan dalam diri: Baik buruknya anakku, dia tetap anakku. Baik buruknya diriku, aku tetap ibunya.

Jessica Ayudya Lesmana adalah penulis buku Lubang Kelam(in) (2023) yang membicarakan isu politik tubuh. Suka dengan literasi, membaca, dan menulis.   

Magdalene meluncurkan series artikel #MencatatPengalamanTranspuan yang ditulis oleh kawan transpuan. Tujuannya untuk mengurai hambatan hingga kisah pemberdayaan mereka. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jessica Ayudya Lesmana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *