Ibu Rumah Tangga: Kerentanan ‘Alamiah’ Transmisi HIV
Negara dan masyarakat perlu menafsir ulang makna "perempuan baik" di dalam kehidupan sosial.
Pada 2016, angka kumulatif perempuan Indonesia dengan AIDS mencapai 27.458 kasus, menurut data Kementerian Kesehatan. Untuk perempuan dengan HIV, ibu rumah tangga menduduki posisi paling tinggi yakni 12.219 kasus. Tingginya jumlah ibu rumah tangga yang positif HIV memicu berbagai respons dari pejabat maupun pemerintah. Sayangnya, konteks respons ini sering kali keliru.
Koordinator Divisi Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Tangerang, Hady Irawan, mengaku cemas karena transmisi ternyata tidak hanya terjadi pada laki-laki tetapi juga perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Iwa Karniwa, Ketua Harian KPA Jawa Barat bahkan sempat mengeluarkan pernyataan prihatin dan kekhawatirannya atas data ini. Ia khawatir Indonesia akan kehilangan generasi dari rahim-rahim ibu rumah tangga yang positif HIV. Sementara itu, ada berita bahwa agar transmisi HIV tidak terjadi ke anak-anak mereka, banyak ibu rumah tangga yang positif HIV yang harus melakukan aborsi dan sterilisasi paksa.
Mengapa ibu rumah tangga yang positif HIV mencemaskan berbagai pihak?
Politik patriarkal merancang pria memiliki fungsi otoritatif dan regulatif terhadap perempuan yang diwujudkan dalam bentuk domestifikasi/penjinakan. Perempuan kemudian didefinisikan perannya sebagai ibu dan istri yang tugasnya adalah mengabdi dan hanya mengurus urusan domestik saja. Status yang seperti ini memberikan label kepada ibu rumah tangga sebagai perempuan baik, penurut, pasif, submisif dan naif dalam hal seks.
Peran ibu dimaknai hanya sebagai pengasuh dan penjaga, tameng anggota keluarga dan anak dari perlakuan buruk. Ketika status HIV diasosiasikan dengan perilaku amoral, maka dengan status HIV-nya seorang ibu rumah tangga harus menyandang stigma ganda dari masyarakat. Ibu rumah tangga yang positif HIV dianggap sebagai pendosa dan gagal bersikap sesuai dengan “kodrat”-nya. Sehingga menjadi sesuatu yang aneh dan mencemaskan ketika ibu rumah tangga jadi kelompok yang paling tinggi terkena HIV/AIDS.
Melalui penelusuran lebih jauh, secara biologis, ekonomi, sosial, dan kultural, perempuan ibu rumah tangga memang rentan terkena HIV. Kerentanan transmisi HIV secara biologis mencakup keberadaan selaput vaginal yang mudah luka. Peluang transmisinya jadi lebih besar ketika perempuan mengalami kekerasan seksual. Permukaan vagina yang terbuka dan terluka memungkinkan terjadinya titik masuk virus. Selain itu, jaringan vagina lebih mudah menyerap cairan, termasuk sperma yang memilik konsentrasi HIV lebih tinggi. Karakteristik ini memungkinkan cairan tersebut berada di vagina berjam-jam setelah berhubungan seksual.
Sementara itu, kerentanan transmisi HIV terjadi berkali-kali lipat pada ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, karena mereka mudah dijadikan objek perdagangan manusia, menjadi pekerja migran, atau dipaksa melakukan tindak pidana. Situasi-situasi inilah yang menghadapkan perempuan ibu rumah tangga rentan mengalami kekerasan seksual atau berhubungan seksual secara tidak aman. Temuan dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan pekerja migran mempunyai fase kerentanan mengalami kekerasan seksual mulai dari saat pemberangkatan, kedatangan, hingga reintegrasi. Kekerasan seksual terhadap ibu rumah tangga yang menjadi pekerja migran dilakukan oleh oknum petugas Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), majikan, petugas keamanan, dan sopir kendaraan umum.
Di satu sisi, tuntunan sosial dan budaya membuat ibu rumah tangga berada pada posisi tawar menawar yang tidak setara dengan pasangannya dan secara psikologis memiliki kepercayaan atau ketergantungan yang besar terhadap pasangan/suaminya yang enggan menggunakan kondom atau alat kontrasepsi saat berhubungan seksual. Selain itu, anggapan bahwa perempuan baik adalah mereka yang pasif dalam urusan seksualitas, menghambat perempuan mengakses informasi kesehatan seksual dan reproduksi.
Perempuan yang mencari informasi kesehatan seksual dan reproduksi akan cenderung dicap aktif secara seksual dan mendapat reputasi buruk. Dengan kata lain, budaya masyarakat tertentu dapat melanggengkan dikotomi feminitas dan maskulinitas yang mana membuat perempuan enggan untuk mendiskusikan masalah seks seperti waktu dan cara yang aman berhubungan seksual, bagaimana menggunakan alat kontrasepsi yang aman, serta informasi terkait layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang lainnya.
Sterilisasi paksa pada perempuan jelas bukan jawaban yang dapat mengeluarkan kita dari masalah HIV/AIDS, karena itu tindakan salah kaprah yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas otoritas tubuh, hak atas seksual dan reproduksi, dan hak atas kesehatan. Permasalahan HIV dari perspektif gender yang berkelit-kelindan dengan banyak aspek dan faktor membutuhkan solusi yang komprehensif dan bersifat jangka panjang.
Persoalan yang muncul tidak tepat apabila disasar dengan kebijakan-kebijakan yang reaksioner. Sudah saatnya negara melakukan rekonstruksi struktural dan sistemis terkait peran perempuan dengan cara menyediakan fasilitas pendidikan dan ruang diskusi seks yang aman dan sehat bagi perempuan; menghapus kekerasan seksual terhadap perempuan; mempromosikan kesetaraan gender; memperbaiki tingkat pendidikan dan ekonomi perempuan; serta memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan terkait pengobatan HIV. Selain itu, negara dan masyarakat perlu menafsir ulang makna “perempuan baik” di dalam kehidupan sosial. Jangan sampai predikat “baik” yang diberikan masyarakat pada perempuan/ibu rumah tangga justru mengantarkan mereka pada situasi yang lebih buruk, yang membuat mereka lebih rentan terhadap transmisi HIV.
Astried Permata adalah Communication Officer LBH Masyarakat, di mana dia mengelola laman dan kanal media sosial LBH Masyarakat, serta mengembangkan sejumlah insiatif kampanye hak asasi manusia yang menjadi fokus kerja LBH Masyarakat. Dia meraih gelar sarjana di ilmu komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.