Ibu Tunggal Menikah Lagi, untuk Siapa?
Buat saya, anak-anak korban perceraian bisa jadi tidak memerlukan laki-laki baru dalam hidup mereka. Salah besar jika tanpa ayah, anak-anak akan otomatis tumbuh bermasalah.
Dalam komunitas ibu tunggal kami, beberapa kali muncul unggahan anggota yang ingin menikah lagi dengan berbagai alasan. Ada yang bilang menikah karena kesepian, anak sudah besar dan butuh teman berbagi, kesulitan memenuhi kebutuhan finansial, atau ingin anaknya mendapatkan sosok ayah. Untuk alasan yang terakhir ini cukup menggelitik, setidaknya buat saya.
Dalam pemahaman sebagian masyarakat, sosok ayah memang selalu terpaku pada jenis kelamin laki-laki. Sejak lahir kita didoktrin ayah adalah lelaki, ayah adalah pemimpin keluarga, ayah adalah semua definisi dari sosok yang berotot, kekar, kuat, maskulin. Definisi demikian membuat makna ayah jadi kabur bahkan hilang total dalam keluarga yang penuh dengan tindakan kekerasan.
Padahal siapa pun bisa jadi ayah, lepas dari jenis kelaminnya yang berbeda. Karena itulah perempuan, terutama ibu tunggal yang ingin menghadirkan sosok ayah untuk anak-anaknya harus memahami konsep, ayah adalah semua definisi soal mencintai, melindungi, dan menghormati keluarga. Sifat-sifat seperti ini tak ada bedanya dengan ibu, sehingga selama ia memenuhi definisi itu, sudah cukup untuk anak-anaknya.
Lebih lanjut, memaksakan sosok ayah dengan menghadirkan laki-laki baru, justru bisa berimbas buruk. Kita tak pernah tahu, apakah lelaki yang dipilih itu betul-betul menyayangi si anak, apakah akan ada perbedaan perilaku jika nanti akan lahir anak dari pernikahan baru, apakah laki-laki yang dihadirkan ini mampu mengisi kekosongan sosok sang ayah, atau yang terburuk justru menghadirkan bibit-bibit kekerasan baru?
Anak-anak sebetulnya tidak memerlukan laki-laki baru dalam hidup mereka dan salah besar jika tanpa ayah, anak-anak akan otomatis tumbuh bermasalah. Kembali lagi, sosok ayah adalah entitas jiwa yang selaras, bukan sekadar fisik seorang laki-laki saja. Jika laki-laki tersebut hadir tapi entitas jiwanya bukan sebagai orang tua, kemungkinan anak tumbuh menjadi merasa kurang cinta dan kasih sayang tetap terbuka lebar dibandingkan dengan mereka yang selama hidupnya ditemani ibu dengan entitas jiwa sebagai orang tua utuh, hingga anak merasa penuh.
Sangat banyak contoh ibu tunggal yang membesarkan anaknya dengan baik dan bahagia. Sehingga, saat anak ditanya apakah merindukan kehadiran ayah, mereka mungkin bakal menjawab “tidak” karena keluarganya sudah lengkap dengan adanya ibu.
Karena itulah, jika ibu tunggal ingin menikah lagi, tanyakan kepada diri sendiri, saya menikah kembali untuk siapa? Tidak pernah ada yang salah dengan menikah lagi. Yang keliru adalah kalau kita belum selesai dengan diri sendiri dan merasa seorang perempuan wajib bersuami. Jangan lagi pakai alasan basi bahwa kamu menikah demi anak. Toh faktanya jika mau, kamu bisa hadir secara utuh sebagai orang tua yang mencintai dan menyayangi anak.
Jujurlah pada diri sendiri apakah karena tidak mampu lagi bekerja dan berbeban ganda, apakah karena kesepian, jujur pada diri sendiri, jangan gunakan anak sebagai tameng dari alasan yang sesungguhnya. Anak juga akan sangat menderita jika orang baru yang dihadirkan dalam keluarganya ternyata bukanlah sosok yang ia mau. Tindakan kekerasan yang dialami nantinya akan menghancurkan si anak karena ia harus melihat ia dan ibunya disakiti.
Terlepas dari itu, untuk menemukan sosok ayah, harus disadari bahwa yang pertama harus dilakukan adalah dengan tidak mencari. Berikutnya, sembuhkan diri dari luka-luka yang tertinggal akibat masa lalu, menguatkan diri sendiri, bangkit dan berjuang, demi diri sendiri dan anak-anak. Saat sudah merasa cukup, kuat, dan berdamai dengan diri sendiri, tanpa dicari biasanya sosok pendamping hidup itu akan datang otomatis. Terakhir, gunakan akal budi dan kemampuan belajar dari kepahitan masa lalu jika orang baru itu benar-benar datang.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.