Issues Politics & Society

Implementasi Peraturan MA untuk Peradilan yang Lebih Adil pada Gender

Peraturan MA untuk sistem peradilan yang adil untuk perempuan belum disosialisasikan dan diimplementasikan dengan maksimal.

Avatar
  • March 10, 2018
  • 3 min read
  • 647 Views
Implementasi Peraturan MA untuk Peradilan yang Lebih Adil pada Gender

Indonesia telah memiliki peraturan untuk memastikan perempuan terlindungi dalam sistem peradilan, namun sampai saat ini sosialisasi dan implementasi peraturan tersebut masih belum terlihat.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu mengatakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum adalah bentuk kemajuan yang cukup signifikan dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual yang kerap kali mendapat perlakuan buruk di pengadilan. Oleh karena itu ia mendorong adanya sosialisasi yang komprehensif dan implementasi Perma tersebut.  

 

 

“Kami berharap perubahan yang sudah dilakukan di tingkatan proses persidangan melalui Perma ini dapat diikuti dengan kebijakan yang sama di tingkatan penyidikan, dan juga di kejaksaan,” ujar Azriana dalam satu acara seminar di hari Kamis (8/3).

Menurut Azriana, penanganan perkara oleh hakim sering kali tidak sensitif gender dan tidak menggunakan perspektif gender. Selain itu, penanganan perkara dalam konteks peradilan tidak hanya melibatkan hakim. Terdapat juga aparat penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan yang justru merupakan lembaga pertama yang secara langsung berinteraksi dengan perempuan korban kekerasan.

“Kalaupun di persidangannya sudah cukup baik dengan adanya Perma ini, belum tentu perempuan korban bisa diantarkan ke proses peradilan yang cukup baik karena di proses penegakan hukum sebelum pengadilan mekanisme ini belum terbangun,” tambahnya.

“Kami berharap Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia dapat ikut serta dalam memastikan keadilan dan menggunakan perspektif gender di dalam proses hukum sesuai dengan Perma,” ujarnya.

Selain itu, Azriana juga menyampaikan keresahannya mengenai implementasi dari Perma tesebut. Ia mengatakan, semua pihak yang bersangkutan harus bisa memastikan Perma tersebut bisa benar-benar berjalan dengan baik.

“Penting untuk diingat bahwa Perma yang berperspektif gender ini harus bisa dilaksanakan dengan sebaik mungkin, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh perempuan korban di Indonesia,” ujar Azriana.

Azriana menyarankan perlu adanya prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi untuk memastikan agar Perma bisa berjalan dengan baik.

“Prasyarat pertama, yaitu perspektif hak asasi manusia berkeadilan gender dan juga prinsip-prinsip non-diskriminasi. Ini perlu kita pastikan terintegrasi dalam kurikulum pendidikan hakim pada semua jenjang pendidikan, karena ini isu yang baru,” kata Azriana.

“Kemudian perlu adanya ketersediaan mekanisme, yaitu sistem monitoring dan evaluasi. Ini sangat penting. Kita punya banyak sekali regulasi yang sebenarnya cukup baik, tapi kadang-kadang tidak berjalan atau tidak berjalan maksimal karena tidak ada monitoring dan evaluasi,” tambahnya.

Usman Basuni dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengatakan penelitian dari KemenPPPA menemukan bahwa pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum masih sangat lemah.

“Menurut kami Perma ini merupakan satu langkah maju, juga terobosan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Peraturannya sudah ada, namun apakah praktiknya bermanfaat atau tidak, perempuan korban itulah yang berkesimpulan,” ujar Usman.

“Kami menaruh harapan cukup besar dengan adanya Perma ini. Selain itu, kami juga sangat mendukung dengan melakukan apa pun yang bisa kita lakukan agar jumlah korban perempuan bisa menurun,” tambahnya.

Mengenai sanksi bagi hakim yang melanggar Perma ini, Hakim Agung Desyanti menegaskan jika perempuan korban berhadapan dengan hakim yang masih belum berperspektif gender dan mendiskriminasi perempuan korban, pendamping harus mengingatkan bahwa hakim itu bahwa dia sudah melanggar Perma.

“Kalau hakim tidak bisa diingatkan, laporkan. Itu pasti ada sanksi. Tidak mungkin Mahkamah Agung diam saja,” ujar Desyanti.

Baca seruan ulama perempuan untuk mengeluarkan agama dari politik praktis dan ikuti @bunnnicula di Twitter.



#waveforequality


Avatar
About Author

Amel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *