Yang Perlu Kita Tahu soal Impor BBM Satu Pintu: SPBU Swasta Ditekan Monopoli?
Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah SPBU swasta mulai terasa sejak akhir Agustus silam. Penyebabnya mulai dari dinamika pasar hingga efek kebijakan pemerintah. Namun, satu pertanyaan besar masih menggantung: Apakah ada praktik monopoli di balik situasi ini?
Dikutip dari BBC Indonesia, “Stok BBM di SPBU swasta nyaris nihil, apa dampak dugaan monopoli terhadap konsumen?”, kondisi tersebut terlihat jelas di salah satu SPBU Shell di Jakarta Selatan. Seorang pegawai menyebutkan BBM yang tersedia hanya RON 92, sedangkanjenis lain benar-benar kosong.
“Dari pusat sudah begini sejak beberapa hari terakhir,” ujar pekerja itu, (15/9).
Ia tidak memberikan detail lebih lanjut mengenai penyebabnya.
Fenomena serupa juga terjadi di Bandung dan Surabaya. SPBU swasta di kota-kota besar itu hampir kehabisan stok, bahkan ada yang benar-benar nihil. Pemerintah sendiri berdalih, kelangkaan muncul karena masyarakat mulai beralih membeli BBM nonsubsidi.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan penjelasan pemerintah. Dikutip dari Tirto, “Impor BBM Satu Pintu Berisiko Timbulkan Praktik Monopoli”, akademisi UGM Fahmy Radhi justru menilai pemerintah ikut mendorong krisis ini ke arah praktik monopoli.
Menurut Fahmy, kebijakan impor BBM satu pintu membuat SPBU swasta kehilangan keleluasaan dalam menentukan sumber impor. Padahal, margin keuntungan mereka selama ini salah satunya datang dari fleksibilitas memilih negara pengekspor dengan harga lebih murah, sehingga efisiensi tetap terjaga.
“Dalam impor BBM satu pintu, SPBU asing tidak bisa lagi mencari harga termurah. Mereka harus membeli dari Pertamina dengan harga yang sudah ditetapkan Pertamina,” jelas Fahmy kepada Tirto, (18/9).
Jika kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diteruskan, marjin SPBU swasta bisa tergerus bahkan berujung pada penutupan. Fahmy mengingatkan, situasi itu justru membuka jalan bagi Pertamina untuk memonopoli tata kelola migas hilir.
“Saat seluruh SPBU asing hengkang dari Indonesia, saat itulah tata kelola migas hilir dimonopoli Pertamina. Dampaknya bukan hanya ke sektor migas, tapi juga akan merusak iklim investasi di berbagai sektor lain,” imbuhnya.
Ia juga bilang, iklim investasi yang memburuk jelas akan mengganggu target pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo Subianto sebesar 8 persen per tahun.
“Karena itu, pemerintah sebaiknya membatalkan rencana impor BBM satu pintu. Kalau dipaksakan, kebijakan ini bisa jadi blunder besar,” tukasnya.
Sebenarnya ada apa di balik layar? Apakah murni soal distribusi dan permintaan, atau justru ada kebijakan yang ikut mempersempit ruang gerak SPBU swasta? Pertanyaan ini makin relevan ketika isu monopoli mulai mencuat ke permukaan. Di titik inilah perhatian publik beralih pada kebijakan impor BBM satu pintu lewat Pertamina, yang belakangan jadi sorotan.
Baca Juga: Skandal Korupsi Minyak di Pertamina: Kerugian Hampir Rp200 Triliun, 9 Tersangka Ditahan
KSP Siapkan Kajian Soal Impor BBM Satu Pintu Lewat Pertamina
Kantor Staf Kepresidenan (KSP) berencana mengaji ulang kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) satu pintu melalui PT Pertamina (Persero). Harapannya, hasil kajian ini bisa jadi masukan penting bagi pembuat kebijakan, khususnya terkait kelangkaan BBM di sejumlah SPBU swasta.
Dikutip dari Kompas, “KSP Akan Kaji Kebijakan Impor BBM Satu Pintu Lewat Pertamina”, Kepala KSP Qodari menyebut kajian tersebut diharapkan dapat memberi perspektif pembanding.
“Kita mau kaji yang mudah-mudahan nanti kajian-kajian dari KSP ini bisa menjadi masukan, bila perlu pembanding,” kata Qodari di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, (18/9).
Qodari juga menuturkan, niat baik dalam merancang kebijakan tidak selalu cukup jika pelaksanaannya di lapangan penuh masalah. Apalagi, isu BBM tergolong masalah sosial yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan berbeda.
“Kadang-kadang begini, kebijakan itu berasal dan lahir dari suatu niat baik, tetapi karena ini masalah sosial yang kompleks, aktornya banyak, kadang-kadang ada implikasi-implikasi tertentu yang kurang diinginkan,” ujarnya.
Ia mengibaratkan kondisi ini seperti “blind spot” saat mengemudi, di mana hal-hal tak terlihat justru bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Karena itu, KSP akan menyusun kajian yang lebih menyeluruh. Qodari berharap, rekomendasi yang dihasilkan bisa membantu pemerintah membangun mekanisme yang lebih adil dan minim kontroversi.
“Mudah-mudahan kita akan membangun suatu mekanisme di mana blind spot-blind spot itu bisa diidentifikasi dari awal, sehingga tidak menjadi pro kontra, kontroversi atau kerugian di kemudian hari,” ungkapnya.
Di tengah upaya KSP mencari formula kebijakan impor BBM yang lebih adil, realitass di lapangan justru menunjukkan wajah lain. Kelangkaan pasokan sudah mulai terasa, bukan cuma di SPBU kecil atau swasta lokal, tapi juga di jaringan internasional sebesar Shell.
Kondisi ini memicu beberapa spekulasi, termasuk kabar soal karyawan yang dirumahkan akibat krisis BBM.
Baca Juga: Mengurai Komitmen Pertamina dalam Transisi Energi Terbarukan
Shell Rumahkan Karyawan karena BBM Kosong? Begini Faktanya
Belakangan media sosial ramai membicarakan kabar bahwa Shell Indonesia merumahkan karyawan akibat kelangkaan pasokan bahan bakar minyak (BBM). Namun, perusahaan asal Inggris itu akhirnya buka suara.
Dikutip dari Kompas, “Penjelasan Shell Soal Kabar PHK Karyawan Imbas Stok BBM Kurang”, President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia Ingrid Siburian, menjelaskan bahwa Shell memang melakukan penyesuaian operasional di jaringan SPBU mereka karena stok BBM jenis bensin tidak lengkap.
“Ini termasuk penyesuaian jam operasional dan tim yang bertugas melayani para pelanggan,” ujarnya kepada Kompas, (16/9).
Penyesuaian tersebut mencakup perubahan jam kerja, jumlah hari kerja, hingga merumahkan sebagian karyawan sementara. Hal ini dilakukan agar operasional tetap berjalan meski pasokan terbatas.
Meski begitu, Ingrid menegaskan tidak ada SPBU Shell yang tutup total. Menurutnya, Shell masih melayani konsumen dengan produk yang tersedia, termasuk layanan pelumas, bengkel, hingga Shell Select dan Shell Recharge.
“SPBU Shell tetap melayani para pelanggan dengan produk BBM yang masih tersedia dan layanan lainnya; termasuk Shell Select, Shell Recharge, bengkel, dan pelumas Shell,” tambahnya.
Sejak akhir Agustus 2025, beberapa SPBU Shell memang mengalami kelangkaan untuk produk bensin seperti Shell Super, Shell V-Power, dan Shell V-Power Nitro+. Namun, perusahaan memastikan distribusi tetap diupayakan berjalan.
“Kami terus berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk memastikan produk BBM jenis bensin dapat tersedia kembali,” jelas Ingrid.
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan juga memberi klarifikasi. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indah Anggoro Putri, menyebut hingga kini belum ada laporan resmi terkait PHK di Shell Indonesia.
“Saya belum dapat laporan soal itu,” kata Indah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/9).
Ia menambahkan, kabar serupa pernah beredar beberapa bulan sebelumnya, namun setelah dicek ternyata tidak terbukti.
“Makanya ini yang benar gimana gitu. Silakan aja kalau merasa dirugikan, silakan laporkan ke Kemenaker,” ujarnya.
Isu PHK ini pertama kali mencuat dari unggahan akun @salam4jari di media sosial X. Dalam unggahannya, ia membagikan tangkapan layar dari akun Threads yang berisi cerita seorang pekerja SPBU swasta. Tangkapan layar itu juga memperlihatkan foto SPBU Shell yang tidak lagi menjual BBM, lengkap dengan percakapan karyawan yang menyebut sebagian pekerja sudah di-layoff.
















