December 21, 2025
Issues Opini Politics & Society

Dari Rosa ke Ling Ling: Ingatan Seorang Anak di Era Soeharto

Tumbuh sebagai anak Tionghoa tanpa kewarganegaraan di era Soeharto berarti belajar menyembunyikan nama, buku, dan rasa takut.

  • November 12, 2025
  • 5 min read
  • 1928 Views
Dari Rosa ke Ling Ling: Ingatan Seorang Anak di Era Soeharto

Pada 10 November 2025, mantan presiden Soeharto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Meme “Enak jamanku, to” mendadak terasa bukan lagi sekadar lelucon, tapi semacam déjà vu yang mengerikan. Buatku, ini seperti dibukakan pintu ke gudang ingatan yang lama kukunci rapat: masa kecilku sebagai Ling Ling, di bawah bayang-bayang Orde Baru.

Saat itu aku tinggal di Bali, anak SD yang hidup dalam dunia dengan satu saluran televisi, TVRI. Ibuku rajin memberiku bahan bacaan, dari majalah Bobo, surat kabar, dan buku. Lagu-lagu dari radio menemani soreku, walau kini nyaris tak kuingat liriknya. Aku tahu tentang Gorbachev, runtuhnya Tembok Berlin, dan Perang Teluk, bahkan sebelum menyentuh ibu kota.

Suatu hari ibuku membawa pulang fotokopian hasil ketikan mesin tik: Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer. Ibuku bilang, buku itu terlarang. Kami menyembunyikannya seperti harta karun di guci kuningan dekat ruang tamu. Tempat itu akhirnya jadi persembunyian buku komikku, karena dulu aku tidak boleh membaca komik.

Lalu hidup membawaku ke Surabaya. Panas, gaduh, dan jalanan selalu berkeringat. Di sana, di tengah antrean pengadilan, kerumunan calo, dan terik siang, aku tahu bahwa identitasku secara hukum tidak seperti yang kubayangkan.

Akta lahirku mencantumkan nama ayah Saniman dan ibu Chotijah. Tapi itu bukan nama orang tuaku, melainkan nama pinjaman. Ibuku, seperti banyak etnis Tionghoa lain pada masa Orde Baru, hidup tanpa status kewarganegaraan. Ia tak punya KTP, tak bisa mencatatkan anak, dan tak diakui negara. Maka ia meminjam identitas orang lain demi satu hal yang sederhana tapi mendasar: agar anaknya dianggap ada.

Kakek dari ibuku adalah perantau Tionghoa yang menikah dengan perempuan Tionghoa-Indonesia. Ibuku lahir dan besar di Indonesia, tak pernah mengenal “negeri asalnya.” Tak ada keluarga di sana, tak punya dokumen, tak tercatat di mana pun. Secara logika sederhana, bagaimana mungkin ia dianggap warga negara Tiongkok, kalau namanya saja tidak ada dalam arsip mereka? Tapi di Indonesia, ia juga tak diakui.

Situasi ini bukan pengalaman tunggal. Sejak perjanjian dwikewarganegaraan Indonesia–Tiongkok pada 1955, orang Tionghoa diwajibkan memilih menjadi warga negara Indonesia atau tetap sebagai warga negara Tiongkok. Tapi prosesnya rumit, birokratis, dan penuh diskriminasi. Banyak yang akhirnya terjebak sebagai apatrid atau tidak diakui oleh negara mana pun.

Setelah 1965, kecurigaan negara semakin menguat, dan proses menjadi WNI menjadi lebih sulit, mahal, dan melelahkan. Akibatnya, meminjam identitas warga “pribumi” menjadi cara yang paling mungkin agar anak-anak bisa dicatat secara administratif sebagai warga negara Indonesia.

Selama 14 tahun, nama ibuku tak pernah muncul di raporku. Aku tumbuh dengan kecurigaan sebagai anak pungut, disertai kecemasan mendalam, “Kalau Mama marah, apakah aku akan diusir ke jalan?” Jawabannya baru datang di ruang pengadilan dalam sidang pemutihan. Saat itu, ibuku untuk pertama kalinya resmi menyandang nama yang bahkan asing bagiku. Akta lahirku diperbarui dan aku “diakui sebagai warga negara Indonesia.” Rasanya seperti menang undian, padahal seharusnya itu hak paling dasar.

Diskriminasi terhadap warga Tionghoa saat itu bukan hal samar. Bahasa Mandarin dilarang. Perayaan Imlek disapu bersih. Nama-nama Tionghoa diganti dengan nama “Indonesia.” Melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, seluruh ekspresi budaya Tionghoa dihapus dari ruang publik. Kami hidup dalam bisik-bisik: jangan sebut nama asli, jangan terlalu mencolok, jangan banyak tanya.

Dan ini bukan hanya kisah keluargaku. Bahkan Susi Susanti, atlet kebanggaan Indonesia peraih emas Olimpiade 1992, harus melalui proses panjang sampai ia  memperoleh “Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia” pada 1996. Kalau seorang juara dunia saja harus berjuang begitu keras, bagaimana nasib kami yang hanya warga biasa?

Baca Juga: Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur

Masa krisis dan tas darurat

Lalu datang 1997. Di halaman koran Jawa Pos, muncul wajah George Soros, sosok spekulan mata uang global yang disebut-sebut mengguncang Asia. Kata ibuku, “akan ada krisis moneter.” Di berita, masyarakat Thailand menyumbangkan emas untuk menyelamatkan perekonomian mereka. Kami masih percaya Indonesia tak akan demikian. Indonesia kuat, pikir kami.

Tapi dalam hitungan bulan, nilai dolar naik, bunga deposito melonjak, dan semua orang bicara soal emas, minyak, dan utang. Sampo harus dipakai sampai tetes terakhir.

Ibuku yang dulu bekerja kantoran, kini menjadi sopir antar-jemput anak sekolah, sering tak dibayar. Rumah yang biasanya sepi kini lebih ramai karena ia ada di rumah. Radio Suara Surabaya menyala 24 jam. Kompleks perumahan kami terasa gelisah. Aku bertanya-tanya: apakah semua orang juga kehilangan pekerjaan seperti Mama?

Ibuku mulai mengumpulkan surat-surat penting dalam sebuah tas. Kami hanya diberitahu satu hal: bensin tidak boleh kosong. “Jika ada apa-apa, kumpul di Bandara Juanda,” ujarnya. Tujuan terdekat adalah Singapura.

Malam hari, ronda dimulai. Mobil tentara parkir di ujung jalan. Rumah-rumah ditandai dengan tulisan besar: “ISLAM, PRIBUMI.” Tanda untuk memastikan tidak diserang. Tasku sudah siap. Aku tidur memeluk anjingku, seakan kami akan berpisah besok pagi.

Kemudian kerusuhan meletus. Suara dari radio, desas-desus dari kompleks mengatakan, “Kerusuhan sudah sampai di Pucang, pesawat sudah disiapkan untuk mengevakuasi orang Tionghoa.” Hingga akhirnya, Soeharto muncul di TV dan mengucapkan kata-kata yang tak pernah aku lupakan, “Dengan ini saya memutuskan untuk mundur.”

Keesokan harinya dunia terasa senyap. Waktu seperti menahan napas. Orang berjalan lamban. Tapi udara terasa lebih ringan.

Kami merayakan Imlek besar-besaran, sesuatu yang dulu terasa tabu. Untuk pertama kalinya aku melihat Tempat Pemungutan Suara di ujung gang, tanpa intimidasi untuk memilih Golkar. Buku Bumi Manusia kini terpajang di rak toko buku Uranus. Tak lagi difotokopi, tak lagi disembunyikan.

Lalu datang momen kecil yang terasa besar. Dari pintu masuk toko buku, ibuku memanggilku dengan lantang, “Ling Ling!” Bukan lagi Rosa, Rosallyn, atau Oca. 

Hari ini, ketika negara mengabadikan nama Soeharto sebagai pahlawan, aku hanya bisa memikirkan semua nama yang dulu harus disembunyikan. Nama-nama seperti ibuku, yang tak pernah tercantum di rapor anaknya. Mungkin itulah pentingnya ingatan personal, untuk mengingat hal-hal yang tak tertulis dalam pidato resmi. Seperti suara ibu yang akhirnya berani memanggilmu dengan nama sebenarnya.

Rosallyn Tanoyo adalah seorang agen asuransi yang menyamar sebagai penulis dan pelari. Saat ini, ia tinggal di Bali bersama keluarganya, menjalani peran sebagai ibu dari tiga anak dan satu ekor anjing.

About Author

Rosallyn Tanoyo