4 Isu yang Perlu Diutamakan di Pemilu 2024 Menurut Generasi Z
Kesadaran politik membuat generasi Z memiliki beberapa isu yang perlu diutamakan di Pemilu 2004. Mulai dari isu lingkungan, hingga RUU Perlindungan PRT yang perlu disahkan.
Pemilu 2024 akan menjadi kali pertama sebagian generasi Z menentukan hak pilihnya. Bahkan, partisipasi politik mereka begitu signifikan, berkaca pada hasil survei Litbang Kompas bersama tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media, pada 2022. Survei yang dilakukan terhadap generasi milenial dan Z itu menunjukkan, 86,7 persen dari mereka bersedia berpartisipasi dalam Pemilu 2024.
Sebagai generasi yang fasih teknologi dan update dengan isu terkini–terutama yang tinggal di perkotaan, generasi Z juga memiliki kesadaran terhadap politik. Kesadaran itu terbangun lewat berbagai diskursus di media sosial. Misalnya dengan mengkritik pemerintah maupun beropini tentang suatu kebijakan, yang didasarkan pada preferensi pribadi–seperti disebutkan Aulia Nastiti dalam tulisannya di Tirto.id.
Karena itu, sikap politik generasi Z dapat menjadi acuan para pembuat kebijakan. Bukan sekadar memperoleh suara dari mereka, melainkan berkomitmen untuk menerapkan lewat aksi nyata. Sebab, generasi Z memiliki perhatian pada beberapa isu seperti berikut ini.
1. RUU Perlindungan PRT yang Masuk Prolegnas Prioritas 2023
Memasuki tahun ke-19 sejak diajukan, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) masih belum disahkan. Tahun ini, RUU Perlindungan PRT kembali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas–setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendesak pengesahannya sejak pertengahan 2022.
Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin
Sebenarnya, pada 2020 RUU tersebut hendak dibawa ke Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Namun, pelaksanaannya kembali terhambat.
Selama ini, pengesahan RUU Perlindungan PRT terhambat lantaran dilihat ada ancaman mengkriminalisasi majikan. Hal itu dikarenakan urgensi RUU tersebut dilihat dari sudut pandang pemberi kerja, dan belum mempertimbangkan hak-hak PRT serta ancaman yang sering diterima dari pekerjaannya.
Padahal, PRT merupakan kelompok pekerja rentan. Selain tidak memiliki jaminan sosial yang mumpuni dan harus menanggung kecelakaan kerjanya sendiri, PRT kerap dieksploitasi dengan upah rendah dan jam kerja panjang. Ditambah lingkup kerja yang tertutup–atau invisible work, menempatkan mereka pada posisi rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Belum lagi perdagangan manusia dari agen penyalur yang belum teregulasi.
Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan adanya isu gender dalam permasalahan ini. Pasalnya, perempuan mendominasi peran PRT, dengan pekerjaan domestik yang membebani.
Berdasarkan survei International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta dan terus meningkat setiap tahunnya. Angka itu seharusnya semakin menjadi perhatian, mengingat para pekerja yang tidak mendapatkan pengakuan maupun perlindungan.
Selama ini, PRT hanya dilindungi oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Aturan tersebut mengutamakan perlindungan menggunakan skema pelaksanaan hak-hak normatif sebagai pekerja. Namun, peraturan itu bersifat sebagai pengakuan dan belum melindungi secara substantif.
Sementara RUU Perlindungan PRT akan mengatur jaminan sosial PRT, regulasi agen penyalur, kejelasan kontrak, dan pembentukan lembaga pendidikan untuk pelatihan PRT. Dengan harapan akan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka sebagai pekerja.
Sebenarnya pengesahan RUU Perlindungan PRT juga akan menguntungkan pemberi kerja. Yakni melalui kontrak kerja, yang mewadahi relasi majikan dengan PRT. Melalui kesepakatan yang disetujui, sanksi dan keuntungan kedua pihak akan diperjelas–sehingga apabila terjadi permasalahan dapat diselesaikan berdasarkan kontrak kerja.
Menanggapi desakan pengesahan RUU Perlindungan PRT, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan, DPR ingin pembahasan undang-undang dilakukan secara berkualitas dan tidak terburu-buru. Melansir CNN Indonesia, Puan menyebutkan keinginannya agar RUU Perlindungan PRT sekaligus menjadi payung hukum bagi pekerja migran Indonesia.
2. Dana Bantuan Korban di UU TPKS
Sejatinya, korban kekerasan seksual akan menerima restitusi dari pelaku tindak pidana. Hal itu mengacu pada Pasal 49 ayat 3 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal tersebut menerangkan restitusi berupa penyitaan sebagai ganti rugi, yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku.
Adapun restitusi bertujuan untuk mengutamakan pemenuhan hak korban—pemulihan fisik dan psikis sampai korban mampu menjalankan peran sosialnya, sekaligus menimbulkan efek jera bagi pelaku. Sementara jika pelaku tidak mampu memenuhi restitusi, UU TPKS mengharuskan dibentuknya victim trust fund, atau Dana Bantuan Korban. Hal itu tercatat dalam UU TPKS Pasal 33 ayat 71.
Nantinya, dana tersebut diperoleh dari berbagai sumber yang sah dan tidak mengikat. Seperti, individu, masyarakat, filantropi, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, serta anggaran negara dengan menyesuaikan peraturan perundang-undangan.
Namun, sampai saat ini, pemerintah belum dapat mengakomodasi pelaksanaan Dana Bantuan Korban. Hal itu disampaikan oleh ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam wawancara bersama Magdalene. Menurutnya, peraturan pemerintah dan peraturan presiden terkait Dana Bantuan Korban sedang dalam proses pematangan.
Keadaan ini menghambat pemenuhan hak korban secara menyeluruh. Maka itu diperlukan kapasitas aparat penegak hukum perlu diperkuat agar berperspektif korban. Pemerintah juga perlu menggandeng lembaga layanan korban berbasis masyarakat sipil, dalam mengimplementasikan UU TPKS.
3. Menggugat KUHP
Awal Desember lalu DPR mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pembaruan itu dilakukan untuk menghapus spirit kolonialisme yang merupakan acuan KUHP sebelumnya.
Baca Juga: Tiktok Jadi Alat Pemilu Politikus di Asia Tenggara
Sayangnya, legislasi KUHP dilakukan secara tidak terbuka, transparan, maupun melibatkan partisipasi masyarakat. Membuat Indonesia menjadi negara antidemokrasi dan melanggengkan praktik korupsi.
Lebih dari itu, sejumlah pasal dalam KUHP pun problematik. Seperti mengatur ranah privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, membungkam kebebasan pers dan masyarakat dalam berpendapat, meringankan ancaman bagi koruptor, serta memidana korban kekerasan seksual.
Pasal-pasal tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi masyarakat, untuk melakukan penolakan KUHP. Dikarenakan implementasinya diberlakukan dalam tiga tahun setelah pengesahan, masyarakat dapat mengambil jalur hukum untuk menyampaikan penolakan.
Yaitu melalui Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana tertulis dalam Pasal 51 ayat 1 UU Nomor. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Masyarakat dapat melakukan gugatan secara individual, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Dari laporan tersebut MK dapat melakukan uji materi terhadap KUHP, sebagaimana dilakukan pada UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Narkotika, untuk legalisasi ganja medis.
Kendati demikian, ada sejumlah kemungkinan MK tidak memprioritaskan uji materi KUHP, karena pemerintah telah mengintervensi MK. Di antaranya melalui UU MK yang direvisi, Jokowi yang memberikan penghargaan kepada hakim MK, serta UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat—menunjukkan kurang lebih KUHP bernasib serupa dengan UU Cipta Kerja.
4. Pasal-pasal di Omnibus Law yang Mempercepat Deforestasi
Belakangan ini, ternyata generasi Z juga melihat urgensi dalam isu lingkungan. Hal ini didukung survei Persepsi Pemilih Pemula dan Muda (Gen-Z dan Milenial) Atas Permasalahan Krisis Iklim di Indonesia (2021). Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia itu mencatat, generasi Z mengetahui dan memiliki tingkat kepedulian terhadap krisis iklim sebesar 85 persen.
Baca Juga: Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik
Mereka juga melihat krisis iklim sebagai isu yang mengkhawatirkan dan berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, sehingga perlu diatasi. Adapun permasalahan itu mencakup cuaca ekstrem, penumpukan sampah dan bahan plastik, kesehatan, penggundulan hutan, dan polusi udara.
Melihat tingginya kesadaran generasi Z terhadap lingkungan, seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun kebijakan. Sayangnya belum ada partai politik yang mencanangkan perubahan iklim sebagai agenda utama. Terlihat dari hasil survei yang sama, semua partai mencapai nilai di bawah lima persen dalam memprioritaskan perubahan iklim.
Berkaca dari keprihatinan generasi Z, sejumlah pasal di Omnibus Law terkait isu lingkungan dapat menjadi fokus perbaikan partai politik. Terutama yang mempercepat deforestasi, seperti penghapusan batas minimal 30 persen kawasan hutan dalam UU tersebut.
Sebelumnya, aturan itu terdapat dalam Pasal 18 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ayat itu menyebutkan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai, dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Perubahan itu mengkhawatirkan karena mengancam perlindungan kawasan hutan.
Selain itu juga adanya potensi alih fungsi kawasan hutan, dalam Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Disebutkan, perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
Kata “mempertimbangkan” dalam ayat tersebut, merupakan pengganti dari kata “didasarkan” yang tercatat dalam Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan kata itu otomatis mengubah implementasi fungsi kawasan hutan.
Dapat disimpulkan Omnibus Law telah melemahkan perlindungan lingkungan. Karena itu, generasi Z perlu mendorong isu ini dalam Pemilu 2024.