Screen Raves

Iteungisme: Memaknai Iteung dalam ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’

Iteung punya otoritas atas jiwa dan tubuhnya. Berkelahi bukan cuma cara Iteung membela diri, tapi juga mengguncang adat patriarki.

Avatar
  • March 7, 2022
  • 6 min read
  • 2100 Views
Iteungisme: Memaknai Iteung dalam ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’

[Peringatan: sebagian artikel ini dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan]

Bagi saya, tokoh Iteung (Ladya Cheryl) dalam film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT) adalah karakter menarik. Dia pemberani, mandiri, sederhana, tangguh, kuat, tak banyak drama dalam menghadapi masalah-masalah hidup yang dialaminya, dan punya otoritas akan jiwa dan tubuhnya sendiri. 

 

 

Saya ingin menekankan Iteungisme sebagai paham dari sikap Iteung dalam melawan eksploitasi hidup dan pelecehan seksual yang dihadapinya. Film yang digarap dengan kepatuhan terhadap PUEBI yang tinggi ini meneguhkan premis saya: Tanpa kelamin, kekuatan, kekuasaan, dan kepemilikan, patriarki bukan apa-apa.

Sumber: IMDB

 

Baca Juga: Lihat Lebih Dekat: Pengakuan Seorang Mantan Transfobia

Iteung mengambil sikap atas tabiat orang yang menindasnya. Ia bukan tipe perempuan yang mau terus-terusan hidup dengan kenyamanan dan keberuntungan. Sosok the devil wears denim itu tak terbuai dengan janji kesetiaan atau gampang mempercayai gombalan lelaki yang hanya sebatas lolipop di bibir saja. Iteung membalas dendam dan balas dendam adalah bahasa perlawanannya.

Teladan jiwa-jiwa yang tegar seperti Iteung sangat dibutuhkan dalam kondisi di mana isu terkait pencegahan kekerasan di sekolah (dunia pendidikan) marak dikumandangkan akhir-akhir ini. Nama-nama korban dengan segala trauma fisik dan mentalnya diperjuangkan, sedangkan di sisi lain Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih impoten karena tak kunjung disahkan. 

Berkelindan dengan wacana tersebut, dalam resensi film SDRHT ini, saya ingin membedah satu pertanyaan penting: Bagaimana Iteung sebagai perempuan menghadapi trauma pelecehan seksual yang dialaminya? Pelecehan yang dialami banyak perempuan dalam dunia patriarkis ini.

Mari kita runut film dari awal sampai akhir. Trauma pelecehan seksual yang dialami Iteung tak cukup sekali diwacanakan kisahnya. Tak hanya diulang oleh Budi Baik, tapi juga diperjelas oleh hantu Rona Merah atau Jelita. Di sini kita bisa melihat bagaimana pengalaman pelecehan seksual bisa diulang, direproduksi, dan dieksploitasi oleh pihak lain untuk kepentingannya sendiri (take benefit from the victim), seperti tokoh Budi Baik, lelaki yang mengambil kelemahan Iteung dan memanfaatkannya. Dia mengadegankan foreplay yang payah karena mengulang cerita trauma seks yang dialami Iteung, sehingga setiap kali Iteung dan Budi having sex, Iteung menutup kedua mata Budi dan setelah itu muntah-muntah. 

Diriwayatkan oleh Rona Merah (Ratu Felisha), ketika Iteung SMP, gurunya bernama Pak Toto meminta Iteung mengerjakan tugas, meski akhirnya sang guru malah menggerayangi dan melakukan “cocok tanam” terhadap muridnya. Dan di sinilah keberanian Iteung untuk membalas dendam. Bukan pelampiasan artifisial dengan lari mengelilingi lapangan sampai pingsan, tapi Iteung menjepit perkutut gurunya di lemari sekolah. Bayaran yang saya rasa setimpal, trauma kelamin dibalas kelamin.

Baca Juga: Bebaskan Diri dari Jebakan Kelamin

Kenapa Iteung membalas dendam? Karena ia percaya itu jalan satu-satunya untuk menunjukkan otoritasnya sebagai perempuan, atas keputusan dan tindakan yang orang perbuat atasnya. Iteung memilih belajar bela diri dan mempraksiskan ilmunya dengan berkelahi. Memang tak wajar perempuan berkelahi, apalagi perempuan Indonesia. Tapi jalan ninja Iteung untuk menyembuhkan trauma adalah dengan berkelahi. Ya, kekerasan. Iteung tahu cara berkelahi sebagai perempuan.

Kelahi adalah koneksi batin kita untuk melepas dendam-dendam yang kesumat. Iteung berkelahi dengan banyak jurus, dari adegan pile driver sampai power bomb. Sedikit ke luar dari topik, saya jadi ingat kisah teman perempuan saya, sebut saja Anteung. Dia memilih latihan bela diri dan menggunakannya untuk berkelahi, hanya untuk melindungi tubuhnya. 

Iteung berhadapan dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan aneka relasinya di banyak sisi. Tak hanya oleh pelaku kekerasan seksual, tapi juga relasi kuasa dari suaminya. Untungnya Iteung bukan tokoh pengikut. Iteung tak menjadikan Ajo Kawir (Marthino Lio) sebagai pusat semesta satu-satunya, malah dia sebagaimana slogan anti-penghambaan, bertindak “kill idol-nya Ajo Kawir dengan melakukan having sex bersama Budi Baik (Reza Rahardian). Bad boy yang bukan suaminya.

Sumber: IMDB

 

Bukan karena Ajo Kawir pergi ke neraka, lantas Iteung mendorong dan mengikutinya. Sebagaimana Iteung menyarankan agar Ajo Kawir menolak tawaran Paman Gembul untuk membunuh Macan yang bengis. Atau karena perkutut Ajo Kawir tak bisa berdiri, lantas membuat Iteung diam? Tidak. Iteung tetap mencari perkutut lain. Meski ada kabar pula, ketika Iteung melakukan seks dengan Budi, burung yang masuk ke liangnya dibayangkan sebagai burung Ajo Kawir. Iteung saat itu tak berpikir tentang kehancuran rumah tangganya. Apa pun alasannya, Iteung dengan perilakunya bebas dan valid. Tokoh ini sangat mengguncang adat-adat patriarkis yang dirahasiakan. 

Saya rasa, Iteung juga muak akan Ajo Kawir yang mengagungkan burungnya sendiri, merasa insecure dan sibuk dengan ilusi-ilusi kejantanan (so called toxic masculinity). Ajo Kawir menganggap burung sebagai simbol maskulinitas yang dia tinggikan lebih dari batok otaknya. Ajo Kawir dikerangkeng oleh machismo yang dirawatnya sendiri. Penyakit yang juga pernah dialami kebanyakan orang, merasa kecil dan tak berarti apa-apa ketika tubuhnya tak sempurna atau pusakanya hilang. Rasa insecure Ajo Kawir mengalahkan rasa cinta yang diberikan Iteung.

Baca Juga: Menyindir Maskulinitas ala Eka Kurniawan

Akhirnya kita bisa memahami keputusan Ajo Kawir untuk hidup “selibat” dan membangun deep talk dengan burungnya. Ajo Kawir menjalani jalan spiritualnya dengan truk. Menjadi sopir truk dengan segala psikologi dan kata-kata cengengesan di bak truknya, macam “pulang malu, tak pulang rindu”. Ia bertemu dengan Jelita yang tak terjabarkan. Jelita disebut sebagai manifestasi dari Rona Merah. Jelita hadir sebagai Iteung yang lain, yang mengembalikan kepercayaan diri Ajo Kawir. Jelita yang mengatakan jika burung Ajo Kawir mancung.

Berkelahi juga adalah bahasa cinta Ajo Kawir. Di sisi lain, sebagai perempuan ada yang saya kagumi dari sosok Ajo Kawir. Dia tidak takut dengan perempuan kuat dan percaya diri seperti Iteung, di tengah di luar sana sebagian lelaki merasa tak punya wibawa pada sosok-sosok perempuan yang lebih maskulin darinya. Ajo Kawir juga bisa memperlakukan Iteung sebagaimana lawan setara ketika bertarung. Ingatlah adegan di mesin blender batu itu, perkelahian intens yang rasanya muskil terjadi kecuali di film-film laga. Satu garis merahnya, Iteung dan Ajo Kawir sama-sama memiliki hantu masa lalu yang mengganggu mereka hingga saat ini. Hantu itu bernama kekerasan seksual dan rentan dialami oleh siapa saja.

Pernah dengar tokoh Asih di film Daun di Atas Bantal (1998) yang diperankan oleh Christine Hakim? Di film garapan Garin Nugroho itu, tokoh Asih yang menghidupi tiga anak jalanan itu juga korban pelecehan pasangannya sendiri yang sering melakukan penyiksaan terhadap dirinya. Di film SDRHDT, Christine berperan sebagai Mak Jerot yang juga memiliki kuasa atas perkataannya dan harga dirinya. Mak Jerot mengatakan, tak ada yang lebih menghina pelacur selain burung yang tak bisa berdiri. Begitu kuatnya perlawanan suara perempuan di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Isma Swastiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *