Sejak lama, saya selalu beranggapan bahwa saya bukanlah perempuan yang cantik, yang akan selalu dipuji oleh banyak orang. Saya selalu menciptakan dinding untuk orang-orang yang berusaha memuji dan menyemangati karena dalam pikiran saya, saya tidak layak menerima itu semua. Lihat saja, wajah saya yang berminyak dan dipenuhi dengan jerawat ini sudah pasti tidak enak untuk dipajang di media sosial maupun dunia nyata.
Saya selalu bersembunyi, tidak pernah berani menampakkan wajah saya walaupun hanya sekilas di akun media sosial. Bahkan yang lebih parahnya, cermin seakan-akan menjadi musuh. Saya selalu memicingkan mata ketika hendak bercermin untuk merapikan kerudung. Hanya berfokus pada satu titik dan tidak berusaha melihat wajah saya sendiri. Hal ini semata-mata saya lakukan agar saya tidak perlu melihatnya, melihat pantulan wajah saya sendiri.
Sampai pada satu titik, saya menyadari bahwa ketakutan saya terhadap penampilan saya sendiri sudah berlebihan. Ketakutan dengan anggapan apabila saya memperlihatkan wajah saya, maka orang-orang akan mengomentarinya. Ketakutan akan anggapan, apabila saya terlihat menawan di foto lalu kemudian orang-orang itu bertemu dengan saya langsung, mereka akan memberikan penilaian sesuai dengan standar yang mereka punya, lalu menyebarkan kabar bahwa penampilan saya di media sosial hanyalah dibuat-buat. Saya takut sekali dengan kalimat, “Ah, dia tidak secantik di foto.”
Baca juga: Mengapa Menjadi Cantik Penting di Media Sosial
Dengan seluruh ketakutan dan kebingungan untuk mencari jalan keluar ini, saya pun akhirnya menemukan jawaban. Ketika saya membaca artikel mengenai suatu hubungan yang tidak sehat, saya baru menyadari bahwa selama saya berhubungan dengan mantan kekasih saya dulu, saya selalu mencetak diri saya dengan segala ekspektasi yang dia inginkan. Jika dia ingin wajah saya bersih, maka saya harus mencari cara untuk itu. Jika dia ingin rambut saya panjang, maka saya tidak boleh memotongnya, walaupun hanya saya sendiri yang melihat dan merasakannya. Jika dia ingin saya bertindak seperti seorang perempuan yang halus dan penurut, maka saya harus menyanggupinya.
Ia mencetak saya sesuai dengan keinginannya.
Selama hubungan itu berlangsung, saya memang sering merasa tersiksa, tapi pikiran bodoh tetap menahan saya untuk memberontak. Cinta. Mungkin itu jawabannya. Klise, tapi memang benar adanya.
Suatu hari, saya ingin sekali memotong rambut, karena memang sudah panjang dan membuat saya tidak nyaman. Lalu tanpa pikir panjang, saya memotongnya. Karena dalam pikiran saya, ini rambut saya, jadi sudah pasti ini juga hak saya untuk melakukan apa pun terhadapnya. Namun ketika saya memberitahunya, ia marah besar. Ia bilang ia tidak suka perempuan yang tidak berambut panjang. Perempuan rambut pendek baginya seperti laki-laki, terlalu tomboi dan tidak lagi terlihat seperti perempuan.
“Rambut panjang itu mahkota perempuan, kalau pendek begitu…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya tapi saya sudah bisa menangkap maksudnya.
Untuk sesaat saya memang merasa menyesal, karena saat itu saya pikir seharusnya saya tidak melakukannya. Saya seharusnya bisa membahagiakan pacar saya dengan penampilan yang ia suka. Sejak kejadian itu dia sering menyebutkan penampilan yang ideal untuk perempuan itu yang seperti apa. Dan saya tahu, saya tidak memenuhi ekspektasinya. Saya sering sekali merasa insecure karena selebritas perempuan idamannya benar-benar tidak sedikit pun bisa saya dekati kriterianya.
Baca juga: ‘Skincare’ Abal-abal dan Praktik Sulam: Tuntutan Cantik di Era Digital
Setelah hampir satu tahun berpacaran, dari hari ke hari ia semakin menunjukkan perubahan. Belakangan saya mengetahui bahwa ia akhirnya menemukan perempuan yang fisiknya memenuhi segala kriterianya. Awalnya saya begitu sedih, kembali menyalahkan wajah saya karena tidak bisa secantik perempuan itu. Bahkan di saat kami sudah berpisah, saya sempat bertemu dengan mantan pacar, yang saya pikir akan memunculkan kejadian manis seperti cerita-cerita di novel. Nyatanya, saya harus menerima kata-kata menusuk darinya yang menyebutkan bahwa wajah saya sekarang sudah tidak se-“bersih” dulu lagi, penuh dengan jerawat kecil dan kumal.
Jelas saya sakit hati, namun saya tepis rasa itu seperti angin lalu. Sampai kemudian saya menyadari bahwa kalimat itu ternyata begitu berdampak bagi saya. Saya selalu bersembunyi, menganggap diri saya jelek, dan tidak layak untuk dicintai, makanya saya diselingkuhi.
Saya selalu berkutat dengan pemikiran itu selama bertahun-tahun, hingga akhirnya saya tertarik dengan bacaan-bacaan mengenai perempuan. Kekasih saya saat ini pun selalu berusaha membantu saya untuk keluar dari lingkaran setan yang ada di pikiran saya itu, mengubah saya untuk menjadi berani memerdekakan diri tanpa harus memenuhi ekspektasi siapa pun lagi.
Saya mulai semua proses pembaruan dengan langkah awal, yaitu memaafkan mantan pacar saya. Mungkin dia memang bodoh karena hanya mampu menilai perempuan lewat penampilannya saja. Lalu saya juga mulai untuk menerima segala kekurangan yang ada di diri saya, khususnya wajah. Perlahan tapi pasti saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya jauh lebih dari sekadar alat untuk memenuhi ekspektasi. Bahwa saya berhak untuk bebas tanpa takut dengan segala penilaian dan kriteria yang diinginkan oleh publik.