Jejak ‘Queer’ dalam Al-Qur’an dan Hadis
Penulis meyakini bahwa Al-Qur'an mengakomodasi keberadaan orang homoseksual atau aseksual.
Bagi yang tidak berkecimpung dalam isu orientasi seksual dan ekspresi identitas gender (SOGIE), istilah queer mungkin terasa asing. Kata ini secara bahasa berarti “aneh,” “mencurigakan,” “tidak lazim,” atau “di luar kelaziman,” dan biasanya digunakan dengan nada miring (peyoratif). Jika kita melihat, misalnya, ada orang sarapan pecahan kaca, maka ia bisa kita sebut queer, karena di luar kelaziman.
Secara khusus, queer dipakai untuk menggambarkan ketidaklaziman seseorang dalam gender dan seksualitas, misalnya, laki-laki yang ekspresinya feminin, laki-laki mencintai laki-laki, perempuan bisa hamil tanpa “campur tangan” laki-laki, atau bayi yang terlahir dengan kelamin ganda.
Lebih jauh, queer tidak terbatas hanya pada penjelasan di atas. Alih-alih, ia adalah payung konsep untuk menampung hal-hal yang belum pernah ada di dunia namun berpotensi ada sebelum akhirnya bisa didefinisikan secara khusus.
Sebetulnya, dalam pandangan saya, Alquran dan hadis menyediakan banyak informasi yang bisa diklasifikasikan sebagai queer dalam ranah gender dan seksualitas. Informasi-informasi ini perlu diletakkan dalam lanskap kemahakuasaan-Nya dalam mengendalikan penciptaan, dan sekaligus sebagai bahan penting untuk diteliti secara ilmiah.
Isu queer pertama, tentu saja adalah penciptaan awal, yakni Adam. Tuhan membuat pasangan Hawa ini dari tanah dan meniupkan roh padanya, sebagaimana disebutkan dalam Surat 38:71-72. Fenomena ini sangat tidak biasa dalam proses penciptaan manusia sebagaimana kita pahami saat ini. Kita pasti tidak percaya seandainya ada orang yang mengaku tercipta dari tanah tanpa proses kelahiran.
Queer yang kedua adalah menyangkut sosok Maryam, ibu Nabi Isa (Yesus). Perempuan suci ini diimani bisa punya anak padahal statusnya “tak tersentuh” laki-laki. “Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang penzina,” kata Maryam saat dikabari Jibril sebagaimana terekam dalam Surat 19:20-21.
Kemampuan hamil dan melahirkan tanpa proses “intervensi” laki-laki sungguhlah sangat unik dan jarang ditemukan dalam dunia ini, setidaknya secara nalar ilmiah.
Jejak queer ketiga adalah kemampuan Allah menciptakan sosok laki-laki yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan. Padahal, kaprahnya laki-laki akan menyukai secara seksual lawan jenisnya. Begitu juga sebaliknya.
Namun, sosok seperti ini ada dan diabadikan Allah dalam potongan ayat panjang Surat 24:31 yang bercerita tentang dibolehkannya perempuan untuk membuka jilbab di hadapan laki-laki tertentu. Dalam tradisi pra-Islam, pria seperti ini kerap disebut dengan eunuch (khashi, kasim) atau sudah dikebiri. Menurut akademisi Muslim asal Pakistan Sayyid Abul al-Maududi adalam tafsir Tafhim Alquran, pria ini merujuk pada sosok Hit, pria feminin, pembantu salah satu istri Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diceritakan oleh Umm Salamah dan Aisyah.
Apakah dengan demikian Alquran mengakomodasi keberadaan orang homoseksual atau aseksual? Saya meyakini demikian.
Alquran dan hadis menyediakan banyak informasi yang bisa diklasifikasikan sebagai queer dalam ranah gender dan seksualitas. Informasi-informasi ini perlu diletakkan dalam lanskap kemahakuasaan-Nya dalam mengendalikan penciptaan, dan sekaligus sebagai bahan penting untuk diteliti secara ilmiah.
Hubungan Seksual Keji dan Perlindungan Anak
Memang benar, Alquran telah bersikap sangat tegas menyangkut pelampiasan hasrat seksual keji sesama jenis dalam cerita kaum Nabi Luth. Kisah ini antara lain terdapat dalam Surat 7:81, 26:165-166, 27:55, 29:28-29. Namun sayangnya, banyak umat Islam gagal membuat perbedaan antara hubungan seksual keji, seperti yang terjadi pada kaum Luth, dan hubungan seksual berdasarkan cinta kasih di antara orang dewasa.
Uniknya, menurut banyak peneliti, seperti Stephen O. Murray, Norman Roth, dan Khaled El-Rouayheb, hasrat seksual sesama jenis dalam bentuk pederasty, atau hubungan pria dewasa dan anak remaja, merupakan hal yang cukup lumrah di tradisi Arab kala itu. Beberapa buku mencatat hal ini, seperti The Love of Boys in Arabic Poetry of the Early Ottoman Period, 1500-1800, maupun Homoeroticism in Classical Arabic Literature karya J. W. Wright dan Everett K. Rowson (1998).
Namun di sisi lain, praktik ini juga dikecam. Banyak ulama dan sufis memperingatkan para pria agar tidak tergoda anak laki-laki tanpa jenggot (beardless youth) sebagaimana tercantum dalam buku-buku kumpulan hadis Shahih Muslim bi sharh al-Nawawi (9/109, 4/31), Majmoo’ al-Fataawa Ibn Taymiyyah (21/245), maupun al-Jawab al-Kafi (117) karya Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Bahkan sufi perempuan terkemuka Rabiah Adawiyah, sebagaimana dicatat dalam Early Sufi Women karya Abu ‘Abd ar-Rahman as-Sulami, pernah melihat sufi lain, Rabah al-Qaysi, mencium bocah laki-laki dengan gairah.
“Apakah kamu mencintainya?” tanya Rabiah. Rabah mengiyakan. “Aku tidak menyangka ada ruang di hatimu untuk cinta selain Allah,” Rabiah menimpali.
Rabah berdiri dan berkata, “Sebaliknya, justru ini adalah rahmat yang diberikan Allah pada hambanya.”
Jejak relasi seksual dengan bocah laki-laki juga ada dalam hadis riwayat Bukhari, Kitab 62 (Pernikahan) bab 25, sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas, “…. Jika seseorang bermain dengan anak laki-laki dan ‘memasukinya’ maka dia tidak bisa menikahi ibunya,…” Kata “memasukinya” merujuk pada seks anal.
Saya sendiri menempatkan kecaman para ulama dan sufi ini sebagai upaya melindungi anak di bawah umur dari tindak kekerasan seksual. Mereka mungkin bergidik membayangkan keberingasan seksual pria dewasa terhadap anak remaja yang terkadang menjurus pada pemerkosaan, sebagaimana pernah ditulis dalam puisi Mamayah al-Rumi (Rouayheb, 2005).
The art of liwat is the way of masculinity and might
So leave Laylah to Majnun, and Azzah with Kuthayyir,
And go up to every beardless boy, strip him, and even if he cries,
Present him with your prick and fuck him by force.
Mungkin karena didorong oleh semangat keadilan restoratif terhadap pemuda-pemuda ini, Alquran lantas mengapresiasi keberadaan mereka dengan cara menaruhnya sederajat dengan bidadari di surga kelak.
“Dan mereka dikelilingi oleh para pemuda-pemuda yang tetap muda. Apabila kamu melihatnya, akan kamu kira mereka mutiara yang bertaburan,” terang Surat 76:19. Bahkan di ayat lainnya, mereka digambarkan laksana mutiara tersembunyi (Surat 52:24, 56:17).
Ibn Kathir dalam Tafsir al-Adhim menyatakan mereka adalah pembantu (servant) yang memakai anting di telinganya, bekerja melayani kebutuhan tuannya di surga. Dengan detil, Kathir menggambarkan mereka sebagai berikut:
“…..wajah mereka yang tampan, warna-warna yang indah, pakaian dan hiasan yang bagus, Anda akan berpikir mereka adalah mutiara yang tersebar. Tidak ada kualitas yang lebih baik dari ini, juga tidak ada yang lebih bagus untuk dilihat daripada mutiara yang tersebar di tempat yang indah.”
Penggambaran di atas bisa dikatakan bercorak sangat feminin, dan memantik pertanyaan lanjutan: apa yang sesungguhnya diinginkan Tuhan dengan menarasikan surga sedemikian luar biasa dalam konteks ayat yang turun di Madinah kala itu? Kenapa Tuhan tidak mencukupkan diri menggambarkan fasilitas surgawi secara hetero, yakni dengan mengglorifikasi keberadaan bidadari saja? Dan yang paling penting, jika hasrat seksual sesama jenis dihujat sampai pada titik terendah saat ini, apa makna penggambaran agung ini?
Lantas siapa sebenarnya laki-laki feminin surgawi? Isi Surat 52:26 menarik untuk dibaca, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).”
Ketika menafsirkan ayat ini, al-Maududi mengelaborasi cukup panjang tekanan yang dihadapi mereka dalam kungkungan norma dan moralitas yang ditetapkan keluarga, demi agar mereka tidak melakukan kejahatan. Ayat ini mengkonfirmasi kesulitan yang dihadapi pemuda ini saat di dunia.
Banyak umat Islam gagal membuat perbedaan antara hubungan seksual keji, seperti yang terjadi pada kaum Luth, dan hubungan seksual berdasarkan cinta kasih di antara orang dewasa.
Penggambaran situasi surgawi seperti ini, jika benar, merupakan hal yang unik (queer) dan di luar kelaziman. Jika hal ini hendak diperhadapkan dengan dogma peristiwa kaum Nabi Luth, maka hipotesis saya adalah seksualitas sesama jenis adalah hal yang natural sebagaimana dengan lawan jenis. Hanya saja kemurkaan Allah muncul saat ekspresi seksualnya mengambil bentuk paksaan – pemerkosaan — seperti halnya kaum Luth, atau terhadap anak di bawah umur.
Ketertarikan seksual terhadap bocah laki-laki tidak hanya monopoli orang homoseksual, namun juga heteroseksual. Bocah laki-laki dan perempuan dilihat sama, yakni sebagai obyek pelampiasan nafsu dengan fungsi yang berbeda. Terdapat jargon populer di beberapa negara semenanjung Arab yang bisa menggambarkan situasi tersebut, “Women for breeding, and boys for pleasure.”
Jargon tersebut kemudian, oleh beberapa peneliti gender, seksualitas dan Islam, misalnya Scott Kugle, ditautkan ke Surat 42:49:
“Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.”
Pembacaan literal dan tafsir klasik ayat di atas menunjukkan kekuasaan Allah untuk memberikan anak kepada umatnya dalam arti yang umum, misalnya, ada orang yang dianugerahi anak laki-laki atau perempuan saja, atau dianugerahi keduanya.
Namun yang jarang disadari, ayat ini unik karena merupakan satu-satunya ayat di mana perempuan disebut terlebih dahulu daripada laki-laki. Beberapa ayat seperti QS 3:195, 4:12, 4:124, 6:143-144, 16:97, 40:40, 42:50, 49:13, 53:21, 53:45, 75:39, 92:3, semuanya mendahulukan laki-laki ketimbang perempuan.
Keunikan ayat ini lalu mendorong pembacaan secara unik pula, yakni alih-alih berbicara soal pemberian anak, ayat tersebut rasanya membahas urutan rantai obyek pemenuhan seksual pria kala itu — perempuan yang pertama, bocah laki-laki yang kedua.
Lesbian dan non-prokreasi
Perempuan mendapat prioritas bukanlah hal aneh sebab hanya ia yang mampu mengemban “misi utama” perkawinan, yakni reproduksi. Dalam kultur pra-Islam Arab, faktor kemampuan bereproduksi menempati urutan teratas dalam pertimbangan memilih jodoh.
Dogma reproduksi tampaknya menjadi problem tersendiri, terutama bagi perempuan. Di banyak kebudayaan, kesempurnaannya sebagai istri hanya diukur dari kemampuannya menghasilkan keturunan. Bahkan, bagi mereka yang mandul harus rela dimadu menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal itu tidak berlaku bagi laki-laki yang mandul.
Cara pandang demikian dianggap sebagai “kebenaran umum”, menempatkan perempuan mandul atau pilihan untuk tidak bereproduksi sebagai sosok tidak sempurna. Padahal Allah secara tegas menyatakan makhluk non-prokreasi (‘aqim) merupakan bagian dari ciptaan-Nya dan tidak ada perintah untuk mendiskriminasi mereka:
“Atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul (‘aqim) siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (Surat 24:50)
Kata ‘aqim dapat dipahami sebagai kondisi kemandulan dalam aspek biologis, namun juga terbuka untuk ditafsirkan sebagai kondisi seseorang yang meskipun mampu bereproduksi namun memilih untuk tidak berketurunan. Termasuk dalam kategori ini adalah sosok perempuan yang enggan menikah, baik karena tidak punya hasrat seksual (aseksual) atau tidak memiliki kecenderungan seksual terhadap lawan jenisnya.
Sosok queer semacam ini dipotret Alquran, menjadi bagian dari Surat 24:60, “Wa al-qawaa’idu min al-nisai allati laa yarjuuna nikaakha…”
Ayat ini menginformasikan salah satu jenis perempuan yang diperkenankan untuk tidak menutup aurat. Tafsir klasik dan para penerjemah Alquran seperti Marmaduke Pickthall atau Yusuf Ali mengartikannya dengan “perempuan tua menopause yang tidak berkeinginan menikah.”
Saya memilih mengartikan kata qawaid sebagai “enggan,” karena kata tersebut memungkinkannya. Sehingga, secara keseluruhan berbunyi, “perempuan yang enggan dan tidak berhasrat untuk menikah.” Frasa ini berimplikasi terhadap kemungkinan dimasukkannya dua jenis perempuan queer — mereka yang sama sekali tidak punya hasrat seksual, dan mereka yang tidak tertarik pada laki-laki (homoseksual-lesbian).
Al Maududi menafsirkan teks di atas dengan membuka peluang terhadap kemungkinan pemahaman sebagaimana yang saya sampaikan. Dia menjuluki perempuan seperti ini sebagai “the seated women,” yakni “…perempuan-perempuan yang tidak lagi mampu melahirkan anak-anak, yang tidak lagi memedulikan hasrat seksual (hetero), dan yang tidak bisa membangkitkan gairah pria.”
Penafsiran queer seperti di atas merupakan keniscayaan untuk — meminjam kata pengantar Andreas Christmann dalam bukunya Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer — mengharmoniskan sifat absolut ayat-ayat Alquran dengan pemahaman relatif para pembacanya. Melalui cara ini, publik didorong untuk lebih mengapresiasi al-Quran dan hadis dengan cara lebih luas dan manusiawi.