Jerawatan? Ya Sudahlah
Jerawat itu sederhana, tapi pergolakan di dalam lebih kompleks
Bagi para perempuan, ada hal yang tidak sederhana tentang jerawat. Bukan cuma soal kulit, tapi juga masalah perasaan, kepercayaan diri, kenyamanan, dan masalah-masalah lainnya yang berawal dari luar tapi menusuk juga sampai ke dalam hati.
Saya adalah salah satu orang yang terkena imbas dari jerawat, dulunya. Setiap kali melihat jerawat yang tumbuh di wajah, rasanya luar biasa tidak nyaman. Bukan karena sakit dan cenat cenut-nya, tapi karena takut komentar dan pertanyaan orang lain. Mau masa bodo juga tidak bisa, karena setiap kali bertemu, fokusnya selalu di wajah.
“Kenapa jerawatan?”
“Udah ngapain?”
“Ya ampun, kok mukamu jerawatan?”
“Heh, sejak kapan jerawatan?”
Saya tumbuh dengan pengertian bahwa perempuan itu cantik. Kalau tidak, ya cantik tapi relatif. Jadi intinya perempuan itu harus cantik, kalau tidak cantik bukan perempuan. Dan jerawat adalah salah satu yang membuat perempuan tidak cantik.
Saya juga tumbuh dengan melihat konten media dan iklan tentang sabun penghilang jerawat, krim penghilang noda hitam, atau totolan pembuat kempes jerawat radang. Intinya, masalah utama perempuan itu jerawat, dan yang harus dilakukan adalah menghilangkan jerawat-jerawat itu. Supaya apa? Supaya cantik, enak dipandang, banyak yang naksir, agar teman-teman perempuan iri dan bertanya, “Kok bisa punya kulit muka mulus seperti jalanan baru diaspal?”.
Sudut pandang semacam ini juga memengaruhi saya. Saya maunya punya muka yang bersih, putih, tidak ada bekas jerawatnya, apalagi sampai banyak yang menonjol dan merah-merah. Tuhan, sepertinya hidup mau berakhir.
Saya merasa tidak percaya diri kalau si jerawat ini muncul. Yang saya lakukan adalah fokus di jerawat-jerawat itu dan mengeluh terus. Setiap kali bertemu orang, yang saya lihat adalah wajahnya, dan kemudian mulai membandingkan, lebih banyak jerawat saya atau dia. Perasaan saya menjadi lebih baik saat bertemu sahabat yang juga jerawatan. Dan merasa tidak nyaman melihat wajah mereka yang licin seperti lantai baru dipel. Saya jadi merasa jelek sendiri.
Masalah jerawat ini muncul ketika semester dua kuliah. Sebelumnya wajah saya baik-baik saja. Awalnya karena saya pindah daerah tempat kuliah dan sepertinya masih belum cocok dengan lingkungan di tempat yang baru. Jadilah saya stres dan muka saya dipenuhi jerawat. Banyak sekali. Mati satu tumbuh seribu. Belum selesai bekas yang satu, teman-temannya sudah datang dan menengok. Mereka pun reuni di wajah saya. Bekas jerawat yang tertinggal sampai seperti luka akibat cacar air.
Awalnya saya tidak begitu peduli dengan keadaan ini sampai saya bertemu teman dan handai taulan. Reaksi mereka betul-betul membuat saya risih, malu dan tidak nyaman. Seolah-olah jerawat itu tanda kalau saya akan masuk neraka, atau saluran pernapasan saya akan terhambat dan besoknya saya bakal sekarat.
Padahal cuma jerawat.
Akibatnya, saya berusaha keras menghilangkan si jerawat. Mulai dari memakai daun-daunan yang disuruh Ibu, yang katanya manjur, sampai wajah saya hijau semua, sampai habis uang banyak untuk ke dokter kulit.
Selama saya memakai krim perawatan yang sangat banyak itu, pertanyaan dan komentar orang muncul terus. Setiap kali saya mengunggah foto saya, komentar yang keluar adalah:
“Salfok sama jerawat.”
“Jerawat…”
“Jerawat…”
Seolah-olah muka saya ini isinya jerawat semua, tidak ada hidung, mata, bibir sama sekali.
Sampai suatu saat saya sudah sangat jengah dengan apa yang orang bilang. Saya kemudian berpikir, memangnya kenapa sih kalau perempuan tidak cantik? Kenapa kalau saya jerawatan? Kalau saya jerawatan, siapa yang rugi? Bom mana yang meledak? Anak-anak mana yang jadi kelaparan? Sebenarnya apa sih yang saya takutkan? Omongan orang? Mau sampai kapan saya merasa tidak nyaman gara-gara hal yang basi ini?
Pikiran ini terus-terusan muncul di benak saya. Dan akhirnya saya sampai ke satu titik bahwa biar saja kalau jerawatan. Jerawat itu normal. Kalau wajah sudah dibersihkan, diberi perawatan ini itu dan tetap ada, ya sudah. Walaupun jerawatan saya toh masih bisa makan enak. Masih bisa buang hajat teratur. Nilai kuliah tidak turun. Saya masih bisa menonton film favorit, mendengarkan musik, masih bisa jalan-jalan. Tidak ada yang kurang. Yang kurang hanya ada di pikiran saya saja.
Jadinya, terserah orang mau komentar apa tentang wajah saya. Sekarang saya hanya menganggapnya seperti iklan yang lewat, atau angin sepoi-sepoi. Dalam kasus ini, yang harus saya ubah adalah cara berpikir saya. Saya harus menerima bahwa saya memiliki jerawat, bahwa kulit wajah saya sensitif, dan tidak ada yang aneh dengan itu.
Dan masalah cantik? Ya, sudahlah ya. Kalau cantik OK, tidak cantik juga tidak apa-apa. Semuanya berpulang pada bagaimana saya menerima diri sendiri.
Saat ini, kalau misalnya jerawat tumbuh, saya tidak lagi heboh ke sana ke mari, atau minder dan tidak percaya diri.
Kalau jerawat tumbuh, ya diobati, sampai kempes.
Kalau membekas, ya dibersihkan, nanti juga hilang sendiri.
Sederhana.
Kalau hilangnya lama, ya sabar.
Hanya karena jerawat, bukan berarti saya tidak bisa hidup tenteram dan nyaman, damai sejahtera. Sehingga sekarang rasanya lebih lega, lebih ringan, tidak berat lagi dengan komentar dan cemoohan orang.
Irma El-Mira adalah perempuan penyuka komunikasi, media, sosial dan budaya. Seorang feminis yang sangat suka menulis dan berdiskusi tentang ide-ide liar yang manis. Ia dapat dikontak lewat akun Twitter dan Instagramnya @Irmaelmira.