Health Issues Lifestyle Opini

Joki di Kampus Kesehatan Bahayakan Pasien, Apa Solusinya?

Bayangkan kamu diberi obat atau diagnosis keliru, karena tenaga kesehatan lulus berkat joki. Adakah intervensi yang bisa dilakukan?

Avatar
  • September 24, 2024
  • 4 min read
  • 76 Views
Joki di Kampus Kesehatan Bahayakan Pasien, Apa Solusinya?

Belakangan kita semakin sering mendengar praktik joki di perguruan tinggi. Bahkan hal ini dikonfirmasi dalam riset pada 2018 yang menunjukkan peningkatan praktik tersebut. Jasa yang ditawarkan meliputi penulisan tugas praktikum, tugas harian, ujian, hingga skripsi.

Perjokian atau contract cheating merupakan transaksi antarmahasiswa dan pihak ketiga yang direkrut untuk mengerjakan sebuah tugas akademis—hasilnya diklaim sebagai buah kerja dari mahasiswa tersebut.

 

 

Di bidang farmasi, studi yang mempelajari perjokian masih sangat terbatas. Namun, pasar perjokian yang secara spesifik menyasar bidang farmasi mudah ditemukan di internet. Studi pada 2012 yang dilakukan pada sebuah situs pembuatan esai di Inggris bahkan menunjukkan topik perjokian terkait dengan bidang kesehatan berada pada posisi 4 dari total 15 subjek bidang ilmu.

Bukan hanya soal pelanggaran integritas akademis, perjokian juga menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan. Praktik ini tidak hanya merusak reputasi mahasiswa, tetapi juga berpeluang menimbulkan risiko serius terhadap keselamatan pasien di masa depan.

Baca juga: Joki Tugas: Gampang Dicari, yang Penting Jaga Privasi

Risiko Malpraktik

Dampak perjokian dalam pendidikan farmasi sangat serius. Mahasiswa yang lulus tanpa benar-benar memahami materi yang seharusnya mereka kuasai membawa pengetahuan yang tidak memadai ke dalam praktik profesional mereka. Profesi apoteker bertanggung jawab langsung atas kesehatan pasien, dan kegagalan untuk memenuhi standar etika dan kompetensi yang diharapkan dapat berujung pada malpraktik yang berbahaya.

Sebagai contoh, hampir satu dekade silam pernah terjadi sebuah kejadian tidak diinginkan yang merenggut nyawa pasien. Setelah dilakukan investigasi, diketahui bahwa penyebab kejadian ini merupakan kesalahan yang terlihat sepele, yaitu ketercampuran antara produk Buvanest spinal injeksi dengan asam traneksamat injeksi, sehingga label obat tertukar.

Buvanest spinal merupakan injeksi atau obat suntik yang berisi bupivacaine, sebuah obat yang digunakan sebagai obat bius dalam operasi, bisa dalam operasi sesar atau pun operasi kandung kemih. Sementara asam traneksamat merupakan obat yang digunakan untuk memperlambat atau menghentikan pendarahan biasanya digunakan untuk kasus-kasus pendarahan. Pemberian obat yang tidak sesuai indikasi atau tujuan ini lebih lanjut mengakibatkan hal yang fatal.

Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila proses pembuatan obat dilakukan sesuai dengan panduan yang ada. Kegagalan apoteker untuk dapat memahami tingkat urgensi dari setiap proses pembuatan obat dapat berakibat fatal. Maka dari itu, tingkat pemahaman dan pengetahuan dari seorang tenaga kesehatan, khususnya apoteker dalam hal ini sangat penting. Praktik perjokian dapat menghilangkan nilai-nilai yang ditanamkan selama proses pendidikan.

Lebih dari itu, perjokian juga dapat menciptakan tenaga kesehatan yang tidak kompeten dan merusak kepercayaan publik terhadap profesi kesehatan. Institusi pendidikan yang gagal mengatasi masalah ini berisiko kehilangan reputasi dan akreditasi, yang pada gilirannya dapat mengurangi minat calon mahasiswa berprestasi untuk mendaftar dan merusak kualitas lulusan yang dihasilkan.

Bahkan, terjadi gejolak di India akibat adanya kecurangan besar-besaran dalam ujian mahasiswa kedokteran. Ujian ini diikuti oleh 2,4 juta peserta yang memperebutkan 100.000 kursi kedokteran. Kecurigaan masyarakat muncul akibat banyaknya nilai sempurna pada ujian tersebut. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan adanya indikasi bahwa kecurangan ini bukan hanya akibat bocornya soal, tapi juga perjokian yang melibatkan setidaknya 15 orang.

Baca juga: Dosen-dosen itu Mencuri, Menjiplak, dan Mengklaim Karya Saya

Libatkan Semua Pihak

Mengatasi perjokian dalam pendidikan farmasi membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Institusi pendidikan harus menerapkan kebijakan yang lebih ketat dalam mendeteksi dan mencegah perjokian.

Dosen memegang peran kunci dalam mempromosikan budaya integritas akademis. Mereka harus aktif dalam memantau tanda-tanda perjokian, memberikan sanksi yang tegas, dan mendukung mahasiswa dalam mengatasi tantangan akademis tanpa harus beralih ke perjokian.

Selain itu, pendidikan tentang etika dan integritas akademis harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan farmasi.

Kolaborasi dengan organisasi profesi apoteker juga dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya integritas dalam profesi farmasi. Program sertifikasi, pelatihan etika, dan kampanye kesadaran adalah alat yang efektif dalam memerangi perjokian dan memastikan bahwa lulusan farmasi memiliki pengetahuan, keterampilan, dan etika yang diperlukan untuk menjalankan profesi mereka dengan baik.

Perjokian dalam pendidikan farmasi bukan hanya masalah akademis, tetapi juga ancaman serius bagi masa depan kesehatan. Integritas dan kompetensi tenaga kesehatan adalah fondasi utama dalam menjaga keselamatan pasien.

Karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk memberantas perjokian dan memastikan bahwa lulusan farmasi memiliki kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan profesi mereka dan menjaga keselamatan pasien.

Sharon Susanto, Lecturer in Pharmacy, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Sharon Susanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *