Juliana Melawan Stigma: Kisah Sarjana Perempuan Pertama dari Suku Anak Dalam
Bagi sebagian perempuan adat, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi—apalagi menamatkannya tepat waktu—bukan sekadar urusan akademis. Ia adalah perjuangan melawan hambatan berlapis, mulai dari keterbatasan akses pendidikan, tekanan ekonomi, hingga aturan adat yang membatasi mobilitas perempuan. Hambatan itu sering kali datang dari luar komunitas, tapi tak jarang muncul dari dalam komunitas adat sendiri.
Juliana, 23, merasakan hal tersebut secara langsung. Sebagai satu-satunya sarjana perempuan dari Suku Anak Dalam (SAD), ia harus melewati rintangan yang enggak cuma menguji ketekunan, tetapi juga keberaniannya untuk keluar dari pola hidup yang dianggap “wajar” bagi perempuan adat.
“Mereka selalu ngomong kalau kami kuliah ini enggak ada apa-apanya. Enggak ada penghasilannya juga nantinya setelah lulus. Enggak jadi apa-apa,” ujarnya, mengenang komentar yang sering ia terima sejak awal berkuliah.
Pada 2024 lalu, Juliana resmi meraih gelar sarjana dari Fakultas Kehutanan, Universitas Muhammadiyah Jambi (UMJ), dengan predikat cum laude dan IPK 3,52. Ia masuk kampus melalui jalur afirmasi—kebijakan yang memang ditujukan untuk membuka akses pendidikan bagi kelompok marjinal—dengan pilihan jurusan yang sangat ia yakini: Kehutanan.
Bagi Juliana, hutan bukan sekadar ruang hidup, melainkan pusat identitas dan keberlangsungan komunitas SAD. Kesadaran itu ia bawa hingga ke meja penelitian. Skripsinya meneliti tanaman-tanaman obat yang tumbuh di hutan dan selama ini digunakan masyarakat SAD untuk pengobatan tradisional—pengetahuan ekologis yang diwariskan secara turun-temurun namun rawan tergerus modernisasi.
Baca juga: Dari Anak Buruh Migran Jadi Aktivis Gender: Cerita Nur Azila Rumi
Melawan Domestikasi dan Meruntuhkan Stigma
Perjalanan Juliana meraih gelar sarjana bukan hanya prestasi pribadi, tetapi juga penanda penting dalam sejarah perempuan setempat. Selama ini, hampir tidak ada ruang bagi perempuan SAD untuk mengakses pendidikan tinggi. Semua bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan sistem sosial-budaya yang menempatkan perempuan dalam lingkar domestik yang sempit.
Domestikasi ini tertanam kuat melalui aturan adat yang mengatur mobilitas perempuan. Dalam norma SAD, perempuan dianggap penjaga rumah dan hutan di sekitar permukiman. Pergi jauh dari orang tua—termasuk untuk melanjutkan sekolah—dapat dianggap melanggar adat. Aturan tersebut bukan hanya membatasi ruang gerak, tapi juga memperkuat anggapan bahwa pendidikan tinggi tidak relevan bagi perempuan.
Juliana mengalami sendiri konsekuensi dari norma ini. Keputusannya merantau ke kota untuk kuliah kerap memicu cibiran dan penilaian moral.
“Saya sering dikata-katain perempuan enggak baik-baik lah karena banyak keluarnya gitu. Padahal saya ke Jambi untuk kos supaya dekat kampus,” katanya pada Magdalene.
Selain batasan adat, Juliana juga harus menghadapi stigma yang lebih luas terhadap komunitas SAD. Suku ini kerap dicap “terbelakang” dan distereotipkan dengan sifat-sifat negatif seperti bodoh, jorok, bahkan bau. Stereotip itu bukan hanya melukai martabat, tetapi juga memengaruhi peluang mereka untuk diterima di ruang pendidikan dan kerja yang lebih luas.

Namun Juliana memilih untuk enggak terlalu larut dalam stigma yang diarahkan padanya. Ia fokus pada tujuan awal: Menyelesaikan pendidikan dan membuktikan perempuan Suku Anak Dalam mampu meraih capaian akademik setinggi siapa pun. Selama berkuliah, ia menemukan lingkar dukungan—dari teman-teman sekelas hingga dosen—yang memberi semangat dan membantu melewati masa-masa sulit. Support system tersebut menjadi bahan bakarnya selama ini.
“Saya pikir dengan saya masuk kehutanan ini saya bisa membantu komunitas saya,” ujarnya, menegaskan pendidikan yang ia jalani adalah bentuk investasi sosial untuk masa depan SAD.
Domestikasi ini tertanam kuat melalui aturan adat yang mengatur mobilitas perempuan. Dalam norma SAD, perempuan dianggap penjaga rumah dan hutan di sekitar permukiman. Pergi jauh dari orang tua—termasuk untuk melanjutkan sekolah—dapat dianggap melanggar adat. Aturan tersebut bukan hanya membatasi ruang gerak, tapi juga memperkuat anggapan bahwa pendidikan tinggi tidak relevan bagi perempuan.
Baca juga: Membuka Pintu, Menenun Harapan: Perjalanan Luna sebagai Transpuan di Dunia Kerja
Membangun Usaha dan Memberdayakan Perempuan Desa
Selepas lulus dan kembali ke Desa Dwi Karya Bakti, Bungo, Jambi, Juliana tidak memilih jalur pasif. Ia memutuskan bekerja dari akar rumput, membangun peluang ekonomi yang bisa mengangkat martabat perempuan desa. Memanfaatkan bantuan budidaya ikan dari pemerintah daerah, ia menggandeng sejumlah perempuan setempat untuk mendirikan usaha ikan asap yang diberi nama Mina Hasop Eluk.
Usaha ini bukan sekadar proyek ekonomi. Bagi Juliana, ini adalah langkah strategis untuk menantang pandangan bahwa perempuan SAD hanya pantas berada di ranah domestik. Dengan mengajak perempuan ikut serta dalam produksi dan pemasaran, ia ingin membuktikan bahwa mereka dapat berkontribusi secara langsung pada perekonomian desa dan mengambil keputusan terkait mata pencaharian.

Sebelumnya, Desa Dwi Karya Bakti telah mendapatkan pelatihan dan modal awal dari pemerintah daerah untuk membudidayakan ikan patin di kolam-kolam dekat permukiman. Program ini dirancang untuk menjadi sumber pendapatan baru bagi warga, khususnya perempuan, yang selama ini perannya dalam ekonomi desa sering diabaikan.
Dari hasil panen, sebagian ikan dipilih untuk diolah menjadi ikan asap—produk yang memiliki daya simpan lebih lama dan nilai jual lebih tinggi—sebelum dipasarkan ke berbagai daerah di Jambi.
Satu plastik ikan asap dipasarkan dengan harga antara Rp18 ribu hingga Rp20 ribu. Hingga kini, puluhan kilogram ikan asap telah terjual di berbagai festival kebudayaan, membantu menopang perekonomian perempuan Suku Anak Dalam.
Bagi banyak perempuan yang sebelumnya hanya mengandalkan hasil hutan atau pekerjaan informal berupah rendah, usaha ini memberi peluang baru untuk mandiri secara ekonomi sekaligus berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga.
Meski begitu, distribusi produk masih menghadapi hambatan. Pasar lokal di Jambi yang seharusnya menjadi target potensial belum sepenuhnya terbuka. Penyebabnya bukan pada kualitas atau kebersihan produk, melainkan stigma yang telah lama dilekatkan pada Suku Anak Dalam—dianggap tidak higienis atau tidak layak bersaing di pasar modern.
Situasi ini memperlihatkan tantangan pemberdayaan ekonomi perempuan adat tidak hanya terletak pada keterampilan dan modal, tetapi juga pada perubahan persepsi publik yang selama ini dibentuk oleh bias dan diskriminasi sosial.

Selain membangun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis sumber daya lokal, Juliana juga mengambil peran penting dalam pendidikan anak-anak Suku Anak Dalam. Ia menginisiasi kelas belajar membaca, menulis, dan berhitung di sebuah rumah pendamping komunitas yang disulap menjadi ruang belajar sederhana.
Bagi banyak anak di komunitasnya, akses ke pendidikan formal masih terbatas karena jarak sekolah yang jauh, keterbatasan biaya, dan aturan adat yang seringkali membatasi mobilitas, terutama bagi anak perempuan. Kehadiran Juliana memberi alternatif ruang aman untuk belajar, di mana anak-anak tidak hanya mendapatkan keterampilan dasar literasi, tetapi juga dorongan untuk bermimpi melampaui batas-batas yang selama ini dianggap tak mungkin dilanggar.
Baca juga: Ida Fitri adalah Pengeras Suara untuk Perempuan Aceh
Perjalanan Belum Usai
Meski gelar sarjana telah berhasil diraih, jalan Juliana belum sepenuhnya mulus. Ia kini tengah mencari peluang pekerjaan formal yang dapat menjadi wadah untuk mengasah keterampilan sekaligus memberi kontribusi lebih besar bagi komunitasnya. Namun, ia masih dihadapkan pada dua tantangan utama: Aturan adat yang membatasi perempuan untuk bekerja jauh dari rumah, serta terbatasnya lapangan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya di wilayah sekitar.
Kondisi ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak perempuan adat terdidik—mereka memiliki kapasitas, tetapi ruang untuk mempraktikkannya sering kali dibatasi oleh norma sosial dan struktur ekonomi yang sempit.
Ke depan, Juliana bermimpi agar semakin banyak perempuan Suku Anak Dalam bisa mengenyam pendidikan tinggi. Baginya, pendidikan tidak sekadar soal meraih gelar, tetapi merupakan proses pembebasan—membuka wawasan, mengasah kemandirian, dan menumbuhkan kepercayaan diri untuk menantang konstruksi sosial yang membatasi.
Ia berharap perjalanan yang ia tempuh bisa menjadi contoh, perempuan adat juga memiliki hak dan kemampuan yang setara untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
















