December 6, 2025
#WaveForEquality Issues Politics & Society

Di Balik Jumat Berkah: Solidaritas Perempuan vs Beban Perawatan yang Tak Pernah Usai 

Jumat Berkah bukan cuma soal berbagi makanan. Ia cerminan ‘collective care’ perempuan, sekaligus pengingat kerja perawatan masih terus ditumpukan pada mereka tanpa dukungan negara.

  • October 2, 2025
  • 5 min read
  • 4909 Views
Di Balik Jumat Berkah: Solidaritas Perempuan vs Beban Perawatan yang Tak Pernah Usai 

Ini adalah Jumat kesekian yang Elis, 51, lalui bersama ibu-ibu di lingkungannya. Selepas pandemi, ia bersama sekelompok perempuan berkumpul dalam Gerakan Jumat Berkah Kelapa Dua. Setiap pekan, mereka rutin membagikan santapan kepada siapa saja yang membutuhkan. 

Tepat setelah salat Jumat, para perempuan ini menempati pos-pos yang sudah disepakati. Sekitar 75 kotak nasi lengkap dengan lauk, air minum, dan camilan disebarkan ke warga sekitar Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. 

Praktik serupa juga hadir di banyak tempat lain. Melansir CNN Indonesia, kelompok ibu di Sidoarjo, Jawa Timur sudah melakukan hal ini sejak 2018. Mereka biasanya berkumpul di salah satu rumah anggota untuk menyiapkan makanan. Bukan hanya satu dapur, melainkan banyak dapur yang ngebul sekaligus. Hal ini sekaligus menjadi simbol gotong royong warga, khususnya perempuan. 

Contoh paket jumat berkah (Foto: Dokumentasi Elis)

Baca juga: Apa itu ‘Collective Care’: Saling Jaga Warga di Tengah Rezim yang Menekan 

Berkolektif dan Merawat Sesama 

Awalnya, Elis mengaku aksi ini diniatkan sebagai sedekah. Namun dalam praktiknya, Jumat Berkah juga bisa memberdayakan ibu-ibu yang berjualan bahan makanan, mulai dari nasi, pecel, hingga ayam goreng. 

Setiap minggu, para anggota mengumpulkan sumbangan, lalu membagi tugas. Elis, misalnya, mendapat tanggung jawab sebagai penanggung jawab karbohidrat. Maka dengan dana yang tersedia, ia bakal menunjuk ibu penjual sarapan untuk menyiapkan 100 porsi nasi putih. Dari setiap kepal nasi, sang penjual mendapat keuntungan Rp1.000 hingga Rp2.000. 

“Misalnya kayak minggu lalu, itu aku tunjuk aja nasi Siti buat bikin karbohidratnya. Alokasinya Rp5 ribu gitu untuk satu nasi. Nah, terserah deh nanti dia mau ambil untung berapa. Jadi tiap ibu bisa dapat untung juga dari menu yang mau dibagikan,” jelas Elis. 

Sistem penunjukan ini bergilir. Khusus lauk pauk, Elis memutar kesempatan pada ibu-ibu lain. Kadang, ia langsung memberikan anggaran untuk satu paket nasi lengkap. 

“Kadang aku kasih juga itu ke Ceu Juju. Nanti dia bikin sama ayam gorengnya, tempe, sampe kerupuk. Cuma karena dia niat berbagi juga, jadi mungkin enggak ambil untung banyak,” tambahnya. 

Menurut Elis, pola ini menguntungkan banyak pihak. Warga yang menerima makanan terbantu, sementara para ibu bisa tetap menjaga dapurnya ngebul. “Jadi ajang buat saling bantu juga ke sesama ibu-ibu. Yang jualan, kita kasih kesempatan buat berbagi tapi sambil ambil keuntungan.” 

Dalam gerakan feminisme, praktik yang Elis dan ibu-ibu lakukan dalam Gerakan Jumat Berkah merupakan bentuk dari collective care. The Women Foundation menyebut, praktik ini merupakan bentuk resiliensi komunitas yang berperan penting dalam pemberian dukungan.  

Perempuan yang tergabung dalam Gerakan Jumat Berkah, bisa saling memberi dukungan dengan cara beragam. Tidak selalu uang atau bahan makanan, tenaga yang mereka curahkan saat menyiapkan, membungkus, hingga membagikan nasi kotak di jalan juga menjadi kunci keberlangsungan aksi. Elis menekankan, tidak ada syarat khusus untuk bergabung. “Asal mau berperan, bagi-bagi ke jalan juga udah sangat membantu satu sama lain,” ujarnya. 

Praktik seperti tersebut tampak sederhana, tetapi sarat makna politik. United Nations Girls’ Education Initiative (UNGEI) menyebut aksi perawatan kolektif semacam ini bagian dari etika feminis. Maksudnya, komunitas menanggung tanggung jawab bersama atas kesejahteraan anggotanya. Dalam kerangka ini, collective care bukan sekadar gotong-royong, melainkan strategi radikal untuk bertahan hidup di tengah sistem yang sering kali abai.

Ia memperlihatkan bagaimana warga, terutama perempuan, mengisi celah yang ditinggalkan negara. Di saat bersamaan, ia menawarkan cara pandang baru tentang masa depan yang dibangun di atas solidaritas, alih-alih kompetisi dan pasar. 

Baca juga: ‘Collective Care’ Tak Bernama tapi Anak Saya Sudah Tahu Gilirannya 

Solidaritas yang Menguatkan dan Beban Merawat yang Berulang 

Meski mendatangkan banyak manfaat, nyatanya perawatan kolektif yang kerap dilakukan perempuan ini masih menyimpan efek samping. Dalam riset bertajuk “The Ethics and Politics of Care: Reshaping Economic Thinking and Practice” (2022) disebutkan, kerja perawatan yang dilihat remeh dan tidak produktif membuat collective care perempuan sering kali tidak dianggap. 

Ini senada dengan temuan Diana Theresia Pakasi, Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, dan Marino Purnamasari, peneliti Unit Kajian Gender dan Seksualitas (GENSEKS) pada 2024. Keduanya menemukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kelompok perempuan yang berkolektif dan melakukan kerja perawatan, dari membersihkan, mengelola sampah, dan menjaga lingkungan, masih belum diakui secara luas. 

Temuan itu menguatkan pekerjaan merawat kerap dianggap “wajar” untuk perempuan. Norma tradisional yang melekat pada peran gender membuat kerja-kerja kolektif perempuan, betap apun pentingnya, dipandang biasa dan tidak dihargai. Akibatnya, lahir beban kerja tambahan yang tersembunyi, tidak diakui, dan sulit ditawar. 

Meski riset tersebut tidak secara khusus menyoroti Gerakan Jumat Berkah, Diana dan Marino menekankan pentingnya pengakuan serta dukungan nyata bagi kerja perawatan kolektif yang dilakukan perempuan tanpa upah. Tanpa itu, solidaritas komunitas berisiko terus dipandang sekadar pelengkap, alih-alih kerja penting yang menopang keberlangsungan hidup bersama. 

Baca juga: ‘Ratu Ratu Queens: The Series’ dan Collective Care yang Menyelamatkan Mereka 

Senada dengan yang diungkapkan oleh United Nation Girls’ Education Initiative, collective care tetap bukan pengganti hukum dan kebijakan komprehensif yang memenuhi kebutuhan berbagai populasi. Praktik saling jaga ini penting, namun tanpa dukungan negara dalam bentuk regulasi, perlindungan sosial, dan distribusi kerja perawatan yang lebih adil, perempuan akan terus menanggung beban ganda.

Gerakan seperti Jumat Berkah justru memperlihatkan betapa urgen kehadiran kebijakan publik yang tidak hanya mengakui, tapi juga menopang kerja-kerja perawatan kolektif agar tidak berhenti sebagai inisiatif komunitas semata.  

This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).