Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
Apakah perusahaan media sudah cukup melindungi para jurnalis perempuan yang rentan alami KBGO?
Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung gambaran tentang kekerasan seksual.
Memasuki tahun kelima sebagai reporter televisi, “Ita” merasa kehilangan orientasi dalam melakukan pekerjaan. Ia kerap menangis, mengalami mood swing, dan sering absen kerja berhari-hari. Alhasil, Ita konsultasi ke psikolog untuk mencari bantuan.
Selain gara-gara meliput hal traumatis, kondisi psikologis Ita terganggu lantaran mengalami trolling—salah satu jenis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), di grup percakapan redaksi. Tubuh dan seksualitasnya dihina lewat pesan-pesan dari berbagai anggota grup. Alhasil, ia cukup lelah dengan situasi di tempat kerja. Kata Ita, tak ada yang bisa memahami kondisi saat itu. Termasuk sesama rekan kerja perempuan sekali pun.
“Sebagai perempuan, (waktu itu) aku merasa gagal karena enggak bisa melawan sistem,” ujar Ita.
Puncaknya, ia ingin meninggalkan industri media. Namun, Ita menganggap dirinya lemah jika berhenti sebagai jurnalis. Di saat bersamaan, Ita sadar, posisinya sebagai reporter tak cukup untuk mengubah sistem yang mengakar di dunia jurnalisme. Ita pun memutuskan pindah bekerja ke industri kreatif.
Sesekali, Ita masih menulis untuk media, khususnya yang dianggap inklusif, aman, dan memiliki Standard Operational Procedure (SOP) kekerasan seksual, meski tak dimungkiri, ada perasaan gagal yang meliputi.
“Enam setengah tahun aku belajar (jurnalisme), punya cita-cita besar, pengen jadi jurnalis perempuan. Rasanya enggak enak banget ada mimpi terpendam,” cerita Ita.
Pengalaman Ita mencerminkan kerentanan berlapis yang dialami jurnalis perempuan: dari identitas gender yang masih dianggap warga kelas dua oleh sistem patriarki, maupun pekerjaan yang rawan karena meliput isu sensitif. Risikonya, jurnalis perempuan rentan mengalami kekerasan, yang kini meluas ke ranah daring atau disebut KBGO.
Dalam riset Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia (2023), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, 26,8 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan daring. Sementara 37,7 persen jurnalis mengalami kekerasan daring dan luring. Di antaranya menerima teks dan audio visual bersifat seksual dan eksplisit, penghinaan bersifat seksual, serta body shaming.
Namun, jenis KBGO yang dialami jurnalis perempuan bukan hanya itu, bahkan semakin beragam. Contohnya deepfake, yang dialami oleh CEO Rappler, Maria Ressa. Video deepfake yang beredar di Facebook dan Bing itu, menggunakan suara palsu dari Artificial Intelligence (AI). Seolah Ressa mengatakan, ia menerima penghasilan dari Bitcoin—mata uang kripto.
Video tersebut merupakan manipulasi, dari wawancara Ressa dengan Stephen Colbert dalam sebuah talk show pada 2022. Mereka membicarakan buku yang ditulis Ressa, maupun kasus yang dilayangkan terhadap Ressa dan Rappler, atas dorongan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Bertambahnya jenis kekerasan terhadap jurnalis perempuan, menunjukkan meningkatnya ancaman bagi kebebasan pers. Menurut Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis, KBGO mengganggu fungsi jurnalis sebagai watchdog kekuasaan, membuat kredibilitas jurnalis dipertanyakan, dan dapat menghentikan peliputan suatu kasus. Terlebih jika perusahaan media tidak memberikan dukungan, pada jurnalis yang mengalami KBGO.
Masalahnya, perempuan menghadapi beberapa lapisan yang tak terlihat—seperti budaya, kelas, ras, agama, seksualitas, identitas gender, dan pekerjaan. Ini membuat KBGO yang dialami jurnalis perempuan dinilai sebagai sesuatu yang lumrah, bagian dari kultur kerja. Padahal, industri media yang masih didominasi laki-laki adalah faktornya.
Baca Juga: Hati-hati Di Internet dan Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal KBGO
Industri Media yang Maskulin dan Perlindungan yang Minim
Penelitian AJI pada 2021 menunjukkan, persentase jurnalis perempuan di Indonesia hanya sekitar 20 persen. Artinya, industri media masih didominasi laki-laki. Kondisi ini bukan hanya ditampilkan melalui jumlah persentase, melainkan kultur pekerjaan diskriminatif terhadap jurnalis perempuan. Dan pekerjaan jurnalis pun identik sebagai “pekerjaan laki-laki”.
Misalnya dari penugasan liputan. Jurnalis perempuan ditugaskan untuk meliput gaya hidup, fesyen, kecantikan, dan hiburan. Sementara laki-laki memegang isu “serius”, seperti hukum dan politik.
Kemudian dari aspek pengembangan karier. Ekspektasi peran gender menambah beban kerja jurnalis perempuan, yang diharapkan mengutamakan tugas domestik ketimbang karier. Ini bertolak belakang dengan laki-laki, yang berpeluang lebih besar untuk meraih puncak jabatan. Sebab, pemimpin laki-laki lebih umum di mata masyarakat.
Belum lagi minimnya ruang yang sensitif gender. Dalam riset Remotivi bertajuk Mengapa Ada Banyak Mahasiswi Jurnalistik tetapi Sedikit Jurnalis Perempuan? (2021) disebutkan, ada perbedaan risiko pekerjaan dalam pandangan mahasiswa jurnalistik laki-laki dan perempuan: laki-laki mempertimbangkan risiko keamanan, sedangkan perempuan memperhatikan kerentanannya mengalami pelecehan dan seksisme.
Realitas ini dipertebal dengan redaksi yang belum berperspektif gender, dan menormalisasi kekerasan terhadap jurnalis perempuan.
Setelah mengalami KBGO yang dilakukan oleh rekan kerja laki-laki, Ita melapor ke bagian Human Resources (HR) atau Sumber Daya Manusia yang dijabat oleh seorang staf perempuan. Harapannya, pihak HR bisa memahami dan membantu kasusnya. Namun, staf HR tersebut justru menganggap, kekerasan itu merupakan hal wajar di kalangan jurnalis.
“Di situ aku baru ngerti, enggak semua perempuan punya perspektif (gender). Banyak yang menginternalisasi budaya patriarki,” ungkap Ita.
Sebenarnya, Ita dan pelaku punya jabatan yang setara di pekerjaan. Namun, trolling berupa serangan terkait ketubuhan yang dialami Ita, menunjukkan bahwa laki-laki mendominasi dan mampu mengontrol perempuan—atau minoritas gender lain.
Selain faktor gender, relasi kuasa dalam kasus KBGO dilatarbelakangi oleh perbedaan kedudukan di institusi. Hal itu dialami “Gianty”, reporter di media, yang menerima pesan teks bernuansa seksual dari atasan.
Waktu itu, ia tak melaporkan kasusnya. Sebagai karyawan baru di perusahaan tersebut, Gianty tak tahu harus melapor ke siapa, dan merasa mampu menangani sendiri. Karenanya, Gianty berusaha untuk menerima apa yang sedang ia alami, sekaligus menghindari interaksi personal dengan pelaku—meski keduanya harus berkomunikasi terkait pekerjaan.
“Misalnya atasanku ini chat soal kerjaan di grup kantor dan secara personal. Aku balas chat-nya di grup aja, chat pribadi enggak kurespons,” ucap Gianty.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Gianty bisa dihindari atau dicegah jika pemberi kerja memiliki kebijakan khusus tentang kekerasan berbasis gender, termasuk KBGO. Mengingat lekatnya pekerjaan jurnalis dengan teknologi digital, maka penting bagi perusahaan pers untuk mencegah dan melindungi jurnalis mereka dari KBGO. Selain itu perusahaan juga harus memberikan pendampingan bagi jurnalis yang menjadi korban—terutama setelah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan.
Upaya tersebut bisa dilakukan redaksi, dengan menyusun kebijakan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Salah satu media yang menerapkan kebijakan tersebut adalah IDN Times, sejak 2022.
Kesadaran IDN Times membentuk SOP kekerasan seksual muncul dari kondisi selama pandemi ketika angka kekerasan seksual meningkat, dan pengesahan UU TPKS terus didorong. Ditambah salah satu konten pilar yang dipegang IDN Times, adalah anti kekerasan seksual.
“Ada kondisi yang membuat kami sadar, selama ini cuma memberitakan kekerasan seksual. Tapi kok enggak punya (kebijakannya) sendiri?” kata Uni.
SOP kekerasan seksual milik IDN Times meliputi definisi kekerasan seksual, pelecehan seksual, siapa yang menjadi korban, lingkungan kerja, pihak perusahaan, dan yang termasuk karyawan. Kemudian bentuk-bentuk pelecehan seksual dan kekerasan seksual, diikuti pencegahan dan penanganan keduanya. SOP tersebut juga menjelaskan sistem pelaporan, serta sanksi bagi pelaku. Namun, kebijakan ini memang belum mencakup KBGO.
“(Untuk KBGO) baru mau dimasukkan ke SOP. Cuma internal kami beberapa kali mengadakan training KBGO,” terang Uni.
Lain halnya dengan KBR Media. Editor in Chief KBR Media Citra Dyah Prastuti mengatakan, saat ini sedang menyusun SOP kekerasan seksual, bersama serikat pekerja dan perwakilan karyawan. Citra mengungkapkan, penyusunan tersebut merupakan dorongan dari disahkannya UU TPKS, serta Citra yang menjadi trainer Gender, Equality, Diversity, and Inclusion (GEDI)—sehingga ada pengetahuan baru.
“Kami sempat kebingungan mengatasi kasus. Jadi pakai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk mengawal kasus, dan konsultasi ke pakar yang biasa menangani kasus kekerasan seksual,” jelas Citra.
Sayangnya, KBR Media dan IDN Times hanyalah segelintir media, yang punya kesadaran menyusun panduan penanganan kekerasan seksual. Kompas.com dan Suara.com termasuk dua perusahaan media besar yang belum memiliki kebijakan khusus untuk menangani kekerasan seksual. Keduanya mengamini bahwa jurnalis perempuan rentan mengalami KBGO, tetapi belum merasa perlu membuat SOP khusus penangannya.
Untuk penanganan kekerasan seksual, Kompas.com menggunakan aturan perusahaan Kompas Gramedia. Menurut Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho, di dalamnya terlampir penanganan kekerasan secara umum, bukan spesifik kekerasan seksual.
Saat ditanya mengapa belum ada SOP kekerasan seksual, Wisnu menjawab, “Sudah tercakup di situ (aturan perusahaan Kompas Gramedia). Lebih penting di sanksi kalau ada kejadian, daripada banyak aturan tapi enggak ada penindakan.”
Sementara di Suara.com, Pemimpin Redaksi Suwarjono mengatakan, penanganan KBGO—maupun jenis kekerasan seksual lainnya—mengacu pada aturan yang dikeluarkan oleh organisasi dan asosiasi pers. Menurutnya, itu sudah cukup untuk menangani kasus KBGO yang dialami jurnalis, sehingga Suara.com tidak menambah aturan di internal.
“Kalau (KBGO terjadi secara) masif, mungkin baru kami pertimbangkan untuk membuat (SOP kekerasan seksual) sendiri,” ungkap Suwarjono.
Sebenarnya, Kompas.com dan Suara.com sadar akan KBGO terhadap jurnalis. Pemimpin redaksi kedua media tersebut pun mengamini, jurnalisnya pernah mengalami doxing—penyebaran informasi pribadi seperti nama, alamat rumah, nomor telepon, dan informasi terkait keluarga.
Penanganannya yang belum khusus mencerminkan kerentanan jurnalis perempuan—dan minoritas gender lain—belum sepenuhnya dilihat ataupun dipahami. Salah satu dampaknya adalah KBGO dinilai sebagai risiko pekerjaan.
Baca Juga: Spill The Tea Kekerasan Seksual yang Bahayakan Korban
Mengantisipasi “Risiko Pekerjaan”
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum melihat, faktor yang melatarbelakangi KBGO terhadap jurnalis sangat luas. Ruang redaksi dan industri media yang maskulin, membuat adanya resistansi ketika pengalaman jurnalis tentang KBGO diangkat—seperti penyalahan terhadap korban. Hal itu membuat jurnalis perempuan menormalisasi keadaan saat mengalami KBGO, karena kekerasan dianggap sebagai bagian dan risiko pekerjaan.
Situasi tersebut pernah dialami “Rani”, sewaktu mengalami trolling dan doxing usai melakukan pemeriksaan fakta. Ia tidak terlalu mempermasalahkan serangan tersebut dan menganggapnya konsekuensi pekerjaan. Di samping itu, Rani merasa tidak punya kapasitas jika dilanjutkan ke jalur hukum karena memiliki pekerjaan harian yang harus dikerjakan.
“Dan menurutku, informasi yang disebarkan (pelaku) memang ada di internet, jadi enggak terlalu krusial,” tutur Rani. “Enggak sampai nyari ke rumah, atau informasi pribadi lebih lanjut.”
Terlepas dari merasa tak punya kemampuan menindaklanjuti kasus, sebenarnya Rani mempertanyakan satu hal: kasus KBGO seperti apa yang perlu diusut?
Nenden menjelaskan, tak ada indikator tegas perihal kasus yang perlu diintervensi atau diabaikan. Yang penting adalah kembali pada perspektif korban, lantaran tingkat pemahaman dan respons setiap orang terhadap suatu kasus beragam. Bukan dilihat berdasarkan “besar atau kecilnya” kasus.
“Kalau (korban) merasa terganggu, terdampak ke mental dan pekerjaan, penanganannya harus diprioritaskan. Memang redaksi perlu mengecek kondisi korban,” jelas Nenden.
Tak lupa peran Dewan Pers dan AJI. Sebagai asosiasi, AJI dapat mendorong pemahaman jurnalis, bahwa mereka berhak menuntut ruang redaksi yang lebih aman—bahkan memiliki SOP kekerasan seksual. Sedangkan Dewan Pers berwenang untuk mewajibkan perusahaan pers, dalam mengadopsi dan memberlakukan SOP tersebut.
Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan Dewan Pers pada 2023, mereka berkomitmen menghadirkan regulasi internal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dalam wawancara bersama Magdalene, Uni Lubis juga menyebutkan, SOP tersebut harusnya akan menjadi syarat verifikasi perusahaan pers. Namun, belum ada informasi lebih lanjut.
Terlepas dari pentingnya keterlibatan asosiasi dan perusahaan pers dalam pencegahan dan perlindungan jurnalis dari KBGO, kondisi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab redaksi. Ada platform digital yang perlu ikut berperan.
Dalam hal ini, platform digital bertugas menjamin keamanan beraktivitas online—yang menurut Nenden adalah tantangan besar. Sebab, platform digital perlu berkomitmen menciptakan ruang aman agar pengguna terhindar dari KBGO.
Sebenarnya, setiap platform digital punya kebijakan dan pedoman komunitas. Misalnya di TikTok, terdapat larangan mengunggah konten berupa intimidasi, pelecehan dan kekerasan, diskriminasi terhadap seluruh golongan, dan muatan seksual. Pengguna pun dilarang membuat identitas palsu.
Kebijakan serupa dimiliki X (dulunya Twitter). Platform ini melarang ancaman kekerasan dan kebencian. Selain itu, larangan juga berlaku untuk ungkapan rasis, seksis, intimidasi, melecehkan, dan menyerang orientasi seksual maupun identitas gender, serta penyusupan akun, doxing, dan manipulasi identitas.
Meta memiliki beberapa kebijakan berkaitan dengan KBGO: tidak dibenarkan mendorong kekerasan atau menyerang seseorang berdasarkan latar belakang apa pun, konten perundungan dan pelecehan kemungkinan melanggar standar komunitas, serta larangan konten mengeksploitasi seks—termasuk sextortion dan penyebaran konten intim nonkonsensual.
Ketiga platform tersebut memiliki respons serupa dalam menangani krisis: Pemblokiran dan penonaktifan akun, penghapusan konten yang melanggar ketentuan platform, membatasi engagement di X, serta pelaporan eksploitasi dan pelecehan seksual remaja khusus di TikTok. Namun, butuh waktu untuk perkembangan laporan.
Dalam kasus KBGO yang dialami Rani, editornya saat itu melaporkan kasus ke Meta. Perusahaan tersebut kemudian menonaktifkan akun medsos pelaku. Sayangnya, pelaku membuat akun baru dan memblokir akun Rani. Artinya, masih ada celah untuk pelaku KBGO di Meta.
Untuk memahami lebih lanjut tentang kebijakan penanganan KBGO, Magdalene berupaya menghubungi Meta. Namun, Meta menolak diwawancara. Sementara X dan TikTok tidak merespons permintaan wawancara.
Mengamati cara platform digital menangani KBGO, Nenden menilai sejauh ini penindakan maupun mitigasi kasus masih dalam batas minimum. Menurutnya, medsos bertanggung jawab untuk menciptakan ruang aman di platform bagi siapa pun.
“Mereka (platform digital) bisa menerapkan pedoman komunitas dengan lebih tepat, gimana supaya bisa merespons dengan cepat,” ujar Nenden. “Soalnya, selama ini respons kasus KBGO itu nunggu seminggu atau beberapa pekan.”
Masalahnya, semakin lama konten yang termasuk KBGO dibiarkan, akan semakin meningkatkan dampaknya. Sebab, konten tersebut akan mudah dimultiplikasi dengan diunduh dan disebar ulang. Maka itu, platform digital perlu memiliki prioritas dan sistem penanganan yang baik, supaya ekosistem digital lebih aman.
Sebenarnya, pengguna platform digital pun berperan dalam menciptakan ruang digital yang aman. Setidaknya kita bisa menuntut hak dari pihak platform, yang selama ini memanfaatkan data dan mengkapitalisasi kegiatan di medsos. Contohnya melakukan tekanan publik berskala besar, atau mengadakan aksi dan memboikot platform, saat mereka tidak segera merespons laporan kasus KBGO.
Meski demikian, Nenden menggarisbawahi, tuntutan juga perlu disampaikan pada pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk memastikan keamanan warga negaranya dari KBGO. Dengan kata lain, penanggung jawab persoalan ini adalah orang-orang yang berkuasa.
Baca Juga: Kasus KBGO Makin Marak di Indonesia
Tantangan Redaksi Menciptakan Ruang Aman Bagi Jurnalis
Baik Kompas.com maupun Suara.com, mengamini bahwa di redaksi pernah terjadi KBGO terhadap jurnalis akibat peliputan tertentu. Kepada Magdalene, Wisnu dan Suwarjono menceritakan penanganan yang dilakukan.
Di Kompas.com, biasanya redaksi menanyakan kondisi jurnalis. Jika terganggu, jurnalis bersangkutan diberikan perlindungan, dengan tidak melakukan aktivitas jurnalistik terkait topik yang sedang ramai. Atau topik liputan yang membuatnya di-doxing, agar terhindar dari kejadian lebih buruk.
Sedangkan Suara.com memiliki cara variatif dalam menangani KBGO, bergantung pada jenis serangannya. Misalnya menyerang tulisan yang diunggah lewat medsos Suara.com, tim medsos akan menghapus komentar tersebut. Atau memaparkan fakta terkait isu yang dicap misinformasi oleh netizen.
Lain lagi untuk pencegahan jurnalis dari kasus KBGO. Kompas.com memastikan produk jurnalistiknya jelas. Yakni mengacu pada kode etik dan panduan untuk editor serta reporter, agar berhati-hati dalam menggarap isu sensitif. Seperti seputar agama, suku, ras, dan politik elektoral karena mudah menyulut sentimen dan membelah masyarakat.
Sementara Suara.com mencegahnya dengan tidak menampilkan nama penulis, di artikel yang mengkritik suatu isu maupun bersifat sensitif. Biasanya ditulis atas nama “tim redaksi”, atau menyertakan beberapa nama penulis agar serangan tidak berpusat pada satu orang.
Upaya lainnya adalah menutup kolom komentar di medsos, apabila konten yang dipublikasikan krusial dan berisiko penyerangan dari pihak tertentu.
Meski selama ini kedua redaksi mampu mengatasi dan mencegah kasus, pengakuan kemungkinan terjadinya KBGO tetaplah penting. Sebab, ruang aman akan sulit diciptakan apabila redaksi tak peduli, ataupun sadar akan potensi KBGO yang dialami jurnalis. Dan perusahaan pers perlu menyediakan infrastruktur agar jurnalis bisa bekerja dengan aman.
Jika ruang redaksi tak mengacuhkan, menurut Nenden, jurnalis yang adalah korban akan disalahkan karena tidak menjalankan SOP keamanan. “Layer KBGO ini luas dan kompleks. Ketika ruang redaksi atau jurnalis paham kompleksitas itu, mereka akan mengadaptasi penanganan awal KBGO,” katanya.
Hal serupa dibenarkan oleh Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Tempo Digital, Wahyu Dhyatmika. Ia menilai, perlu ada peningkatan dari kesadaran individu—contohnya pemimpin—terkait keberagaman.
Kesadaran tersebut kemudian diadaptasi dan disosialisasikan sebagai kebijakan oleh institusi, agar terinternalisasi menjadi struktur, budaya, dan nilai yang dipegang perusahaan pers. Misalnya dengan mengadakan pelatihan berkala dan adaptif terkait pola ancaman dan kekerasan seksual, serta prosedur penanganan kasus kekerasan.
“Kalau kesadarannya dituangkan dalam kebijakan dan disosialisasikan, baru bisa dipastikan ada perubahan,” terang Wahyu. “Dari redaksi yang maskulin, jadi lebih sensitif gender, beragam, dan sadar terhadap perlindungan dan keselamatan pekerjanya.”
Saat ini, AMSI memiliki program terkait perlindungan jurnalis dari KBGO, yang akan disosialisasikan di kalangan anggota AMSI pada akhir April mendatang. Harapannya, program tersebut dapat diadopsi setiap media yang menjadi anggota AMSI. Bahkan diperkenalkan ke Dewan Pers supaya menjadi keputusan, dan diangkat asosiasi pers lain agar menjadi standar perusahaan pers.
Meski kesadaran untuk melindungi jurnalis dari KBGO meningkat dan difasilitasi dengan kebijakan, bukan berarti tak ada kendala bagi AMSI dalam sosialisasi. Wahyu menuturkan, tantangannya adalah memastikan kesamaan persepsi dalam melihat KBGO sebagai ancaman serius.
Penyebabnya adalah bias gender dan redaksi yang memahami isu KBGO dari perspektif berbeda. Karenanya, perlu keterlibatan eksternal agar perusahaan pers dan pemimpin redaksi dapat menyadari bias tersebut.
Sedangkan Tempo, berdasarkan keterangan Wahyu, belum memiliki SOP kekerasan seksual. Selama ini mengacu pada kode etik perusahaan, yang dirumuskan oleh serikat pekerja di internal bersama manajemen.
Namun, Wahyu menyetujui, SOP yang lebih spesifik terkait kekerasan diperlukan. Mengingat model kekerasan terus berkembang, sehingga aturan perlindungannya harus adaptif dan sesuai level ancaman.
“Kita enggak bisa mengeklaim aturannya sudah ada, karena jenis dan variasi ancaman (kekerasan) juga berkembang,” tegas Wahyu.
Konten ini dibuat oleh Magdalene.co, menjadi bagian dari kampanye #Jagaruangonline dengan pendanaan dari Indonesia Media Development Program, yang diimplementasi oleh ABC International Development dan didanai oleh Pemerintah Australia di bawah Strategi Penyiaran Indo-Pasifik. Berdasarkan kebijakan dan panduan editorial Magdalene.co dengan tetap mempertahankan independensi editorial Magdalene.co.