Jalan Panjang Pekerja Rumah Tangga Cari Keadilan, Negara ke Mana?
Tujuh belas tahun mencari keadilan dan diabaikan negara, bagaimana nasib perempuan pekerja rumah tangga kini?
Mereka sudah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Namun, tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat. Para perempuan pekerja rumah tangga (PRT) itu masih belum berhasil mendapat upah layak, tak punya jam kerja yang jelas, boro-boro dapat jaminan dan perlindungan dari negara. Di sisi lain, posisi mereka sebagai pekerja pun kerap dibedakan dengan buruh-buruh lainnya.
Para PRT ini memang tak melawan pihak pemberi kerja, melainkan negara yang memberi harapan palsu soal perlindungan hukum. Hingga artikel ini ditulis, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diusulkan Parlemen sejak 2004 itu masih mangkrak. Padahal RUU itu digadang-gadang menjadi benteng terakhir PRT untuk meningkatkan “posisi tawar” mereka.
RUU ini sendiri sudah dibahas lama sejak pertama diusulkan. Bahkan Badan Legislasi Nasional (Baleg) Parlemen periode 2020-2021 telah menyusun naskah RUU PPRT dan disetujui oleh tujuh fraksi di DPR. Pleno Baleg DPR RI pada 1 Juli 2020 memutuskan RUU PPRT untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI agar ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Namun, hingga kini pembahasannya belum juga tuntas.
Alhasil, satu-satunya “benteng” sementara yang diterima PRT adalah Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun ini saja tak cukup, mengingat Peraturan Menteri biasanya bersifat terbatas pada pengakuan dan belum menyentuh dimensi perlindungan yang lebih substantif.
Baca juga: Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi
Diskriminasi dan Mispersepsi Turut Berperan
Berlarat-laratnya pembahasan RUU PPRT dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah diskriminasi jamak yang memang sudah terjadi bertahun-tahun dan tetap dilanggengkan sampai sekarang. Bagaimana tidak diskriminatif? Untuk hal paling sederhana soal penyebutan saja, orang-orang cenderung lebih senang melabeli PRT sebagai Asisten Rumah Tangga, Pembantu, atau sebutan lainnya. Imbasnya, PRT tak dianggap sebagai profesi yang setara dengan pekerja lain.
Pada 16 Juni 2011, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi 189 dan Rekomendasi 201 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Konvensi dan rekomendasi ini merupakan tonggak penting terhadap pengakuan PRT sebagai pekerja yang berhak atas hak-hak dan perlindungan tenaga kerja yang setara dengan semua pekerja lainnya. Sayangnya, memberi pemahaman ini kepada masyarakat ternyata tak semudah yang kita kira.
Perlu diketahui pula, mayoritas PRT adalah perempuan dan jumlahnya terus meningkat. Mengacu pada Survei ILO dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT di Indonesia sebanyak 4,2 juta. Sebanyak 84 persen di antaranya adalah perempuan, dan 14 persen merupakan pekerja anak. Sementara, Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) 2019 mencatat, selama 2017-2019, penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terdiri atas pekerja perempuan sebanyak 70 persen, dengan 33,4 persen disalurkan sebagai PRT. Senada, Laporan World Bank juga menyampaikan, dari 9 juta PMI, 32 persen adalah PRT.
Baca juga: Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak
Dominannya pekerja perempuan itu membuat kita sadar akan dua hal. Pertama, mereka kerap dirugikan karena kerja-kerja domestik yang berat, bahkan cenderung tak masuk akal. Mulai dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, membersihkan halaman dan/ atau kebun tempat tinggal pemberi kerja, merawat anak, menjaga orang sakit, dan/ atau orang yang berkebutuhan khusus, mengemudi, menjaga rumah, dan/ atau mengurus binatang peliharaan.
Kedua, PRT perempuan khususnya, rentan menghadapi kekerasan, karena wilayah kerjanya yang tertutup (invisible work) dari pengawasan pihak lain. Terkait ini, ILO sendiri pada 2019 membenarkan, PRT berpotensi mengalami kekerasan dan eksploitasi, baik fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
Klaim ILO bukan pepesan kosong. Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2020 merekam 34 kasus terkait PRT sepanjang 2019. Sementara, Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyebutkan, dalam kurun waktu 2012-2019 terdapat lebih dari 3.219 kasus kekerasan PRT, seperti kekerasan psikis (isolasi dan penyekapan), fisik, ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), dan perdagangan orang. Pada masa pandemi COVID-19, situasi PRT menjadi semakin buruk dan potensial memicu kemiskinan baru.
Baca juga: Lindungi Pekerja Migran Indonesia dari Virus COVID-19
Kepastian Hukum
Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT harus segera diwujudkan melalui pengesahan RUU PPRT. Pasalnya, RUU PPRT bisa memberi rasa aman dan kepastian hukum buat kelompok PRT. Selain itu, RUU ini pun sejalan dengan dasar negara Pancasila, terutama sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, serta Pasal 28D ayat (2) UUD ‘45 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Di sisi lain, sebagai masyarakat sipil, ada beberapa upaya yang juga dapat kita lakukan untuk melindungi PRT. Di antaranya, apabila mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan terhadap PRT, wajib mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; serta melaporkan kepada pihak yang berwenang.
Kenapa peran masyarakat sipil perlu ditekankan? Sebab, dalam hemat saya, upaya perlindungan ini mestilah dilakukan secara gotong royong oleh setiap warga negara. Terlebih, kita sudah terlalu lama dikecewakan negara, sehingga akan sia-sia terus berharap pada mereka.