Kalau Istri Bisa Segalanya, Tugas Suami Apa?
Setelah seharian bertarung di jalan, ditekuk macet dan dihajar lelah, saya butuh jeda 15 menit. Ruang kecil untuk mengatur napas, supaya ketika membuka pintu rumah saya tidak menyeret “sampah jalanan” dan masih bisa menyapa istri dengan senyum.
Malam itu, saya memarkir taksi daring di depan sebuah gerai Indomaret di Jakarta Selatan. Kursi besi toko swalayan ini adalah ruang ganti saya. Tempat saya melepas wajah lelah, dan memasang topeng “Suami Kuat”.
Saya duduk, meneguk kopi dingin, lalu menggulir ponsel. Jempol saya berhenti pada berita tentang Sopyah, perempuan Indramayu yang menyamar jadi laki-laki demi bisa bekerja sebagai kuli bangunan. Mengaduk semen, mengangkat bata, berdiri berjam-jam di bawah matahari.
“Gila,” batin saya, “perempuan bisa sekuat ini?”
Baca juga: Bukan Urusan Istri Saja: Waktunya Koreksi Tafsir Fikih Domestik
Saya mendongak. Di hadapan saya seperti diputar film pendek tentang ketangguhan perempuan.
Di pojok parkiran, ada seorang ibu pengemudi ojek online. Jaket masih terpasang, helm di pangkuan, makan roti sobek sambil menatap layar ponsel, menunggu orderan. Wajahnya kusam kena debu, tapi matanya tajam.
Tak lama kemudian pintu minimarket terbuka. Seorang perempuan muda keluar, penampilannya kontras dengan ibu tadi. Blazer rapi, celana bahan, lanyard kantor masih menggantung di leher. Pekerja kantoran yang baru sempat mampir setelah kerja.
Wajahnya lelah, riasan luntur, tapi lihat apa yang ia bawa: tas laptop di satu tangan, dan di tangan lain, kantong belanjaan besar berisi popok bayi dan minyak goreng. Sambil berjalan ke arah motor, ia menjepit ponsel di antara bahu dan telinga. Suaranya terdengar samar tapi tegas, “Iya, Mbak, panasnya sudah turun? Ini saya sudah belikan obat. Jangan kasih susu dulu ya, tunggu saya pulang.”
Saya tertegun di kursi besi. Saya mampir ke minimarket untuk berhenti. Perempuan itu mampir untuk melanjutkan tugas. Ia baru selesai mencari nafkah, dan sekarang menjalankan kerja domestik sambil memantau anak yang sakit.
Dia tidak punya jeda. Dia tidak punya kemewahan untuk duduk merokok dan melamun seperti saya.
Matematika maskulinitas saya langsung error. Sopyah membuktikan perempuan bisa kerja kasar. Ibu ojol membuktikan perempuan berani bertaruh nyawa di jalanan. Perempuan kantoran ini membuktikan perempuan sanggup memikul beban ganda yang bisa membuat banyak laki-laki kolaps.
Dan beban ganda perempuan bukan sekadar cerita menyentuh, melainkan fakta yang tercatat. Laporan Badan Buruh Dunia (ILO) menyebutkan, di Asia Pasifik, perempuan menghabiskan waktu lebih dari empat kali lipat untuk kerja pengasuhan dan domestik tak berbayar dibanding laki-laki. Beban yang tak muncul di slip gaji, tapi terasa di punggung dan di hati mereka setiap hari.
Kalau bicara “kuat”, mari bicara jujur. Perempuan dianugerahi tubuh yang tiap bulan meluruhkan rahim, menahan nyeri, namun tetap bangun subuh, kerja, mengurus rumah, dan tersenyum seolah semuanya biasa saja. Sementara kita, laki-laki, demam sedikit saja sudah meringkuk di kasur dan merasa dunia mau kiamat.
Kalau perempuan bisa melakukan semua yang saya bisa, bahkan lebih, lalu saya ini gunanya apa?
Baca juga: ‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis
Perempuan bisa sendiri tapi tak seharusnya sendirian
Pertanyaan itu menggantung di kepala. Kopi saya mendadak hambar. Saya teringat istri di rumah. Dia bekerja di luar rumah, dan dia mengurus rumah. Dia mengatur hampir semua detail hidup kami. Dulu saya pikir tugas saya adalah menjadi “pahlawan” yang menyelamatkannya. Bahwa tanpa saya, hidupnya akan berantakan.
Malam itu saya sadar, ditu arogansi saya. Istri saya adalah penyintas. Ia bisa hidup tanpa saya. Ia bisa mencari uang sendiri, mengambil keputusan sean ndiri, membangun hidup sendiri. Pertanyaannya bukan lagi, “Untuk apa dia tanpa saya?” tapi justru, “Kenapa perempuan sekuat itu memilih tetap berjalan bersama saya?”
Di tengah angin malam yang dingin, saya mematikan rokok. Rasa minder perlahan berubah menjadi syukur.
Saya ingin segera pulang dan berterima kasih padanya. Karena ia sudah bersedia membagi punggungnya untuk memikul atap rumah kami. Karena ia sudah mengambil alih sebagian kewajiban saya tanpa menjadikannya senjata. Karena ia tetap bertahan, bahkan ketika saya belum mampu memenuhi kalimat manis yang sering saya ucapkan, “Silakan beli baju apa pun yang kamu mau, jangan lihat harganya,” yang sampai sekarang masih lebih sering jadi doa daripada kenyataan di rekening.
Mungkin ini saatnya kita, para suami yang sedang merasa kerdil, berhenti mengukur harga diri hanya dari slip gaji. Jika Sopyah, ibu ojol, mbak kantoran, dan istri-istri kita memikul beban dunia seberat itu, mereka tidak butuh “pahlawan” yang sok kuat dan gengsian. Mereka butuh tempat istirahat.
Tugas kita bukan lomba siapa yang paling capek. Tugas kita memastikan ketika istri pulang dengan punggung remuk oleh beban kantor dan rumah, ia punya tempat meletakkan “baju zirah”-nya. Ia punya pundak untuk bersandar tanpa dihakimi, telinga yang siap mendengar tanpa menyela, tangan yang siap memijat lelahnya tanpa diminta.
Baca juga: ‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur
Pelan-pelan saya mengerti, menjadi laki-laki bukan semata soal seberapa banyak uang yang saya bawa pulang (meski saya tetap akan berusaha keras). Tapi seberapa “rumah” pelukan saya bagi lelahnya.
Saya berdiri. Perempuan kantoran tadi sudah menghilang di tikungan bersama motornya. Saya menyalakan mobil. Energi saya sudah terisi. Bukan energi untuk kembali memasang topeng kuat, tapi energi untuk pulang sebagai lelaki yang siap menjadi lembut.
Perempuan bisa melakukan hampir segalanya sendiri. Tapi mereka tidak seharusnya harus melakukannya sendirian. Malam itu, saya berjanji pada diri sendiri: saya ingin istri tahu bahwa ia tidak sendirian.
Ia punya saya, tempat ia boleh mengaku kalah tanpa saya anggap lemah. Tempat ia diizinkan rapuh dan tetap dicintai dengan utuh, tempat segala cemasnya bermuara, dan topeng kuatnya boleh ia lepas tanpa rasa bersalah.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Akhmad Yunus Vixroni adalah pengemudi taksi online selalu sayang istri yang sedang top-up senyuman.
















