Belakangan, nama Meila Nurul Fajriah jadi sorotan publik. Perempuan aktivis dan pembela hak-hak korban kekerasan seksual itu, menghadapi tuduhan yang sebenarnya tak mengejutkan di “Negara Konoha”, yakni pencemaran nama baik.
Tuduhan itu sendiri dilayangkan oleh Ibrahim Malik, terduga pelaku kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Kasus Ibrahim sendiri menjadi satu di antara advokasi yang dilakukan oleh Meila pada 2020 silam.
Pelaporan kepada aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu terjadi pada 8 Juli lalu. Saat itu, Meila mendapat kabar Kepolisian DIY melaporkannya dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Laporan ini mencerminkan ironisnya situasi yang dihadapi oleh pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Tuduhan terhadap Meila bukanlah kasus yang terisolasi, melainkan bagian dari pola yang lebih besar di mana aktivis HAM sering kali menghadapi risiko hukum yang tidak adil.
Baca juga: SKB UU ITE Bawa Kemajuan, Tapi Revisi UU Tetap Diperlukan
UU ITE: Senjata Bermata Ganda
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disahkan pada 2008. UU tersebut bertujuan untuk menangani masalah seperti pencemaran nama baik di dunia maya dan kejahatan siber lainnya. Namun dalam praktiknya, UU tersebut sering disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan mengkriminalisasi kritik
Maksudnya, UU ITE digunakan untuk menuntut mereka yang berbicara menentang ketidakadilan atau kasus-kasus kontroversial. Dalam konteks kasus Meila, penggunaan UU ITE untuk menuntutnya menunjukkan bagaimana undang-undang ini dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan melindungi pelaku kekerasan.
Penggunaan UU ITE untuk melawan kritik atau aktivis semakin meningkat dan menimbulkan ketidakadilan. Ironisnya, sejumlah kasus serangan siber yang menimpa aktivis dan media massa tak berhasil diungkap hingga mendekati akhir 2020. Beda halnya dengan kasus-kasus yang menimpa instansi atau tokoh pemerintah, penanganannya cepat dilakukan.
Itu sebabnya, salah satu kritik Ade Wahyudi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers adalah ketidakadilan dalam penerapan UU ITE. “Ada ketimpangan penerapan pidana UU ITE,” ujarnya dalam Webinar ‘Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE’.
Baca juga: Jerat UU ITE: 9 Pasal Karet yang Bisa Kirim Kita ke Penjara
Mengapa Kasus ini Penting?
Kasus Meila Nurul Fajriah menunjukkan ketidakadilan yang sering dialami pembela HAM. Ketika seseorang yang berjuang untuk keadilan malah menghadapi ancaman hukum, ini menandakan adanya masalah serius dalam sistem peradilan dan perlindungan HAM.
Lebih jauh lagi, situasi ini menggarisbawahi perlunya reformasi hukum agar tidak digunakan untuk mengekang kebebasan berbicara dan membela hak asasi. “Kasus ini merupakan cermin dari bagaimana hukum dapat disalahgunakan untuk menekan suara-suara kritis,” seorang peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Masalahnya, kasus Meila bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Di Indonesia, ada beberapa kasus serupa di mana aktivis HAM, pembela korban kekerasan seksual, bahkan korban kekerasan seksual itu sendiri mengalami kriminalisasi. Misalnya, pada 2018, kasus Anindya, aktivis Front Mahasiswa Nasional Universitas Narotama terjerat UU ITE karena unggahannya di Facebook yang menceritakan penggerebekan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada Juli 2018, serta pelecehan seksual yang dia alami.
Menurut Anindya, penggerebekan itu tampaknya dilakukan untuk menghentikan diskusi mengenai pelanggaran HAM di Papua, karena pihak berwenang yang terlibat terdiri dari Polisi, TNI, dan Satpol PP yang pada saat itu tidak dapat menunjukkan surat perintah. Ketika diperiksa, Anindya mengalami pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan secara beramai-ramai, kemudian ia tulis dan bagikan kronologi yang menimpanya di halaman Facebook.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya, Pieter F. Rumaseb, membantah adanya pelecehan dan diskriminasi dan melaporkan Anindya ke pihak berwenang. Kasus ini masih berlanjut, dan Anindya, mahasiswa semester lima Universitas Narotama, saat ini berstatus saksi.
Pengalaman Anindya dan Meila menunjukkan pola yang lebih luas di mana pembela HAM menghadapi risiko hukum yang tidak proporsional. Hal ini menyoroti perlunya perhatian khusus terhadap cara hukum diterapkan dan bagaimana hal itu mempengaruhi para aktivis.
Ketika mereka menghadapi risiko hukum, ini tidak hanya membatasi kebebasan tetapi juga menciptakan efek jera bagi orang lain yang mungkin ingin terlibat dalam perjuangan HAM. Dampak ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam upaya-upaya advokasi dan menghambat kemajuan HAM di tingkat nasional.
Wakil Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnama Sari, malah lebih keras melayangkan kritik terhadap implementasi UU ITE selama ini. “Seharusnya UU ITE menjadi pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi teror bagi banyak orang,” tegasnya dalam Webinar “Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE”.
Baca juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Dukungan publik sangat penting untuk membantu Meila dan para pembela HAM lainnya. Menyebarluaskan informasi tentang kasus ini dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perlindungan HAM adalah langkah awal yang dapat kita ambil. Tagar seperti #PerempuanPembelaHAM di media sosial dapat membantu meningkatkan kesadaran dan menekan pihak-pihak berwenang untuk meninjau kembali penggunaan UU ITE dalam kasus ini.
Kita juga bisa mendukung kampanye yang mempromosikan reformasi UU ITE dan perlindungan yang lebih baik bagi para pembela HAM. Selain itu, menggalang dukungan dari organisasi internasional dan lokal untuk mendesak perubahan hukum dapat membantu memastikan bahwa hukum digunakan untuk melindungi keadilan, alih-alih menekannya.
Widi Iskandar Rangkuti adalah mahasiswa Sosiologi semester 5 dengan minat khusus pada isu gender.