December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

#HariKartini2025: Mengepal Mawar Berduri, Menjadi Kartini di Era Digital

Ada catatan kritis yang harus kita dengungkan di balik kampanye industri rokok yang menyasar perempuan.

  • April 21, 2025
  • 5 min read
  • 1112 Views
#HariKartini2025: Mengepal Mawar Berduri, Menjadi Kartini di Era Digital

Siapa yang enggak familier dengan jargon khas, “Habis gelap terbitlah terang”. Kini lebih dari satu abad setelah Kartini memperjuangkan mimpi, apakah perempuan benar-benar sudah memasuki fase terang atau tertahan dalam kegelapan? 

Faktanya, hingga hari ini, keadilan dan kesetaraan bagi perempuan belum sepenuhnya terwujud. Salah satunya, perempuan menghadapi bentuk penjajahan baru: Kolonialisme industri adiktif yang membungkusnya dalam kemasan modern dan glamor bernama industri rokok. 

Coba kita bayangkan, jika Kartini hidup di zaman ini, apa yang akan ia rasakan? Apa yang akan ia pikirkan melihat masih kuatnya cengkeraman sistem patriarki dan maraknya diskriminasi — termasuk bagaimana perempuan kini justru menjadi target utama industri rokok? 

Di era digital ini, teknologi ibarat mawar berduri. Indah dan menjanjikan, namun menyimpan bahaya yang tersembunyi. Di balik gemerlap platform digital, industri rokok menemukan celah baru untuk menjajakan produknya. Bukan dengan cara konvensional, tapi lewat strategi yang halus dan membentuk persepsi. 

Kini, promosi rokok tak lagi eksplisit, tapi dikemas dengan gaya hidup: “Bebas”, “stylish”, “feminin” — kata-kata yang dirancang untuk memikat perempuan muda. Mereka menyasar lewat influencer perempuan dengan visual imut dan menggemaskan, membungkus produk adiktif dalam label seperti “herbal”, “halal”, bahkan “slim body”, seolah-olah rokok adalah bagian dari gaya hidup sehat dan modern. Padahal sejatinya, ini adalah cara baru untuk menormalisasi bahaya, menyusupkan citra positif pada sesuatu yang destruktif. 

Baca juga: #TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga 

Lalu, muncul pertanyaan penting: Mengapa perempuan muda menjadi target utama kampanye terselubung ini? Apakah karena mereka dianggap sebagai pasar potensial yang tengah mencari jati diri? Ataukah ini adalah bentuk baru dari kolonialisme — penjajahan modern yang menyasar tubuh dan persepsi perempuan? 

Jika kita ingin mewujudkan “terang” seperti yang pernah dicita-citakan Kartini, maka kita harus sadar: Perjuangan belum selesai. Kini, tantangannya berbeda, namun semangat yang dibutuhkan tetap sama — melawan ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, dan menjaga perempuan dari bentuk penjajahan yang kian tersembunyi namun nyata. 

Melansir dari RRI.co.id pada tahun 2024 pengguna media sosial didominasi oleh usia 18-34 tahun (54,1 persen), dengan proporsi laki-laki (48,7 persen) dan perempuan (51,3 persen). Berdasarkan persentase tersebut, kita bisa memahami mengapa industri rokok melihat perempuan muda sebagai potensi besar konsumen mereka. 

Tidak hanya itu, industri rokok memanipulasi target mereka dengan narasi “kebebasan” yang timbul dari berbagai interpretasi terhadap kata “belenggu perempuan”. Mereka menciptakan ilusi bahwa merokok adalah simbol kebebasan dan pemberdayaan, padahal sebenarnya mereka hanya mengeksploitasi kerentanan perempuan muda. 

Peran teknologi memperkuat narasi ini, karena kemudahan akses informasi dan media sosial memungkinkan penyebaran pesan-pesan tersebut secara luas dan cepat. Akibatnya, perilaku merokok dinormalisasi di masyarakat terutama di kalangan perempuan muda yang melihatnya sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan meraih kebebasan. 

Situasi tersebut diperparah oleh pemerintah yang menutup mata atas taktik tersembunyi dari industri rokok. Alih-alih mengkampanyekan pemberdayaan atlet perempuan, mereka malah mempromosikan rokok melalui kegiatan olahraga. 

Sekitar seminggu sebelum peringatan perjuangan Kartini, muncul berita mengecewakan dari Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tentang konferensi pers untuk Piala Pertiwi PSSI U14 & U16 2025, di mana logo Djarum Foundation terlihat jelas sebagai sponsor utama turnamen sepak bola remaja putri. 

Dampaknya industri rokok bisa mendapatkan lebih banyak perhatian dan citra positif di kalangan remaja putri terhadap produk mereka. Padahal sudah bukan menjadi rahasia, penyakit akibat rokok berbahaya dan dapat merenggut mimpi, masa depan, bahkan nyawa generasi muda. 

Baca juga: Panggil Kartini Manusia Biasa Saja 

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 1,2 juta orang meninggal setiap tahun akibat paparan asap rokok meskipun mereka tidak merokok. Selain itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa terdapat 2.807 kasus cedera paru-paru yang terkait dengan penggunaan rokok elektrik serta 68 kematian yang diakibatkan oleh kondisi tersebut. Baik perokok aktif maupun pasif, serta pengguna rokok konvensional maupun elektronik, akan terkena dampak berbahaya dan berbagai penyakit serius. 

Penyakit akibat rokok ini tentu menjadi beban anggaran kesehatan negara. Dilansir dari Antara News, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, biaya yang ditimbulkan oleh penyakit akibat rokok jauh lebih besar dibandingkan pendapatan dari Bea Cukai. 

Karena itu, pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk melindungi masyarakat terutama kelompok rentan seperti anak dan perempuan dari bahaya rokok. Melalui PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 khususnya Pasal 447 disebutkan, iklan rokok di media sosial dan platform digital dilarang. Namun, implementasinya masih lemah seperti banyak promosi terselubung melalui influencer

Jika pengawasan dan implementasi sudah ditegakkan, pemerintah seharusnya secara otomatis menghapus konten tersebut melalui kementerian terkait, tetapi hingga kini konten-konten tersebut masih sering ditemukan. Serta tidak akan ada lagi fenomena industri rokok menjadi sponsor kegiatan olahraga dan kegiatan anak muda lainnya.  

Hal tersebut merupakan sebuah tanda bahwa kita belum mencapai makna “terang” yang diimpikan. Karena itu, semangat Kartini masih relevan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di era digital seperti sekarang. 

Baca juga: Kartini Was Not a Feminist, But Maybe She Was The Heroine We Needed

Seperti pesan mendalam dari Kartini, “Hormati segala yang hidup, hak-haknya, juga perasaannya.” Ini mengingatkan kita untuk tidak berdiam diri saat hak-hak kita dirampas, terutama hak kesehatan. Kita harus berani melawan strategi dari industri rokok dengan melakukan aksi kolektif untuk mencabut akar normalisasi rokok, terutama di ruang digital. Sudah saatnya perempuan menjadi subjek perubahan dalam melawan kolonialisme modern ini. 

Teruslah berhati-hati dalam mengepal mawar berduri: Jadikan duri sebagai senjata melawan kejahatan, bukan untuk menyakiti diri sendiri. Ingat, perjuangan Kartini bukan sekadar cerita dalam lembaran buku sejarah, tetapi semangat yang harus terus dikobarkan. Karena sejatinya perjuangan Kartini belum selesai, akan kami (Kartini Era Digital) teruskan sampai emansipasi menemukan arti.  

Selamat Hari Kartini, perempuan hebat Indonesia! 

Grestine Dwivanya adalah pendiri Passionate, Action, and Responsibility about Tobacco by Youth (PARTY) dan anggota dari koalisi  Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC). Ia memiliki ketertarikan mendalam terhadap isu pengendalian tembakau dan aktif dalam berbagai kegiatan pemberdayaan serta advokasi terkait.  

About Author

Grestine Dwivanya

Leave a Reply