Issues

#TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga

Perjuangan pahlawan nasional RA Kartini dalam memerdekakan hak-hak perempuan, sangat sesuai dengan ajaran Islam.

Avatar
  • April 2, 2024
  • 6 min read
  • 766 Views
#TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga

Bicara perjuangan kesetaraan perempuan dalam pendidikan, mungkin yang muncul pertama kali di benak kita adalah Kartini. Melalui surat-suratnya kepada feminis Belanda Stella Abendanon, priyayi Jawa itu berbagi cerita tentang minimnya akses pendidikan perempuan di Tanah Air. Sementara ia percaya, pendidikan adalah jalan pembebasan perempuan.

Tak cuma lewat surat, Kartini juga mengisinisasi sebuah sekolah kecil yang mengajarkan baca tulis, kerajinan tangan, dan memasak untuk para puan. 

 

 

Jatuh bangun perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879 itu diurai kembali oleh Nyai Siti Rofiah, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang dan Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Salatiga dan Anggota Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kisah Kartini merupakan bagian Podcast Tadabbur Ramadan yang diproduksi Magdalene, bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 

Baca juga: Kartini Was Not a Feminist, But Maybe She Was The Heroine We Needed 

Kartini dan Percakapan dengan Kiai 

Rofiah memulai cerita Kartini dengan sejarah penjajahan masa lalu. Kala itu awal 1900 masehi, Indonesia masih dijajah oleh Belanda dan Pulau Jawa dipimpin ningrat yang langsung diawasi oleh pemerintah Londo. Saat itu hanya kelompok ningrat dan kolonialis saja yang boleh bersekolah. Sementara, mereka yang warga biasa tak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan. 

Kartini sendiri hanya bisa bersekolah hingga usia 12 tahun di Europese Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Setelah itu ia dipingit dalam rumah. Meski tak mengenyam pendidikan formal lanjutan, ia tetap belajar sendiri dan menulis banyak surat kepada kenalannya di Belanda. 

Salah satu yang paling sering ia kirimi surat adalah Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Kelak surat-surat ini akan dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Abendanon ke dalam buku yang kita kenal “Habis Gelap Terbitlah Terang”

Enggak hanya menulis surat, Kartini juga rajin membaca buku, koran, dan majalah-majalah Eropa. Dari sinilah muncul sebuah keinginan untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu statusnya masih dianggap rendah. 

Titik balik Kartini terjadi ketika ia belajar mengaji dari guru asal Semarang, Kiai Haji Sholeh Darat. Ia adalah guru dari pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari. Saat mengaji itulah, Kartini bertanya, “Bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” 

Sontak, sang kiai cuma tertegun mendengar pertanyaan tersebut. 

Di kesempatan tersebut, Kartini protes saat disuruh membaca surat Alquran tapi tak diberi tahu apa maknanya, termasuk Surat Alfatihah yang jadi favoritnya. Padahal, kata Kartini, mengaji jadi jalan untuk memahami keindahan Islam lewat makna-makna di kitab suci. Saat itu, para ulama memang melarang penafsiran Alquran ke Bahasa Jawa. Jawaban guru mengajinya tak memuaskan Kartini. Buat dia, Alquran mesti jadi bimbingan hidup dan kesejahteraan manusia. 

Sadar betapa kritisnya Kartini, Kiai Sholeh berpikir keras. Di kemudian hari, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan gebrakan, yakni menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa, ayat demi ayat dan juz demi juz. Ia juga menghadiahkan 13 juz Alquran yang sudah diterjemahkan sebagai hadiah pernikahan Kartini bersama Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat. 

Karena itulah, kita perlu berterima kasih pada Kartini. Berkat dia, Kiai Sholeh bersedia menerjemahkan Alquran. Dalam hal ini, tujuan kartini agar orang-orang belajar memahami apa yang mereka baca pun tercapai. 

Baca juga: Panggil Kartini Manusia Biasa Saja 

Kritik Kartini Sejalan dengan Islam 

Sebagai perempuan yang lahir dan besar di keluarga Islam, Kartini punya pikiran yang cukup jernih dalam agama. Ia memandang agama melalui sudut pandang kemanusiaan. Begitu pun praktik poligami yang ia anggap enggak adil bagi perempuan. Buat dia, meski poligami jadi tradisi jamak di Pulau Jawa kala itu, tapi tak membawa kebaikan untuk perempuan. 

Seumur hidupnya, ia menolak gagasan poligami perempuan. Sampai di usia 24 tahun, ia bersedia dipoligami tapi tidak untuk mengalah pada perjuangan kesetaraan. Dalam sebuah surat yang dikirim untuk Abendanon, ia menceritakan penderitaan sang ayah RM Adipati Sosrodiningrat yang sering dibuli koleganya karena Kartini tak kunjung menikah. Saat itu, usia 24 tahun sudah dianggap sebagai perawan tua.  

Sampai akhirnya Kartini memutuskan menikah demi rasa hormat pada ayah. Meski memutuskan jadi madu, Kartini teguh berjuang untuk akses pendidikan perempuan. Ia mengajukan syarat pada Bupati Rembang Djojoadiningrat, calon suaminya agar bisa membuka sekolah untuk perempuan. Mimpinya adalah agar perempuan bisa setara, bisa baca tulis dan memiliki keahlian. Ia pun menolak prosesi jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki mempelai pria, menolak bicara kromo inggil, dan lainnya saat pernikahan, dikutip dari buku Pikiran Kartini (2015). 

Perjuangan dan keberanian yang dilakukan Kartini ini sebenarnya sejalan dengan agama Islam. Kata Rofiah, itu punya dimensi spiritual yang amat tinggi karena sama seperti Islam, yakni membebaskan manusia dari ketertindasan. Apalagi ia juga mengupayakan kesetaraan di tengah budaya Jawa yang masih diskriminatif pada perempuan. 

Baca juga: 5 Rekomendasi Buku Islam dan Perempuan untuk Temani ‘Ngabuburit’ 

Upaya Kartini di sisi lain, sejalan dengan kisah teladan di era Nabi Muhammad SAW. Saat itu, seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan bertanya, sebagaimana tertuang dalam hadis shahih riwayat Abu Sa’id Al Khudri Ra. 

“Wahai Rasulullah, para laki-laki itu telah banyak memperoleh pelajaranmu. Bisakah engkau menyempatkan diri untuk kami (para perempuan) pada hari tertentu sehingga kami bisa mendatangimu mengajarkan kami apa yang diajarkan Allah kepadamu?” 

Rasulullah menjawab, “Ya, silakan berkumpul di hari tertentu dan tempat tertentu.” 

Para perempuan berkumpul seperti yang dijanjikan tersebut. Ia mengajari mereka ajaran-ajaran yang diperolehnya dari Allah SWT. 

Hadis ini menegaskan dua hal. Pertama, perempuan berhak menuntut para pengambil kebijakan mengenai hak-hak mereka. Pun, para pemimpin harus mendengarkan dan memenuhinya. Kedua, perempuan berhak atas pendidikan yang berkualitas sebagaimana didapatkan oleh laki-laki. Sebab, pada hakikatnya, penciptaan manusia adalah menjadi khalifah atau pemimpin di muka Bumi. 

Jadi seperti yang sudah disebutkan dalam Islam, penting sekali untuk mencari ilmu, baik kamu laki-laki atau perempuan. Lantaran menuntut ilmu wajib buat setiap Muslim, maka seluruh masyarakat dengan struktur sosial dan politiknya harus mengondisikan agar kewajiban tersebut bisa dilaksanakan dengan sempurna. Enggak ada lagi diskriminasi pendidikan bagi perempuan, apalagi karena alasan agama.  

Kartini sudah memulai, kamu ingin ikut berjuang juga? 

Tadabbur Ramadan merupakan produksi Magdalene bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). 


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *