Narkoba Artis, Pencitraan Polisi, dan Salah Kaprah Hukum Kita
Enggak usah manyun melihat Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie direhabilitasi, alih-alih masuk penjara karena narkoba. Memang semestinya begitu.
Artis peran Nia Ramadhani dan suaminya, anak politisi Golkar, Ardi Bakrie digelandang Polres Metro, Jakarta Pusat. Hari itu, (10/7), keduanya mengenakan baju tahanan warna merah dalam konferensi pers perdana usai ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan narkoba. Publik pun menuding Nia dan suami mendapat privilese seiring wacana rehabilitasi mereka yang mencuat ke permukaan. Ada yang mengkritik dengan santun, ada yang memaki, ada yang sibuk bikin meme, ada pula yang mengeluarkan jargon plesetan, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat ‘Good Looking’ Ditambah Para Artis”.
Dari kasus penyalahgunaan narkoba Nia dan Ardi, saya mencatat dua kesalahan penting. Celakanya, kesalahan ini adalah hal jamak yang kerap terulang tiap kali ada artis atau pesohor yang tertangkap basah memakai narkoba. Mulai dari kasus yang menimpa penyanyi Anji misalnya, Lucinta Luna, Jefri Nichol, hingga komedian Nunung beberapa waktu lalu.
Kesalahan pertama, polisi ajek memajang wajah dan membongkar seluruh identitas mereka yang terjerat narkoba. Caranya adalah dengan menghadirkan para pengguna narkoba ini saat konferensi pers. Lalu memberi panggung bagi para pelaku penyalahgunaan narkoba sebagai “pendosa” yang perlu meminta maaf secara terbuka pada publik.
Perkara menghadirkan pelaku memang diskresi polisi, karena toh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) kita tidak mewajibkan penyidik untuk menghadirkan tersangka dalam konferensi pers. Bahkan untuk menghormati prinsip presumption of innocence dan mencegah trial by public, identitas tersangka mesti dilindungi, ditutup rapat, tulis Tirto.
Baca juga: Perempuan Pecandu Narkoba Hadapi Stigma Ganda
Masalahnya, polisi merasa perlu menghadirkan tersangka sebagai bentuk pertanggungjawabannya pada auditorial masyarakat. Bahwa polisi sudah cukup transparan membuka “laporan kerja” mereka. Apalagi dalam kasus Nia dan Ardi, ada desakan luar biasa dari publik agar polisi tak memperlakukan mereka secara timpang, karena status sosial dan profesinya. Nia dan Ardi adalah tersangka, sehingga sudah sewajarnya “dipertontonkan” agar kita yang bodoh ini belajar dari kesalahan mereka. Pun, sudah sepatutnya, permohonan rehabilitasi dari Nia dan Ardi kita sambut dengan protes berapi-api.
Bagian itu sekaligus masuk dalam kesalahan kedua yang sering muncul dari banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba. Saya tak mengkhususkannya pada tersangka artis, tapi juga rakyat biasa yang turut memakai barang haram itu. Merujuk pada kampanye ambis Presiden Jokowi untuk memerangi narkoba, mestinya para pemakai ini tak diposisikan sebagai penjahat, melainkan korban yang sudah semestinya dilindungi oleh negara. Bukannya dipermalukan dengan jadi parade prestasi institusi kepolisian. Padahal jika pelaku penyalahgunaan narkobanya politisi besar atau anggotanya sendiri, polisi diam seribu bahasa dan menutup rapat bau amis itu.
Kacamata publik pun pada akhirnya mesti dibalik bahwa permohonan rehabilitasi yang diajukan Nia-Ardi memang wajar adanya. Demikian pula, jika polisi memilih untuk tidak mempublikasikan identitas pelaku penyalahgunaan narkoba, maka itu juga patut dinormalisasi. Saya punya alasannya.
Hukum yang Nihil Perspektif Korban
Di Amerika sana, setiap 25 detik sekali, seseorang ditangkap karena tindakan sederhana memiliki narkoba untuk penggunaan pribadi. Jika ditotal, saban tahunnya, polisi membekuk pelaku penyalahgunaan narkoba senbanyak 1,25 juta. Terlepas dari klaim aparat bahwa penangkapan ini perlu demi mengekang penjualan narkoba, faktanya, empat kali lebih banyak orang yang ditangkap karena memiliki narkoba daripada mereka yang menjualnya. Bandar tentu saja, lolos dari jerat hukuman.
Sebagai hasil dari penangkapan ini, setiap harinya, puluhan ribu orang dipenjara, menghabiskan masa percobaan dan pembebasan bersyarat yang panjang, seringkali juga dibebani utang denda yang mencekik leher. Belum lagi masalah catatan kriminal yang mengekang mereka dari akses terhadap pekerjaan publik yang layak, memperoleh perumahan, pendidikan, bantuan kesejahteraan, hingga pemungutan suara di pemilu.
Baca juga: Merry Utami dan Kerentanan Perempuan dalam Kasus Narkotika
Laporan Human Right Watch (2016) bertajuk Every 25 Seconds The Human Toll of Criminalizing Drug Use in the United States menguraikan sejumlah cerita betapa menghukum pengguna narkoba di balik jeruji penjara adalah tindakan jahat dan tak manusiawi.
Salah satu kisah menimpa Neal Scott, 49, warga New Orleans. Pria yang kecanduan narkoba untuk dirinya sendiri ini ditangkap pada Mei 2015. Ia yang saat itu jadi tunawisma, berjuang dengan penyakit autoimun langka, dan tak kuat berjalan tanpa bantuan obat penghilang sakit (baca: kokain). Namun, pengadilan tak mau tahu itu. Neal dipaksa mengaku bersalah atas kepemilikan narkoba jika tak mau dihukum 20 tahun penjara. Namun, belakangan karena kondisinya yang menurun drastis, Neil terancam mati di balik hotel prodeo.
Kisah kedua menimpa Nicole Bishop, 30, perempuan yang didakwa atas kepemilikan kokain di dalam sedotan plastiknya. Nicole dipisahkan oleh ketiga anaknya, termasuk bayi yang belum lama ia lahirkan. Selama dipenjara tujuh bulan, Nicole tak diberi hak menyusui bayinya, bahkan menyentuhnya, akrena mesti berbicara dari balik kaca. Penderitaannya belum berakhir usai keluar penjara: Kehilangan bantuan beasiswa dan menyerahkan gelar akademiknya karena “kejahatan” tersebut.
Dua kisah yang dikutip oleh laporan HRW itu memang tak bisa mencerminkan secara total realitas yang ada di Indonesia. Namun, kita perlu mengkritisi kembali apakah upaya perang pemerintah terhadap narkoba yang diejawantahkan dalam pemenjaraan pelaku cukup efektif? Kita patut curiga, mengingat sejumlah kasus penyalahgunaan narkoba pribadi tak simsalabim selesai, hanya ketika tersangka dipenjara. Buktinya, banyak kasus penangkapan berulang terhadap pelaku yang sama.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Buat saya ada beragam masalah yang tersimpan dalam penanganan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. Pertama, penangkapan pelaku membuka ruang kriminalisasi dan membatasi hak-hak individu untuk mengakses upaya kuratif agar lepas dari jerat narkoba. Penjara tak menjanjikan mereka “insaf” tapi pusat rehabilitasi mungkin iya.
Berikutnya, alih-alih memenjarakan korban, pemerintah harus memperluas program pendidikan publik yang secara akurat menggambarkan risiko dan potensi bahaya penggunaan narkoba, termasuk potensi menyebabkan ketergantungan narkoba. Pemerintah juga harus meningkatkan akses ke pengobatan sukarela, terjangkau, dan empiris untuk ketergantungan narkoba dan pengobatan medis, sosial, dan lainnya. Pun, pelayanan di luar pengadilan dan sistem penjara.
Menurut saya, jika polisi kukuh memenjarakan pengguna, pemerintah memfasilitasinya, pun kita menyorakinya, maka yang terjadi adalah sebuah kontraproduksi. Jangankan memimpikan Indonesia yang bebas narkoba, memberi rasa aman dan perlindungan pada warga saja, pemerintah absen.
Baca Juga: Sejarah Poppers: Kontroversi Kenikmatan dan Budaya Queer dalam Botol 10ml
Saya masih ingat, curhatan salah satu terpidana penyalahgunaan narkoba yang dulu saya temui di Lapas Nusakambangan. Pria yang sudah menjalani hukuman belasan tahun itu sedang harap-harap cemas menunggu eksekusi mati, padahal dia sendiri menderita gangguan jiwa. Kepada saya dia berujar, “Saya bukan penjahat, saya tak membunuh siapa-siapa, tak menghancurkan hidup siapa-siapa, kenapa saya diperlakukan begini?”
Saya kira, orang-orang seperti dia cukup mewakili betapa buramnya hukum kita dalam menangani kasus narkoba.