Kebiasaan Ridwan Kamil ‘Nge-pin’ Komentar Netizen: Hati-hati Perundungan, Pak!
Perilaku Ridwan Kamil yang senang ‘nge-pin’ komentar netizen merupakan salah satu contoh ‘bullying’ oleh pejabat publik. Ini mencerminkan adanya relasi kuasa dengan masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Muhammad Sabil Fadilah—guru honorer asal Cirebon, Jawa Barat, menerima sanksi pemecatan dari sekolah tempatnya mengajar. Kejadian ini dilatarbelakangi oleh komentar Sabil di postingan Instagram Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK).
RK mengunggah momennya tengah Zoom meeting bersama sejumlah siswa SMPN 3 Kota Tasikmalaya. Saat itu, ia mengenakan jas berwarna kuning. Kemudian, Sabil menuliskan komentar pada unggahan tersebut.
“Dalam Zoom ini, maneh teh keur (Anda itu lagi) jadi gubernur Jabar, atau kader partai, atau pribadi?” tulisnya.
Baca Juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Merespons komentar Sabil, RK pun menjawab, “Ceuk maneh kumaha? (Menurut Anda gimana?)”
Namun, respons RK tak berhenti di situ. Ia menyematkan komentar Sabil sehingga terletak di paling atas. Lalu mengirimkan pesan ke yayasan sekolah Sabil mengajar. “Tidak pantas seorang guru seperti itu,” ujar RK di direct message.
Berdasarkan pengakuan Sabil, tindakan RK membuatnya menerima kritikan netizen di Instagram. Bahkan, kritikan tersebut sampai ke akun Instagram SMK Telkom Sekar Kemuning.
Melansir CNN Indonesia, Sabil menuturkan, RK memerintahkan Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD). Kepala KCD pun menghubungi kepala sekolah SMK tersebut untuk mencabut Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Sabil dari sekolah.
Akibatnya, Yayasan Miftahul Ullum—yang menaungi SMK Telkom Sekar Kemuning, memecat Sabil melalui surat bernomor 422/025/YMU-SK/III/2023 tentang Pengakhiran Hubungan Kerja. Alasan pemecatan tersebut ialah pelanggaran etik guru, tata tertib yayasan, serta Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Namun, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan SDM SMK Telkom Sekar Kemuning, Cahya Riyadi menyatakan pada Detik.com, peristiwa itu bukan penyebab yayasan mengeluarkan surat pemecatan.
Sejak 2022, pihaknya telah beberapa kali melayangkan surat peringatan pada Sabil, berkaitan dengan etika sebagai guru. Kebetulan, waktu pemberian surat peringatan ketiga bersamaan dengan kritik Sabil terhadap RK.
Terlepas dari surat peringatan yang diberikan pada Sabil, teguran RK tak luput dari perbedaan kedudukan antara keduanya. RK sebagai pejabat publik, dan Sabil merupakan warga sipil. Perbedaan itu memotret adanya relasi kuasa dalam interaksi keduanya.
Lalu, apakah perilaku RK—yang senang menyematkan komentar di Instagram—sebenarnya merugikan publik?
Baca Juga: Obral Gelar Honoris Causa di Tahun Politik, Apa Mau Kampus?
Ada Bullying Di Balik Cara Komunikasi Pejabat Publik
Sebagai pemimpin, RK memiliki kekuatan di samping jabatannya. Yakni sejumlah pendukung, termasuk di media sosial. Di Instagram, pengikutnya mencapai 20 juta akun. Sementara di Twitter terdapat 5,4 juta pengikut.
Keputusan RK aktif bermedia sosial sebenarnya suatu hal positif. Ini disampaikan pengamat media Ignatius Haryanto. Menurutnya, keaktifan itu menunjukkan RK mau berinteraksi langsung dengan masyarakat.
Kendati demikian, Ignatius menilai perbuatan RK “memperlakukan” Sabil justru kurang pantas. “Sebagai pejabat publik, RK harusnya siap menerima kritik dan masukan dari siapa pun. Bukan kemudian ‘mengintimidasi’ guru,” tutur Ignatius.
Yang dipermasalahkan dari komentar Sabil adalah penggunaan kata “maneh”, berarti “Anda” dalam bahasa Sunda. Di sebagian wilayah di Jawa Barat, termasuk Bandung, kata tersebut termasuk kasar.
Namun, perlu diingat, bahasa Sunda di setiap daerah memiliki makna yang berbeda. Di Indramayu, misalnya, “maneh” jadi bahasa yang digunakan sehari-hari. Karena itu, mungkin menurut RK, tutur kata Sabil dalam bermedia sosial tidak sopan. Berbeda dengan kota asal Sabil.
Terlepas dari makna bahasa, Ignatius mengatakan seharusnya RK dapat menanggapi dengan lebih elegan. Seperti lewat humor, atau membicarakan substansi menyangkut komentar Sabil.
“Bagaimana pun menghadapi netizen itu mudah-mudah gampang. Kita tahu netizen Indonesia punya perilaku mem-bully terhadap yang berkuasa, dan para artis. Seolah-olah berhak menghakimi petinggi,” ujar Ignatius.
Di samping itu, Ignatius menyinggung perbuatan RK di Instagram termasuk perundungan. RK yang memiliki kekuasaan, seperti ingin menarik perhatian publik terhadap komentar tertentu—termasuk dari pendukungnya—lewat penyematan tersebut. Belum lagi pendukung RK yang menyerang komentar Sabil.
Namun, RK bukanlah satu-satunya pejabat publik yang melakukan bullying. Pada 2019, Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merundung politisi Adam Schiff di depan publik. “Little pencil neck Adam Schiff,” kata Trump. “Dia punya leher paling kecil dan paling kurus yang pernah saya lihat.”
Istilah “pencil neck” telah digunakan anak SMA di AS pada 1950-an. Tepatnya di kalangan atlet berotot terhadap siswa yang dianggap pengecut. Sebelum Trump, istilah tersebut juga digunakan komentator politik Rush Limbaugh kepada Schiff.
Baca Juga: Jangan Tunggu Viral Dulu: Pemerintah Harus Libatkan Warga Bikin Kebijakan Publik
Selain disampaikan secara verbal, Trump juga melakukan perundungan kepada Schiff lewat penjualan kaus seharga 28 dolar AS, setara Rp420 ribu. Kaus tersebut bergambar wajah Schiff, dengan leher dari batang pensil.
Mengutip New York Magazine, bullying yang merupakan taktik Trump melawan saingan politiknya, membuatnya disukai basis Partai Republik. Penggemar Trump pun turut merayakan perbuatan tersebut. Alhasil, Trump terus menggunakan cara ini dan menimbulkan kegembiraan di kalangan penggemarnya. Seolah bullying adalah sesuatu yang mengikat mereka.
Tak hanya Schiff, Trump juga merundung tokoh politik lainnya—Bob Corker, Charles Schumer, dan Marco Rubio. Ada juga Serge Kovaleski, reporter The New York Times, yang diejek lantaran menderita arthrogryposis—kondisi bawaan yang memengaruhi persendian.
Selain Trump, Februari lalu, Wakil Perdana Menteri Inggris Dominic Raab menerima tudingan bullying dari mantan koleganya. Dalam wawancara bersama BBC, narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya itu mengungkapkan, Raab kerap merendahkan orang lain untuk menjadikan dirinya sosok paling berkuasa.
Contohnya dengan menaikkan suara saat berbicara, menatap tajam, dan menahan amarah terhadap staf senior. Hal ini terjadi selama beberapa tahun di sejumlah departemen pemerintah.
Kasus bullying sebenarnya menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuatan, sehingga seseorang cenderung melakukannya berulang kali. Di samping itu, kasus ini juga menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, yang bergantung pada konteks sosial dan budaya setiap tempat–seperti disebutkan peneliti Fareed Hameed Al-Hindawi, Mariam D. Saffah, dan Akram N. Raheem, dalam The pragmatics of bullying in selected political speeches of Donald Trump (2021).
Namun, ketika perilaku diulangi dan disengaja, artinya seseorang melakukan bullying. Penjelasan ketiga peneliti mencerminkan situasi tersebut terjadi pada sejumlah pejabat publik di atas. Termasuk RK yang berulang kali melakukan perbuatannya.
Komunikasi yang Seharusnya Dilakukan Pejabat Publik
Mengenai pemecatan Sabil, RK merespons penyematan komentar yang kerap dilakukannya merupakan salah satu upaya edukasi. Tepatnya kepada netizen yang acapkali komentarnya tidak berbasis fakta. Hal itu disampaikan RK pada Kompas.com.
“Jadi pertanyaan, saya tanya ke akang, kita mengizinkan nggak orang berbicara kasar? Kan enggak. Nanti ditiru, makanya diedukasi,” ucap RK.
Di samping edukasi, lewat Instagramnya RK mengklarifikasi kejadian tersebut. Ia menegaskan, pemimpin harus terbuka terhadap kritik meskipun disampaikan secara kasar. RK pun menyebutkan, selama ini ia merespons berbagai kritik dengan santai—baik memberikan penjelasan ilmiah, atau bercanda. Dikarenakan Sabil berprofesi sebagai guru, RK mengkhawatirkan kritikan serupa ditiru guru lain maupun peserta didik.
Walaupun demikian, Ignatius menilai RK justru merespons berlebihan dan bersikap antikritik. Sejak awal, tidak seharusnya RK mengirimkan pesan ke yayasan sekolah. Sebab, di media sosial kita bisa menganggap suara yang muncul bersifat egaliter.
“Artinya jangan karena kamu punya kekuasaan, jadi memecat guru. Ini terlalu berlebihan kalau dilakukan,” kata Ignatius. “Cukup ditegur saja sudah sesuatu yang imbang, pernyataan dibalas pernyataan. Toh menyatakan itu ke gubernur bukan sesuatu yang kriminal.”
Perbuatan RK di media sosial justru bisa berdampak pada karier politiknya—mengingat RK akan “naik level” ke tingkat nasional. Menurut Ignatius, seharusnya RK berhati-hati dan pandai membawa diri di media sosial. Terutama untuk menjaga emosi. Pasalnya, yang terjadi pada Sabil dapat memengaruhi citra RK di mata masyarakat.
“Jejak digital enggak pernah hilang. Hal-hal seperti ini akan tercatat terus oleh netizen, dan kita enggak tahu kapan akan dimunculkan kembali dalam momen tertentu di masa depan,” sambung Ignatius.
Di samping itu, RK juga perlu mengantisipasi penyerangan dari pendukungnya, terhadap netizen yang komentarnya disematkan. Sebagai pejabat publik yang memiliki banyak pendukung, peristiwa belakangan ini semestinya mengingatkan, ia punya kapasitas besar dalam agresi tersebut. Pun bertanggung jawab untuk menghindari kejadian serupa.