Pajak Amplop Kondangan & Rekening Diblokir: Kebijakan Negara Kok Makin Bikin Warga Bingung?
Belakangan, dunia maya sempat geger gara-gara satu isu yang bikin dahi mengernyit dan dompet makin kerasa tipis: amplop kondangan katanya bakal dipajaki. Iya, amplop. Yang biasanya kita isi seadanya buat teman atau saudara yang nikah itu. Belum habis euforia pesta, eh… katanya malah bisa dianggap penghasilan dan dikenai pajak?
Wacana ini muncul dari pernyataan seorang anggota DPR dalam rapat resmi, dan seperti biasa, internet langsung panas. Walaupun akhirnya dibantah oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), isu ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang kebijakan fiskal yang kerap terasa makin menjepit rakyat kecil, dan pelaku UMKM, yang sering jadi kelompok paling terdampak.
Masih soal pajak, ternyata bukan cuma amplop kondangan yang jadi sorotan. Mulai dari pemblokiran rekening pasif oleh PPATK, hingga pemajakan terhadap pedagang kecil di e-commerce, semuanya terasa seperti menambah beban baru di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Apalagi buat generasi muda yang hidupnya sudah multitasking: kerja sambil kuliah, bantu keluarga, urus side hustle, tapi tetap dituntut patuh pajak, tanpa banyak ruang untuk salah paham sistem.
Nah, biar enggak cuma ikut panik atau asal nyinyir, yuk kita bongkar satu per satu isu-isu pajak yang lagi ramai. Dari yang masuk akal sampai yang bikin mikir, “kok bisa sih?”, semua kita bahas di sini.
Baca Juga: Korupsi Pajak Ayah Mario Dandy, Perempuan Tetap Paling Merugi
Wacana Pajak Amplop Kondangan
Belakangan ini, wacana soal pajak amplop kondangan bikin heboh dunia maya. Semua bermula dari pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat bersama Kementerian BUMN dan Danantara pada 23 Juli 2025. Ia menyoroti makin banyaknya sektor usaha rakyat yang mulai dikenai pajak, dan menyebut bahwa pemberian amplop di acara hajatan juga berpotensi ikut kena.
“Bahkan kami dengar, dalam waktu dekat orang yang dapat amplop di kondangan bakal dimintai pajak oleh pemerintah,” katanya seperti dikutip dari detikNews.
Ucapan ini langsung viral dan bikin publik waswas. Banyak yang bertanya-tanya: masa iya, uang amplop buat pengantin juga bakal dipotong pajak?
Namun, kabar ini akhirnya diluruskan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lewat keterangan resmi yang dimuat detikFinance. Intinya, DJP menegaskan bahwa enggak ada rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada uang amplop yang dikasih di acara hajatan atau pernikahan.
Menurut mereka, enggak semua bentuk pemberian uang bisa dipajaki. Kalau uang tersebut diberikan secara pribadi, enggak rutin, dan enggak ada kaitannya sama pekerjaan atau usaha, maka bukan termasuk objek pajak.
“Penting untuk ditegaskan: tidak ada kebijakan baru dari DJP yang akan memungut pajak dari amplop hajatan,” jelas Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP.
Rosmauli juga memastikan, petugas pajak enggak bakal datang-datang ke pesta buat narik pajak amplop. Sistem perpajakan Indonesia itu berbasis self-assessment, artinya, setiap orang melaporkan penghasilannya sendiri lewat SPT Tahunan. Jadi, enggak perlu panik duluan karena rumor yang belum tentu benar.
Rekening Nganggur Bisa Diblokir PPATK, Ini Alasannya
Punya rekening bank yang jarang banget dipakai? Hati-hati, bisa-bisa diblokir! Dikutip dari Tempo, Kenapa PPATK akan Blokir Rekening Bank Nganggur 3 Bulan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini mengumumkan bahwa rekening yang enggak menunjukkan aktivitas transaksi selama minimal tiga bulan bisa masuk kategori “dormant” alias rekening pasif dan berisiko dibekukan.
Lewat unggahan di Instagram resminya, @ppatk_indonesia, lembaga ini menyebut banyak rekening pasif justru disalahgunakan buat hal-hal ilegal. Mulai dari jual beli rekening sampai pencucian uang (money laundering) yang jelas-jelas melanggar hukum.
Sebagai bentuk pencegahan, PPATK bakal menghentikan sementara transaksi di rekening-rekening yang terindikasi enggak aktif. Ini dilakukan demi melindungi sistem keuangan nasional dan masyarakat secara luas dari potensi kejahatan finansial.
Baca Juga: Trump-Presiden Prabowo Sepakat: AS Bebas Tarif, Indonesia Bayar Mahal?
Apa Itu Rekening Dormant dan Siapa Saja yang Bisa Kena Dampaknya?
Dikutip dari Rekening Tidak Digunakan 3 Bulan Bisa Diblokir PPATK? Simak Faktanya!, menurut PPATK, status dormant diberikan untuk rekening yang enggak punya aktivitas transaksi dalam jangka waktu tertentu, biasanya 3 sampai 12 bulan, tergantung kebijakan masing-masing bank. Ini berlaku untuk berbagai jenis rekening, baik tabungan pribadi, giro perusahaan, dalam rupiah maupun mata uang asing.
Jika kamu termasuk yang kena imbas kebijakan ini, PPATK menyarankan untuk langsung mengajukan reaktivasi rekening ke pihak bank. Setelah proses evaluasi, rekening bisa diaktifkan kembali dan digunakan seperti biasa.
Pemerintah: Dana Nasabah Aman, Enggak Bakal Hilang
Menanggapi keresahan masyarakat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan memastikan bahwa dana nasabah tetap aman meskipun rekening diblokir. Jadi, kamu enggak perlu panik.
Ia menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk “mengambil” uang masyarakat, melainkan sebagai upaya perlindungan. Pemerintah juga berjanji akan terus berkoordinasi dengan PPATK dan pihak terkait agar kebijakan ini tetap berpihak pada keamanan dana publik.
“Tujuan utamanya adalah melindungi masyarakat dari risiko penyalahgunaan rekening oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab,” jelas Budi Gunawan dalam siaran pers resmi.
Seller E-commerce Kena Pajak
Isu soal pajak buat para seller di e-commerce kembali bikin panas timeline. Kabar ini pertama kali diangkat oleh Reuters pada Selasa, 24 Juni 2025. Menurut laporan mereka, pemerintah Indonesia berencana mewajibkan platform e-commerce, kayak Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan Lazada, buat langsung memotong pajak dari penjualan para seller.
Tujuannya? Meningkatkan pemasukan negara. Tapi sumber Reuters bilang aturan ini bisa mulai berlaku secepatnya bulan depan, meski belum ada pengumuman resmi.
Nah, yang jadi sorotan: platform bakal diwajibkan memotong 0,5 persen dari pendapatan seller yang omzetnya per tahun ada di kisaran Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar. Padahal, para pelaku usaha di level ini sebenarnya sudah kena pajak lewat skema PPh 22. Artinya, ini bukan pajak baru, tapi mekanismenya saja yang digeser, dari yang sebelumnya dibayar sendiri, sekarang dipotong langsung oleh marketplace.
Respons dari pelaku industri? Banyak yang bilang ini bikin ribet. Dikutip dari MetroTv News, Tarif Pajak E-Commerce Bikin Harga Barang di Marketplace Naik, perwakilan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, mengingatkan bahwa perubahan ini bisa berdampak ke konsumen juga. Soalnya, seller kecil-menengah yang margin labanya tipis bisa saja naikin harga buat menutup potongan pajak.
Pemerintah sendiri sudah mengatur soal ini lewat PMK No. 37 Tahun 2025. Isinya menjelaskan bahwa seller dengan penghasilan bruto di bawah Rp500 juta per tahun bebas dari pemotongan pajak, asalkan mereka menyerahkan surat pernyataan ke pihak marketplace. Tapi ya, prosesnya lumayan ribet: harus dicetak, ditandatangani, dibubuhi meterai, terus diunggah ke sistem marketplace, lalu diteruskan ke DJP.
Meski pemerintah dan idEA sama-sama sepakat pentingnya memperluas basis pajak, mereka juga mengakui pelaksanaan di lapangan perlu diperhatikan serius. Jangan sampai kebijakan ini malah jadi beban tambahan buat pelaku UMKM digital yang justru lagi bertumbuh.
Baca Juga: Serbi-serbi Cara Pemerintah ‘Gaslight’ Kritik Warga
Negara Bisa Menyita Tanah Bersertifikat yang Terlantar
Belakangan ini muncul kekhawatiran di masyarakat soal isu pemerintah bisa menyita tanah bersertifikat yang dianggap terbengkalai selama dua tahun. Tapi, jangan buru-buru panik dulu. Dikutip dari Tempo, dalam Apakah Negara Bisa Menyita Tanah Bersertifikat yang Terlantar?, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sudah kasih klarifikasi: enggak semua tanah bersertifikat bisa langsung diambil negara kalau enggak dimanfaatkan.
Menurut Jonahar, Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, kebijakan penertiban ini terutama ditujukan buat jenis tanah yang statusnya Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), terutama yang dimiliki badan hukum atau perusahaan. Jadi, bukan tanah hak milik pribadi yang jadi target utamanya.
Nah, tanah hak milik (SHM) juga bisa kena penertiban, tapi dengan syarat tertentu. Misalnya, kalau tanah itu dikuasai orang lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa ada ikatan hukum yang jelas, atau dibiarkan kosong terus-menerus tanpa digunakan untuk apa pun. Intinya, kalau tanah sudah enggak menjalankan fungsi sosialnya dan malah menimbulkan konflik, itu bisa jadi alasan untuk ditertibkan.
Sementara untuk tanah HGU dan HGB, kalau setelah dua tahun sejak hak diberikan tapi lahannya enggak dipakai sesuai rencana awal, misalnya nggak ditanami atau enggak dibangun sama sekali, negara bisa tetapkan tanah itu sebagai terlantar. Tujuannya, supaya tanah yang ada benar-benar dimanfaatkan sesuai tujuan awal, dan enggak cuma jadi aset diam yang enggak produktif.
Jonahar juga mengingatkan, kebijakan ini bukan semata-mata untuk menyita tanah rakyat. Tapi lebih ke arah penataan lahan supaya bisa dipakai semaksimal mungkin demi kesejahteraan bersama. Jadi, penting banget buat pemilik tanah, terutama yang punya lahan kosong, buat tetap merawat dan memanfaatkannya, biar enggak jadi sumber masalah di kemudian hari.
















