Tragedi Berulang Freeport: Seolah Nyawa Pekerja Cuma Angka
Awal September lalu, duka kembali menyelimuti Timika. Dua pekerja tambang bawah tanah Freeport, Wigih Hartono, 37, asal Ponorogo dan Irawan, 46, asal Cilacap meninggal dunia. Penyebabnya karena luncuran material basah (mud rush) di Grasberg Block Cave (8/9), lapor BBC Indonesia. Jenazah keduanya lantas dipulangkan melalui Bandara Moses Kilangin, meninggalkan keluarga yang harus menerima kenyataan pahit kehilangan tulang punggung.
Wigih, teknisi kelistrikan yang bekerja di bawah kontraktor PT Citacontrac, telah tujuh tahun menafkahi istri dan dua anaknya di Tembagapura. Sementara Irawan, pekerja Freeport sejak sembilan tahun lalu, dikenal sebagai sosok pendiam yang tak pernah absen berkurban tiap Iduladha. Bagi keluarga mereka, tragedi ini bukan sekadar kecelakaan kerja, melainkan kehilangan yang tak tergantikan.
Dalam laporan BBC Indonesia tersebut, seorang kerabat bercerita, “Ia tulang punggung keluarga. Hidupnya mulai membaik, tapi harus berakhir begini.”
Di balik wajah-wajah duka itu, terkuak persoalan lama: Mengapa kecelakaan di tambang Freeport terus berulang?
Baca Juga: Sepele pada Nalar dan Kekuatan Rakyat: Dosa di Balik Komunikasi Politik Buruk Pejabat Kita
Sejarah Berdarah Freeport
Menjadi pekerja tambang bawah tanah di Papua bukan cuma pekerjaan, melainkan pertaruhan hidup saban harinya. Pada kedalaman ratusan meter di perut Bumi, mereka berhadapan dengan suhu ekstrem, gas beracun, dan ancaman runtuhan batuan atau luncuran material basah (mud rush) yang bisa datang tiba-tiba.
Mengutip BBC Indonesia, PT Freeport Indonesia merupakan salah satu penyumbang pajak terbesar bagi negara dengan kontribusi Rp79 triliun pada 2024. Mereka mempekerjakan sekitar 5.000 orang di tambang bawah tanahnya. Namun besarnya keuntungan dan kontribusi itu kontras dengan risiko yang harus ditanggung pekerja sehari-hari.
Sejarah panjang tambang ini dipenuhi catatan hitam. Sejak 1998, setidaknya 52 pekerja Freeport tewas akibat kecelakaan kerja, menurut catatan Mining Insider. Tragedi terburuk tercatat pada 2013 di Big Gossan, ketika sebuah terowongan pelatihan runtuh dan menewaskan 28 pekerja.
Meski ancaman begitu nyata, tetap banyak yang bersedia bekerja di tambang bawah tanah Freeport. “Mungkin ini masalah kebutuhan,” ujar Panji, mantan pekerja Freeport, kepada media yang sama.
“Orang-orang tergiur dengan penghasilan yang lumayan. Kerja di underground gila gajinya,” tambahnya.
Namun menurut Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, kondisi ini tak bisa hanya dilihat sebagai harga yang wajar dari pekerjaan berisiko tinggi.
“Pekerja tambang menghadapi kondisi ekstrem, ditambah minimnya pengawasan terhadap standar K3, peralatan usang, pelatihan terbatas, dan tekanan produksi yang sering mengorbankan keselamatan,” ujar Maikel.
Dengan kata lain, kecelakaan di tambang bukan semata bencana alam yang tak bisa dicegah. Ia juga lahir dari pilihan struktural, ketika keselamatan pekerja ditempatkan di bawah kepentingan produksi dan keuntungan perusahaan.
Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Teknologi Deepfake
Antara Force Majeure dan Pelanggaran Hak Pekerja
Luncuran material basah yang menewaskan Wigih dan Irawan terjadi di Grasberg Block Cave (8/9). Hingga artikel ini terbit, lima pekerja lain masih dalam proses pencarian.
PT Freeport Indonesia menyebut peristiwa ini force majeure. Namun pandangan berbeda datang dari Fatma Lestari, Guru Besar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Indonesia. Menurutnya, mud rush bukanlah bencana alam murni, melainkan fenomena geoteknik yang sudah lama dikenal dalam metode penambangan block caving.
“Karena bahaya ini sudah diketahui, perusahaan wajib melakukan identifikasi, pengendalian, monitoring risiko, dan manajemen risiko,” ujar Fatma kepada Magdalene.
Regulasi Indonesia sebenarnya sudah menyediakan perangkat hukum yang cukup kuat. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 mewajibkan perusahaan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP). Lalu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 yang mengatur praktik pertambangan yang baik, termasuk kewajiban identifikasi bahaya dan pengendalian risiko. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 176 Tahun 1995 menjamin hak pekerja untuk mengetahui risiko, menerima pelatihan, serta menolak pekerjaan berbahaya.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan jurang lebar antara aturan di atas kertas dan implementasi.
“Pengulangan insiden serius adalah indikator adanya kesenjangan sistemik. Bisa jadi desain kontrol tidak memadai, verifikasi tidak konsisten, atau tekanan produksi melampaui batas aman,” tambah Fatma.
Bagi WALHI Papua, tragedi di Freeport memperlihatkan kerentanan struktural pekerja tambang. Masalahnya bukan hanya soal kecelakaan kerja, tapi juga pelanggaran hak asasi.
“Banyak insiden serius di sektor ini, mulai dari longsor tambang, ledakan, paparan bahan berbahaya, hingga kematian pekerja karena kelalaian prosedur keselamatan,” ujar Maikel Peuki.
Baca Juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan
Fatma Lestari menegaskan, keselamatan tambang harus ditempatkan sebagai hak dasar pekerja. Ia merekomendasikan investigasi independen dan transparan, pemetaan ulang zona risiko mud rush, desain ulang kontrol kritis, penerapan monitoring berbasis digital twin dan AI, hingga peningkatan kompetensi dan budaya K3.
Sementara WALHI mendesak pemerintah agar tidak berhenti pada teguran administratif. Sanksi pidana, pencabutan izin, bahkan penghentian operasi bawah tanah harus dipertimbangkan bila terbukti ada kelalaian. Mereka juga mendorong pemanfaatan teknologi robotik penuh untuk menggantikan tenaga manusia di lokasi paling berbahaya.
Tragedi di Grasberg Block Cave dengan jelas menyingkap pertanyaan lama: berapa banyak nyawa lagi yang harus dikorbankan agar keuntungan negara dan perusahaan tetap berjalan?
















